Bagian Dua Ratus Enam Puluh

Rumah Singgah

Regina mengangkat ponsel yang sengaja ia letakkan di lemari kecil samping kasur. Bukan tanpa alasan, tetapi ia tahu siapa pengirim pesan yang tiada henti mengusiknya berdoa.

Gabriel.

Bahkan tanpa ia harus menebak siapa, Regina langsung tahu jika lelaki itu kembali kepadanya.

Bukan untuk memperbaiki segala kesalahannya, tapi untuk menghancurkan Regina lagi.

Tadinya Regina enggan membalas. Ia lebih memilih mengadu pada Tuhannya, memohon ampunan agar dia bisa lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa. Tetapi Regina tidak dapat menampik bahwa sakit hati dan amarah yang berkecamuk, mendorong dirinya untuk menanggapi pesan Biel.

Dan ya, akhirnya ia kalah. Telak.

Ia termakan kembali oleh godaan itu. Namun jelas Regina tidak lagi selemah dulu. Selalu memaafkan, selalu memberi kesempatan pada lelaki itu.

Regina sudah membuat keputusan. Dan ia rasa jika ia tetap mempertahankan, yang jauh lebih hancur bukanlah Biel dengan wanita itu, tetapi dirinya.

Bertahun-tahun lamanya Regina membiarkan dirinya dihadapan Biel terlihat seperti seonggok sampah. Yang bisa ia buang kapan saja. Dan Regina rasa semua itu sudah cukup. Ia tidak mau lagi merasakannya, membiarkan hatinya terus terluka.

Sebab apa yang Biel lakukan bukan sekedar melukai Regina, namun lebih parah dari itu.

Ia pikir Regina adalah rumah singgah terbaiknya. Tempatnya mengadukan segala kerisauan yang ia hadapi. Jika Biel tengah berperangai dengan perempuan lain, Biel akan datang kepadanya.

Ia datang dengan senyum semanis mungkin, membawakan sejuta kata-kata yang menerbangkan Regina ke awan sampai Regina berani meletakkan hatinya pada pria itu.

Namun setelah beberapa lama, Biel pergi. Pergi ke rumah-nya yang entah sejak kapan menjadi pusara untuk laki-laki itu.

Bagi Regina semua itu sudah cukup jelas. Dan ia rasa dirinyalah yang harus menghentikan semuanya. Kalau Regina biarkan, ia takut jika ia semakin menginginkan Gabriel yang jelas-jelas bukan untuknya.

———

“Kenapa lama banget angkat teleponnya, Gin?” tanya Biel dengan sergahan nafas tak sabar.

“Aku lagi rosario,” jawab Regina enggan betele-tele.

“Kangen, Gin.” Alis Regina terangkat satu, serta wajahnya menarik garis senyum sarkas.

“Sama yang mana?” Regina langsung mengutarakan pertanyaan yang membuat Biel agak lama menjawab.

Ia lalu cuma menghela nafas. “Kamu sekarang curigaan banget.”

“Curiga?” balas Regina balik bertanya.

“Iya kan? Aku bener. Dikit-dikit nuduh aku sembarangan.”

Regina tertawa kelu. Lelaki ini sangat pandai dalam membual, tetapi tidak pintar dalam berbohong.

“Aku gak nuduh sih, Biel. Aku lebih pengen kamu sadar sama perbuatan kamu. Dan tau, kalau perbuatan kamu itu salah. You're not going to get what you want if you do this to us.”

Pada kalimat akhirnya, Regina terang-terangan menyindir Biel.

“Kamu nih ngomong apa sih, Gin? Ngaco beneran. Listen, I know that you're mad at me, but that doesn't mean you can accuse me without proofs.”

“You really want me to show you the proof? If I do, then her carrier would be done at once, Biel.

Tanpa nada tinggi, Regina rasa perkataanya cukup menampar Biel. Lelaki itu di seberang sana terlihat sangat frustasi. Makanya dia lebih banyak diam dan mendengarkan. Selain daripada itu, ketakutan-ketakutan dalam diri Biel mulai menggerayangi pikirannya.

“Let me ask you one thing,” kata Regina.

“Apa?”

Setelah satu helaan nafas yang membuat Regina yakin untuk bertanya, ia pun memberanikan diri, “Do you love me?”

“Of course, Gina. I do. I do love you. I love you sooo much.”

“No, you're not, Biel.” Regina menjawab pelan, namun Biel dapat merasa perempuan itu tengah meredam emosinya sendiri.

“Kamu nih gimana, deh? Aku jawab jujur salah, kalau aku gak jawab kamu marah, ngira aku main-main sama kamu.”

“And, yes. You're toying me, Gabriel.”

Tut! Setelah berkata demikian, Regina segera memutus sambungan teleponnya.

Dan lagi, ia menghabiskan air matanya untuk laki-laki yang menganggapnya rumah singgah.

Salah? Tentu saja. Tetapi Regina tak dapat menampik jika perih segera mengerubungi benaknya. Sisa rasa sayang yang terdapat dalam lubuk hati Regina masih ada untuk laki-laki itu. Dan ia hanya ingin menyalurkan semua rasa sakit dan kesedihannya untuk terakhir kali.

Mudah-mudahan, harap Regina. Mudah-mudahan yang terakhir kali.