Bagian Dua Ratus Delapan Puluh Tujuh
Regina hapal betul dengan wangi kesukaan Gabriel. Aroma vanilla oud, musky, dan sedikit warm spicy selalu menjadi ciri khas laki-laki itu. Dua tahun bersama, membuat Regina juga tahu persis merk parfum kesayangan Gabriel.
Pertama Tom Ford Neroli Portofino dan yang kedua Jo Malone Myrrh and Tonka. Belum lama sebelum tengarai itu terjadi, Gabriel sempat membelinya ketika ia bepergian ke Singapura untuk urusan bisnis.
Gabriel tidak pernah menyukai aroma manis permen dan buah-buahan. Kata Gabriel, wangi itu membuatnya mual dan tidak begitu cocok dengan kepribadiannya yang maskulin dan sulit terbantahkan. Untuk yang satu ini, Regina setuju. Apa yang dicecap Gabriel kala itu, betul adanya.
Akan tetapi setelah sekian lama keduanya memutuskan untuk rehat, Gabriel datang ke hadapan Regina dengan aroma baru. Aroma yang jelas-jelas ia tentang. Yang kata Gabriel membuat dirinya tak terlihat gagah. Manis buah dan lembutnya bunga bersatu padu, menguar dari tubuh Gabriel kala lelaki itu menarik Regina dalam dekapannya.
“Its not your favorite parfum,” ujar Regina singkat. Kemudian setelahnya, ia serahkan pada lagu yang melantun di radio untuk menemani hambarnya perjalanan mereka ke bioskop.
Jalan Tengah, lagu yang tengah berputar-putar dalam kepala Regina sejak dua minggu lalu, tanpa disangka mengudara secara live di radio. Sontak perempuan yang rambutnya terikat pony-tail itu ikut bersenandung kecil mengikuti nada lagu tersebut.
“Sedih banget lagunya,” komentar Gabriel singkat seraya menoleh ke Regina yang masih sibuk bernyanyi pelan. Tangan lelaki itu yang tadinya terletak pada perseneling, perlahan terangkat lalu pindah ke punggung tangan Regina.
“Konsen nyetir aja bisa? Gak perlu mesra-mesra kayak gini. Tabrakan baru rasa,” desis Regina dingin, lalu tidak tanggung-tanggung Regina menghempas kasar tangan Gabriel.
“Gak perlu segusar itu dong, Gin,” protes Gabriel. Tetapi tampaknya Regina tak memedulikan ucapan Gabriel. Ia langsung mendengus pelan ketika Gabriel mencoba membujuknya.
“Habis nonton aku mau pulang, nggak mau kemana-mana,” tutup Regina tanpa basa-basi. Sengaja pula Regina memasang headphone di telinganya agar Gabriel tidak mengajaknya bicara.
—
Pukul delapan belas lebih lima puluh menit, keduanya tiba di depan antrean bioskop. Kala itu lautan manusia terpampang nyata di hadapan Regina. Mereka tak sabar menyaksikan aksi Tom Holland dan tingkah lincahnya dalam film tersebut. Berbanding terbalik dengan Regina yang pada movie date-nya kali ini hanya terus memasang wajah datar dan mencoba memberi Biel kesempatan. Juga untuk mengetes dirinya sendiri, apakah getaran itu masih ada dalam hatinya? Apakah rasa sayang yang tersisa itu dapat muncul kembali? Ataukah rasa sayang itu hanya sekedar perasaan semu yang tertinggal karena Regina sudah kehilangan kepercayaan pada Biel?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggerus pikiran Regina sejak tadi. Makanya, dia sama sekali tak menggubris apapun yang Gabriel katakan. Permintaan maafnya, tutur kata lembutnya serta pada sentuhan kecil yang Biel berikan padanya, entah mengapa firasat Regina mengatakan bahwa Biel juga cuma sekedar menghiburnya.
Biel melakukan ini karena dia masih merasa bersalah terhadap Regina.
Bukan lagi berlandaskan rasa cinta maupun sayang.
Regina mencoba kembali untuk mematahkan firasat itu. Bisa saja dia terlalu berpikiran buruk karena terlanjur kecewa pada sifat Biel. Akan tetapi saat Regina sudah memantapkan hati untuk menepis rasa kecewanya, lagi-lagi ia mengurungkan niat tersebut. Sebagian hati Regina telah lumpuh akibat perbuatan Gabriel. Dia tidak bisa membedakan mana sayang yang sesungguhnya, dan mana yang menjadi penawar rasa sakit hatinya. Semua masih sama, Regina mati rasa.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum ia berani melangkah masuk ke pintu teater. Ia mengamati orang-orang di sekelilingnya yang menoleh ke arah Biel. Mereka seperti berbisik-bisik, seolah sedang membicarakan antara Biel dengannya.
Kemungkinannya cuma dua. Mereka membicarakan Biel karena ia tampak begitu formil, mengajak nonton perempuan dalam balutan kemeja batik, atau; orang-orang itu mencibir Regina karena gaya pakaiannya yang terlalu casual untuk bersanding dengan lelaki segagah Biel.
“Nggak mau beli popcorn dulu?” tawar Biel seraya menunjuk ke bagian snacks.
“Enggak,” jawab Regina, menyunggingkan senyum malas.
“How about drink? Milkshake strawberry, kesukaan kamu?”
Regina tetap memberi penolakan atas tawaran Biel. “Gin, kamu harus minum. Seenggaknya kalau kamu gak mood makan,” bujuk Biel seraya mengusak rambut belakang Regina. Akhirnya daripada Biel rewel dan ujungnya memaksa, Regina mengiyakan.
“Aku bayar sendiri. Nggak perlu kamu.” Sebelum lelaki itu mengulurkan kartu kreditnya, Regina dengan cepat menyerahkan kartunya.
“Gak apa-apa, asal kamunya seneng. Okay?” Lelaki itu bahkan sempat menghadiahkan kecupan kecil pada ujung pelipis Regina. Tapi perempuan itu tetap konsisten tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia hanya menatap Biel datar, seolah tahu jika setiap tuntut mesra yang Biel tawarkan padanya hanya dusta. Lelaki itu tidak bersungguh-sungguh.
Kemudian, Regina dan Biel bertolak masuk ke gedung teater. Film kesukaan Gabriel, Spiderman, sebentar lagi akan mulai. Tangan lelaki itu terlihat sibuk membawakan minuman Regina, yang lagi-lagi ia paksa untuk dibawakan.
Seberapa besar usaha Biel untuk mengembalikan Regina seperti dulu akan sia-sia. Hati perempuan itu terlalu rapuh untuk ia persatukan lagi kepingannya. Dari dulu sudah hancur dan pecah, tak tersisa. Dan Regina disini hanya ingin memberi validasi atas perasaannya sendiri, atas segala kekukuhan hatinya yang telah mati sejak lelaki itu berpaling darinya.
Sia-sia. . . .
Tepat pukul sembilan lewat tiga puluh menit film selesai. Regina sengaja jalan lebih dulu dibandingkan Biel, karena tidak ingin terlalu larut malam sampai di rumah. Sebenarnya Mama Regina tidak pernah membatasi putrinya untuk keluar malam, Beliau cukup tahu kalau anaknya telah beranjak dewasa. Karena itu, ia memberikan keleluluasaan atas jam malam Regina.
“Did you enjoy our date?” Baru juga Regina daratkan dirinya pada bangku penumpang, lelaki itu sudah membuka suara. Dengan nada bicara tenang dan lembut.
“Ya, lumayan,” jawab Regina seraya memandang jalan raya.
“Kamu belum makan apa-apa lho, Gin. Kita mampir ke Mcd mau? Aku pesenin kesukaan kamu, ya?”
“Nggak perlu,” tolak Regina dingin. “Aku makan di rumah aja.”
“Gina...please? Kamu pucet banget. Dua minggu gak ketemu, kamu langsung kurusan gini,” ucap lelaki itu masih berupaya membujuk. Tangan Biel mengelus lembut rambut belakang Regina.
“Kamu diet?” tanyanya. Regina langsung menjawabnya dengan senyum pahit. Dia tahu gelagat Biel yang selalu pura-pura bodoh setiap kali mereka bertengkar hebat. Ujung-ujungnya karena sayang, Regina pun luluh kembali dan memilih memaafkan Biel.
Tapi sekarang, tidak lagi.
“Bisa nyetir aja? Aku ngantuk, mau tidur. Filmnya lama,” gerutu Regina, memejam mata.
Biel tertawa kecil, “Okay, Sayang. Gih, bobo. Nanti kalau udah sampe aku bangunin.”
“Wait. Sebelum itu,” gumam Regina. “Where were you going before our date? Kamu keliatannya rapih banget. Ada acara?”
Tanpa ragu lelaki itu menganggukkan kepala. “Iya, urusan kerjaan sama gereja.”
“Oh, okay. And what about your parfum?”
Biel menoleh, terlihat kaget sekaligus sedikit heran mendengar pertanyaan random yang jarang sekali meluncur dari bibirnya. “As long as I remember, kamu nggak pernah suka aroma manis seger gini. Kamu kan sukanya sama bau-bauan oud sama vanilla. Did you just change your favorite parfum? I mean the fragrance.”
Dari sudut mata Biel yang Regina perhatikan, lelaki itu terlihat bingung saat akan menjawab pertanyaan darinya. Seolah ada sesuatu yang Biel tutupi. Netranya getir dan terus melirik ke arah lain.
“Hmm?” tanya Regina setengah menuntut.
“Pengen cobain wangi parfum kesukaan kamu nggak ada salahnya kan?” jawab Biel setelah tiga detik ia melanglangbuana mencari jawaban yang tepat.
“Emang parfum kesukaan aku yang mana?”
“YSL Libre, kalo enggak yang Miss Dior. Kamu lebih favoritin yang Miss Dior. Right?” Ia tersenyum kemudian, memperlihatkan barisan gigi putihnya.
“Bener,” balas Regina ikut tersenyum. Yang mengherankan kali ini, perempuan itu lengkungan kecil pada bibirnya tampak begitu ramah, berbeda dari yang sebelum-sebelumnya—ia terus terlihat menahan marah.
“Tapi...” kata Regina lagi.
“Tapi apa, Yang?”
“Yang ada di baju kamu itu, bukan favorit aku dua-duanya,” ucap Regina tak terduga. Garis senyum yang tadi siap Biel berikan padanya pudar seketika.
“And I know, parfum yang ada di baju kamu itu parfum siapa,” ujar perempuan itu tak kunjung usai.
Biel menghentikan mobilnya saat Regina berucap demikian Ia tak lagi dapat berkutik dan mengakui bahwa kini ia seperti sedang berada di ujung jurang.
“Jangan gitu dong, Gin. Aku ganti parfum, kamu curiga. Aku pake ini itu, kamu nyala-”
“Stop,” sela Regina tanpa sedikitpun memberi nafas pada Biel. Mata lelaki itu tampak begitu ketakutan, ada kekhawatiran besar yang tergambar di wajahnya. “Gabriel, kamu kira aku bego? Kamu kira setolol itu?”
”...No. Denger dulu, Gin. Aku beneran ada acara—”
“Sssssst!” Regina menyekak Biel kembali. Meski air muka Regina terlihat tentram dan damai, namun Biel tahu jika perempuannya ini sedang menyimpan amarah yang bergemuruh sedari tadi.
” 'Parfum kesukaan aku itu...Rose Des Vents by Louis Vuitton. And lately, the guy who always on my mind, suka banget parfum ini. When he asking me to go out, he would always spray my favorite parfum to his clothes. Katanya, supaya dia selalu ingat sama wangiku. Isn't he sweet?'”
Mendengar perkataan Regina, Gabriel diam seribu bahasa. Sementara yang sengaja mengulang kalimat dari video vlog seorang penyanyi rohani muda itu hanya menyunggingkan senyum kecil.
“Tau nggak, waktu nonton vlog Caca, I got a dejavu, Gabriel. Kamu juga gitu kan? Malah kamu yang nyemprotin parfum kamu di baju aku, katanya supaya kalo kita putus nanti aku teringat sama kamu terus..”
”...Then should I do it to you?” tantang Regina yang membuat lelaki itu bergeming seperti orang bodoh. Lalu tanpa persetujuan dari lelaki berbaju batik biru itu, Regina menyemprotkan parfum kesayangannya di batik Biel.
“Semoga kamu menyesal ya, Biel. Once kamu akan tau, siapa yang pernah sangat mencintai kamu, yang lebih tulus sama kamu.”
“Gina...” lirih lelaki itu pasrah. Kemudian tangannya bergerak, menangkup wajah Regina yang kembali terpasang dingin. “Aku bakal jelasin semuanya ke kamu, ya? Aku sayang banget, Gin sama kamu.”
“Hahahaha. Sayang?” cibir Regina. “Dua taun kamu selingkuh dari aku, bisa-bisanya berani bilang sayang?”
“Please, aku kesini untuk make up semua kesalahan aku sama kamu, dan kamu malah bales kayak gini ke aku? Gina, seriously? You drive me crazy—”
“I am not driving you crazy, aku yang udah gila gara-gara kamu, anjing!” maki Regina meninggi sembari menunjuk-nunjuk dada Gabriel. Sorot mata penuh dendam dari perempuan itu melemahkan Gabriel. Dia tak lagi bisa membalas semua amarah Regina yang dilampiaskan kepadanya.
Usai puas meluruhkan segala emosinya pada sang buaya, Regina keluar dari mobil Biel. Ia memesan taksi online untuk mengantarnya pulang.
Hancur sudah tidak bisa menggambarkan betapa Regina sangat terluka hari ini. Air matanya bahkan telah mengering, ia tidak menangis sama sekali. Hanya saja pikirannya kacau balau sekarang.