At All Cost

tw // mention of traumatic events and fire. Harsh words

cw // sexual pitching and abuse

JEVANDRAAAAAA!

Cali seketika membeku saat Jevandra, orang yang paling tidak mau ia lihat, menatapnya tajam. Dingin. Penuh dendam.

Sebenarnya, dijatuhkan pandangan seperti itu, Cali sudah terbiasa. Tapi haruskah disaat ia tengah menghirup udara bebas seperti ini?

Apa salah Cali? Apa yang telah ia perbuat sampai bertemu dengan si dakjal lagi?

Dimana-mana selalu ada Jevan! Seolah dunia Cali bukan dikelilingi malaikat surgawi, tetapi malah titisan lucifer yang mengitari. Kurang apalagi penderitaan Cali setiap hari?

Dalam hati, ia hanya bisa meratap nasib sialnya pagi ini. Sementara si pembuat kisruh langsung melengos pada detik pertama Cali membalas tatapannya.

Di samping Cali, Rachel dan suaminya, Jayden, melirik dirinya dengan wajah heran.

“Lo kenal?” tanya Rachel pada Jevan sambil menahan tawa. Lelaki itu tak membuka mulut, seolah pura-pura tidak mengenal Cali. Sialaaaan! umpatnya kesal.

“Oh iya, gue baru ingat.” Jayden bergumam. Kali ini pria itu melirik Jevan, kemudian ia kembali memandang Cali, “Kamu sekertaris barunya Jevandra, kan?”

Cali hanya bisa memaksa diri untuk tersenyum dan mengangguk. Berusaha terlihat tulus di depan Jayden yang ternyata adalah...KAKAK DARI SI BOS DAKJAL!

“Oh iya???? Waaah! Ternyata dunia sesempit itu ya, Cal,” ucap Rachel dengan senyum kekaguman. Berbanding terbalik dengan Cali yang wajahnya langsung datar ketika Jevan menatapnya lagi. Jantung Cali yang tadinya baik-baik saja, mendadak berdegup tak keruan saat Jevan mengulitinya hanya lewat pandangan.

Terasa sekali aura kehororannya.

“Jev, dia pinter lho make upnya. Liat. Bagus kan? Gue jamin di kantor lo—”

“Pintar?” putus Jevan, tersenyum miring. Meremehkan.

Ekspresi Jevan saat menyela ucapan kakak iparnya sungguh membuat Cali ingin menerbangkan debu blush-on ke wajah lelaki itu. Biar! Bir dia rasakan sekalian wajahnya dipenuhi dempul supaya mirip si Amang yang sering menjadi tontonan anak kecil! Biar Jevan tahu gimana rasanya dipermalukan depan orang banyak.

“Iya. Pintar, teliti. Detail,” tambah Rachel penuh keyakinan. Lagi, bukannya menyetujui, lelaki tidak tahu diri itu justru mendengus, Kentara sekali, lelaki itu membantah penilaian Rachel abis-abisan.

“Teliti? Detail?” Dia menunjukkan ekspresi bingung, tetapi lebih mirip mengejek Cali. Astaga, kalau saja Cali boleh membongkar aib Jevan, yakni dia uhuk seorang penyuka sesama jenis, Cali akan dengan senang hati membisikkannya ke telinga Rachel. Pokoknya, Jevan harus malu juga gara-gara itu!

Dan, kurang ajarnya, Jevan menggelengkan kepala sambil melirik sinis Cali, “detail dari mananya kalau nulis saja masih sering typo?”

Kepala Cali mendidih saat itu juga. Sedangkan Rachel yang menyadari ada aura menakutkan diantara Cali dan Jevan, mencoba mencairkan suasana.

“Ahahahahaha. Mungkin Cali nervous Jev, bosnya ganteng kayak lo. Iya, kan, Cal?”

Cali sebenarnya ingin menggeleng, tetapi nama dan pekerjaannya mesti ia pertaruhkan. Akhirnya yah...Dia terpaksa mengangguk.

————-

Demi mencairkan suasana hati Cali yang sedang membara, perempuan itu keluar dari ruangan yang panasnya melebihi neraka gara-gara Jevandra. Ia mencuci mata dengan menyapu pandangannya ke ruang megah bak ballroom Disney Princess—yang di depannya, berjejer banyak booth makanan dan minuman enak.

Memang beda kalau orang berada yang mengadakan pesta. Makanan yang disediakan bukan prasmanan sembarangan, tapi Sushi Tei sampai Starbucks booth pun ada.

Ini pertama kalinya Cali berada di pesta yang seperti itu. Dan tentu, ia tidak mau melewatkan momen damainya. Segera, Cali langkahkan kakinya untuk mengantre di booth tersebut. Berharap, mood-nya lekas membaik.

Cali juga tak lagi menemukan batang hidung mancung nan kokoh seorang Jevandra. Dia pasti telah berkelana mencari pangeran baru untuk mengisi kekosongan hidupnya. Supaya dia tidak bertambah galak juga, kan?

Menyingkirkan pikirannya tentang Jevan, kini Cali sudah berada di belakang dua orang. Yes! Sebentar lagi akan menjadi gilirannya menikmati segarnya Java Chip Frapuccino. Mata Cali tampak berbinar-binar ketika mendapati segarnya es batu dan aroma kopi yang menyapa ketika orang di depannya sudah selesai memesan. Momen yang ia tunggu-tunggu pun tiba.

“Mas, Java Chip Frapuccin—”

“Hot Tea with Milk buat dia.” Sebuah suara dalam terdengar dari sebelah kiri. Suara ini sukses menggagalkan barista Starbucks memasukkan es batu ke dalam cup. Sontak, semua orang memasang mata ke sang sumber suara. Begitupula Cali yang bahunya langsung merosot saat menatap sosok itu.

“Baik, Pak Jevandra.” Mendengar nama sosok itu disebut, para perempuan yang mengantre di belakang kompak berpindah, mengelilingi booth kopi itu. Mereka tampak terkesima dengan ketampanan sosok tersebut. Bahkan Cali mendengar beberapa perempuan berbisik satu sama lain, “Dia adiknya Pak Jay? Yang nomer satu apa dua?”

“Yang kesatu. Anaknya Pak Dion yang nomer dua.”

“Bukannya dia gay?” INI! Ini yang Cali tunggu-tunggu. Akhirnya, ada orang yang menyela bosnya. Ia nyaris mengikik puas mendengar cemoohan itu. Akan tetapi sebelum ia berhasil, Jevandra lebih dulu menyerahkan hot milk tea pada Cali.

Alih-alih bersedia menerima, Cali melayangkan protes. “Saya mau minum kopi. Bukan teh.”

“Kamu belum tidur satu malam. Jangan minum kopi.”

“Gak, mau kopi,” bantah Cali mendengus. Sang Barista menelan ludah kala Jevan sudah ancang-ancang memberi peringatan untuk tidak membuatkan Cali kopi.

“Maaf, Mbak. Saya nggak boleh bikinin kopi sama Bapak yang tadi...” Cengiran sungkan terlihat jelas di wajah sang barista.

“Nih.” Si angkuh itu sepertinya mencoba memompa emosi Cali. Kalau tidak sengit padanya, sepertinya Jevandra tidak puas.

“Buat Bapak aja. Saya mau minum yang lain,” kekeuh Cali, mendorong teh panas itu ke arah Jevan.

“Ngel, kenapa kamu kerja hari ini?” Jevan meletakkan teh itu di meja dekatnya.

“Biar saya punya penghasilan tambahan,” kata Cali malas. Iya, dia malas diajak ngobrol sama Jevan.

“Gaji kamu tidak cukup?” tanya Jevan lagi. Heran, bawel banget nih orang! Lagi-lagi sayangnya, Cali cuma berani ngomong dalam hati.

“Cukup.” Cali menjawab sekedarnya, daripada dibilang kurang ajar sama bos.

“Kalo gitu, ngapain masih di sini?”

“Ngusir saya?” balas Cali sengit.

“Enggak.” Ia mengelak, Cali mendengus.

“Tenang aja, Pak. Saya gak akan lama-lama kok—”

DHUARRR!!!!!! Suara ledakan yang berasal dari arah depan, mengejutkan semua hadirin. Yang lain tampak berteriak dan bertepuk tangan meriah kala melihat Rachel berdiri di atas panggung, kecuali Cali yang langsung berjongkok sambil menutup kedua mata dan telinganya.

Cali benci suara petasan. Otaknya otomatis terputar pada suatu memori yang akan membuatnya teringat akan sosok kakak tirinya, Tama.

Lelaki itu kerap menakutinya dengan petasan api apabila Cali tidak menuruti keinginannya. Tama tidak akan segan menyundutnya dengan ujung bara petasan yang masih panas.

Dengan begitu, Cali akan lemah dan menjadi submissive terhadapnya.

“Ikut, Cali! Ikut Kakak ke kamar!” Tama menarik lengan perempuan itu gusar.

“Jangan, Kak,” tolak Cali, berusaha melepas genggaman kasar Tama.

“Kalo gue bilang ikut, ikut ya anjing! Jalang lo emang!” Mata lelaki itu menyalak, membuat Cali yang renta, terpaksa mengikuti keinginan lelaki bejat itu. Di tangan kanannya, petasan api yang ujungnya telah ia panaskan siap melukai lengan gadis itu.

“LO UDAH BERANI NGELAWAN GUE YA?!”

Tama meninggikan suaranya. Dan tanpa belas kasihan, Tama mulai menempelkan ujung petasan itu pada lengan Cali.

“Sakit, Kak! Panaaaas!” Cali menjerit sekuat tenaga. Namun alih-alih mendengarkan seruan pilu gadis itu, Tama meremas kedua pipi Cali dan menjambak rambutnya.

“Ampun, Kak...Ampun...” isak Cali sambil menangis, memegangi bekas sundutan bara petasan itu. Tubuh ringkihnya tersungkur ke lantai, sementara Tama merogoh kantung, dan menurunkan celananya di hadapan Cali.

“Puasin gue.”

“Kak...” Cali menundukkan kepala, sementara si bejat itu memaksa Cali dengan memasukkan paksa kelaminnya ke dalam mulut Cali.

Detik berikutnya, lelaki itu tampak tersenyum puas menikmati apa yang Cali lakukan kepadanya.

“Good girl...” desisnya yang membuat Cali semakin menangis. Tak puas sampai disana, Tama melakukan hal yang paling tidak Cali inginkan.

Dan menyisakan trauma yang mendalam dalam hidup perempuan malang itu.

———-

“NGGAAAAKKKKKK! AKU NGGAK MAU KAK!!!” Cali berteriak keras tanpa sadar. Untungnya pada saat itu, Jevan berhasil membawa sekertarisnya ke satu kamar yang khusus ia pesankan karena Cali sempat tak sadarkan diri.

“Angel.” Lelaki itu memanggilnya. Namun apa yang Jevan terima? Ia malah dicengkram Cali kuat-kuat. Bajunya diremas, sementara perempuan itu menutupi wajahnya di lengan Jevan. Ia lantas menjerit, “Jangan! Jangan, Kak. Jangaaan. JANGAN KAK!!! Jangan. Sakit. Panas! Tangan aku melepuh, Kak. Jangan ambil mahkotaku, Kak. Aku minta maaf...Ibu, maafin Cali...Ibu...jangan tinggalin Cali, Bu...Jangan...”

Jevan tercekat mendengar raungan pilu dari sang sekertaris. Wajahnya yang tadi terpasang dingin pun lamat-lamat berubah iba. Baru kali ini, Jevan menyadari jika ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Sebelumnya, Jevan paling anti mendengar hal-hal yang tidak menyangkut dirinya.

Tapi kali ini berbeda. Sebuah naluri yang hampir dua puluh sembilan tahun senyap di hidup Jevan pun, mendadak menguar hebat. Ia tidak mau perempuan ini sendirian atau sampai nelangsa seperti dirinya. Dia juga terluka sama seperti Jevandra.

Mereka sama-sama butuh obat tapi tidak pernah berhasil menemukannya.

“Angel.” Sekali lagi Jevan mencoba memanggil nama perempuan itu, dan syukurlah... Gadis itu berhenti menangis. Matanya sembab dan wajahnya pucat pasi.

“Pak Jevan?” Ia tampak linglung, padahal sejak tadi Jevandra adalah sosok yang mendampinginya. Bukan lelaki bejat yang dari tadi Cali sebutkan namanya.

“Astaga! Ma-maaf, Pak. Maaf sekali lagi ya, Pak. Saya permisi pulang dulu.” Perempuan itu terburu-buru berdiri, tidak menyadari jika ruang yang sedang ia tempati itu bukanlah ruang make up, tetapi sebuah kamar suite yang menelan harga fantastis.

“Ngel. Tunggu sebentar.” Cali refleks menghentikan langkah kakinya. Sejenak matanya menyoroti Jevandra yang sedang balik memandangnya. Lelaki itu lalu berhenti tepat di depan Cali.

“Jangan pulang sendiri,” kata Jevandra tegas.

“Pak, saya nggak mau merepotkan. Bapak masih ada acara keluarga. Nggak enak sama Kak Rachel dan suaminya. Saya dul—”

“Saya mau ketemu sama Ibu kamu.”

Cali reflek mengernyit heran. Tidak ada keperluan apapun, tapi tahu-tahu Jevandra mau bertemu dengan ibunya? Mau memecat dia di depan orang tua langsung?

“Bapak bisa bicarain kinerja saya di kantor. Jangan di depan Ibu saya atuhlah, Pak. Saya tau saya belum kompeten menjadi sekertaris Bapak. Saya...”

Mendengar ocehan yang sama dari mulut wanita itu, Jevan balas memandangnya heran. “Saya mau bicara sama ibu kamu.”

“Mau ngomong apa, Pak? Mau bilang kalau saya gak becus jadi sekertaris. Iya?” sengit Cali dengan wajahnya yang memerah marah.

“Udah. Nggak usah nuduh saya yang macam-macam.” Jevandra menyambar tas yang adalah milik Cali, berikut juga dengan peralatan make up-nya yang ternyata telah diletakkan di depan kamar.

“Pak?” Cali memandangnya bingung. Bingung, karena ia sama sekali tidak tahu kalau alat-alat make upnya sudah berpindah tempat. Ia termangu memandangi seorang bell-boy yang membawa kotak alat make up milik Cali. Ia tampak mengikti langkah Jevan dan dirinya di belakang.

Sedangkan Jevan, lelaki itu mengeluarkan kunci mobil dengan gambar kuda dan bertuliskan Porsche.

“Titip,” Jevan mencemplungkan kunci mobil itu di dalam tas Cali yang terbuka. Cali yang menerima lagi-lagi hanya bisa bengong dan bengong.

“Pak, ini benda pribadi Bapak. Kenapa ditaro di dalam tas saya semua...?” Cali bertanya. Sebab tidak hanya kunci mobil, tapi dompet beserta card holder juga ia masukkan di dalam tas Cali.

“Sudah taro aja dalem tas kamu. Saya malas bawa barang.”

Cali nyaris mendumel, akan tetapi mengingat hidup dan matinya dipertaruhkan sebentar lagi di depan sang Ibu, Calipun terpaksa mengurungkan niat itu. Lebih baik ia tutup mulut sebelum bosnya ini yang duluan mengomelinya.

“Kasih tau alamat rumah kamu.” tanya Jevan berikutnya.

“Bapak ngapain sih Pak mau ke rumah saya?” tanya Cali penasaran.

“Ada yang perlu saya bicarakan dengan Ibu kamu.”

“Pak, Bapak kira Bapak kepala sekolah yang harus mendisiplinkan saya di depan orang tua?” sinis Cali kesal. Jevan mendengus.

“Sudah diam. Jangan banyak ngomong, ngomel mulu,” tegur Jevan sebelum ia mempersilakan Cali masuk ke dalam lift. Cali langsung merapatkan mulutnya ketika Jevan memasang wajah kesal. Berikutnya, lelaki itu menggeser tubuhnya untuk berdiri di belakang Cali, menjaga pintu lift agar tidak menghimpit mereka.

Aneh, pikir Cali. Dia gak biasa-biasanya se-gentle ini. Sampe segala ngeduluin gue masuk segala lagi. Cali berpikir keras.