“Assalamualaikum, Mas.”
Jordy baru saja kembali dari kantor. Kali ini ia pulang sedikit lebih larut dari biasanya—pukul sebelas malam. Sepengetahuan Jordy, orang rumah sudah tidur lebih dulu jika ia pulang semalam ini. Tapi ternyata ada satu sosok yang sedari tadi belum memejam mata. Ia, Jordy temukan berdiri di belakang Jordy dengan mata sayu, seakan memaksa diri menahan kantuk.
“Belum tidur?” tanya Jordy meletakkan tasnya pada sofa di ruang keluarga.
“Belum, aku nungguin kamu.”
“Lain kali, nggak usah. Dua minggu ini saya bakalan pulang malem terus, syuting.” sahut Jordy acuh, meninggalkan perempuan itu di ruang sunyi tersebut.
“Mas Jordy.” Langkah Jordy seketika terhenti.
“Makasih ya hampers lotionnya. Hmm, tapi aku nggak pake. Kayaknya gak cocok buat aku, kamu aja yang make.”
“Gak suka sama wanginya?” tembak Jordy menduga.
Perempuan itu menggeleng.
“Nggak, aku suka baunya, enak. Tapi gak pantes aja buat aku. Terlalu mahal, Mas.”
“Terus, kenapa kamu nggak nolak dikasih make up sama Jenan waktu itu? Kenapa kalo dari saya selalu nolak?” Entah apa yang Jordy pikirkan hingga membuatnya terbengkalai, dan teringat akan hampers dari Jenan. Emosi di kepalanya memuncak seketika. Wajahnya merah padam, dan tak lagi ia tersenyum hangat seperti sedia kala.
“Buang aja. Disitu kan ada tempat sampah, kalo nggak suka ya tinggal dibuang. Saya mau tidur.”
Tak ada jawaban yang Jordy dengar dari perempuan itu setelah ia menegurnya. Jordy segera melangkah ke kamar, dan ketika ia sudah berdiri di ambang pintu, Jordy benar-benar merasa kesal hingga tak sadar membanting pintu kamarnya kuat-kuat
Sedangkan perempuan yang tadi menjadi sasaran amukannya duduk merenung di sofa. Air matanya terjatuh untuk kesekian kali. Nafasnya tercekat, dan dadanya kian terasa sesak mengingat ucapannya sendiri.