Bagian Dua Ratus Enam Puluh Delapan

Tidak pernah ada Kita

Pernah satu kali Regina mendengar bahwa pada sepuluh menit pertama adalah menit yang paling krusial dalam membangun sebuah hubungan.

Sepuluh menit pertama adalah kesempatan waktu yang dapat kita manfaatkan untuk mengimpresi seseorang. Gestur tubuh, cara bicara serta bagaimana ia menatap lawan bicaranya—akan tergambar—pada sepuluh menit pertama itu. Dari situ juga katanya, kita dapat menyimpulkan bagaimana orang ini dapat menyelesaikan masalah cepat dengan logika dan tepat sasaran.

Ketika Regina menggunakan metode ini kepada Gabriel sesampainya mereka di mobil, yang Regina dapatkan seratus persen berbanding terbalik dari cara itu.

Gabriel hanya diam mematung. Ia tidak berkata apapun, bahkan meminta maaf karena telah kuat mencengkram tangan Regina pun tidak. Lelaki itu lebih fokus pada jalan raya. Padahal dulu saat semua masih baik-baik saja, Gabriel akan memanfaatkan momen ini untuk mengajaknya ngobrol. Sesederhana how's your day? akan keluar dari mulutnya.

Namun kali ini Gabriel tidak menanyakannya. Dia betul-betul hanya menyetir, tidak memvalidasi bagaimana hancurnya Regina setelah semua penyangkalan yang ia lakukan.

Regina sendiri merasa dirinya sudah terlalu banyak mengalah. Bom waktunya telah meledak sekarang, sehingga Regina hanya diam dan sama seperti Biel—hanya menatap hampa jalan raya. Mulutnya terlalu malas untuk berucap, untuk melawan ego Biel yang sekarang pasti sedang tinggi-tingginya.

Regina hanya terus acuh dan acuh hingga ponsel Biel yang diletakkan di sela-sela perseneling berdering cukup nyaring. Dan jelas Regina membaca ada nama 'Victor Nehemia Church' yang tiada henti menghubungi Gabriel.

Sambil Regina berpikir dalam kepala, penyangkalan apalagi yang akan Biel lakukan, setelah semua acuan terbukti jelas?

Ia sudah tak mau berekspektasi banyak lagi mengenai kekasihnya ini. Regina cuma menunggu waktu yang tepat sampai Biel mau menyingkap kejujurannya, walau Regina tidak yakin akan lelaki itu. Kalau selingkuh-nya saja izin, lalu bagaimana dengan yang lain? Pikir Regina dalam diamnya. Apa yang masih ia harapkan dari Gabriel yang sedang menjelma menjadi Petrus?

“Angkat teleponnya,” ucap Regina singkat, tanpa menoleh ke Biel. “Berisik banget.”

“Nanti,” balas Biel.

“Gak sekarang aja?” ujar Regina lagi dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kan bisa nanti, nggak penting,” kilah Gabriel. Makin lelaki itu berkelit, Regina semakin meyakini jika nama kontak yang tertera pada ponsel Gabriel itu bukanlah Victor, melainkan perempuan yang selama ini juga mengisi hati Biel.

Regina berdecak sembari menyunggingkan senyum sinis. Ia tetap melipat tangannya di dada tanpa sedikitpun melirik Biel yang tengah mencoba berkata-kata.

“Kenapa kamu pergi sama dia?” cecar Biel.

“It's just a casual bicycling. Kayak kamu gak pernah aja,” jawab Regina tenang.

“Casual bicycling? How could you say that? Kamu ketawa-tawa sama dia, kamu makan bareng sama dia. Dari mananya itu sepedaan?”

Mendengar tudingan Biel, Regina langsung berdecih. “Terus? Aku sama Xavier kan temen aja. Emang ada larangan aku gak boleh ketawa?”

“Gak ada, tapi aku nggak suka–” Sanggahan Biel terhenti saat Regina dengan cepat mengambil ponselnya yang lagi berdering. Lelaki itu juga enggan mengalah, dengan gusar dan tanpa memedulikan pergelangan Regina yang masih merah akibat perbuatannya, ia merampas kasar ponselnya.

“Why do you pick up the phone when I'm not done talking with you?!” bentak Biel yang membuat Regina tak kalah terkejut.

“Kenapa nggak boleh?” balas Regina lebih menyalak. “Ada apa sama Victor? Kenapa kamu takut aku angkat telepon Victor?” sekaknya.

“Aku bukan takut kamu angkat telepon dia,” sahut Biel. “Aku nggak suka cara kamu yang kayak gini, Gin! Aku tau kamu marah, aku tau kamu kesel sama aku, tapi aku nggak pernah suka kamu melampiaskannya ke orang lain.”

“Oh,” desis Regina. “Jadi, emang bener ada orang lain? So we're not us two, but we are 'us' three?”

“What are you talking about?” jawab Biel. Regina hanya tertawa terbahak-bahak sampai ia mengeluarkan air mata, “gini aja deh, Biel.”

”...Kamu beli gelang itu dimana I never gave you that bracelet before, since I knew kamu nggak suka pake gelang atau perhiasan apapun.”

“Seriously? Kamu nyari-nyari kesalahan aku? It's just damn stupid bracelet! Bukan sesuatu yang harus kamu permasalahkan!”

“Did you still say wanna say that bracelet its damn and stupid, while the girl posted the same bracelet as yours?” ringis Regina tanpa nada tinggi, namun cukup menyentak Biel dalam-dalam hingga lelaki itu ngerem mendadak.

“Kamu mau ngelak lagi, Biel?” tanya Regina dengan suara dalam.

“Semua anak-anak gerejaku pakai itu untuk KKR natal nanti,” kata Biel. Lalu ia menunjukkan sebuah foto pada Regina. Memang benar, gelang itu secara serempak dipakai oleh teman-teman Biel, namun Regina juga tidak buta dan cukup jeli, karena ia menemukan ukiran nama pada gelang itu.

“Then if this bracelet wore by all of your friends, why did I find Caca's full name on your bracelet?”

“Ketuker.”

“Ketuker?” Regina membelalakkan matanya, nyaris tak percaya jika selama ini ia memacari laki-laki yang jahatnya selevel dengan Lucifer.

“Ketuker, Yang...” Tatapan Biel mulai meredup. Ia tiba-tiba saja mengacak rambutnya frutasi. Sepertinya tidak ada celah bagi Biel untuk berkelit dari Regina. Ia tak punya bisa lagi mencari alasan-alasan klise untuk menampik perbuatan dosanya.

“Udah selesai bohongnya, Biel?” sarkas Regina tertawa. Dia tertawa tapi Biel dapat melihat jelas bagaimana sudut mata perempuan itu menderai air mata. Surai tawanya pun mulai terasa hambar ketika Biel menemukan Regina mengganti tawanya menjadi tangisan pilu.

“Gina...” Biel melepas safety-belt-nya, kemudian segera menarik Regina dalam peluknya. Ia berharap ia masih diberi kesempatan untuk berbuat baik pada perempuan ini. Dan hal ini membuat Biel begitu sulit melepas Regina.

“Hey, look at me. Look me in the eyes.” Alih-alih mendengar tangis Regina kian menjadi-jadi. Ia sangat terluka dalam akibat perbuatan Biel hingga ia kehilangan cara untuk mengontrol tangisnya. Ego serta sisa rasa sayang yang terlalu lama bersarang dalam hati perempuan itu, membuatnya lepas kendali. Membuatnya menangisi lagi suatu hal yang ia tahu tak akan kembali padanya.

“Kenapa kamu macarin aku, Biel...?”

“Aku nyaman sama kamu.”

“Nyaman? I don't think that's your honest answer. Bukan kamu yang nyaman sama aku, tapi aku yang kamu dibuat nyaman sama kamu. Dan kamu...” Regina bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya seiring sesak dan muak menghampiri benaknya dan bersatu padu dengan riuhnya rasa kehilangan yang cukup dalam.

“Dan kamu..” Dengan terbata-bata Regina berupaya meneruskan kalimatnya, “kamu nyaman di tempat yang lain. Kamu nggak pernah ngerasa nyaman sama aku. Kamu...” Regina menunjuk-nunjuk dada Biel, “Kamu cuma butuh pelampiasan karena ego kamu terlalu tinggi.”

“Kamu...jangan kayak gini lagi, Biel. Kamu harus mikir kalau suatu saat kamu punya anak perempuan dan dia mengalami apa yang aku alami, kamu pasti bakalan sakit hati.”

“Aku nggak ada keinginan jadiin kamu pelampiasan...” bela Biel.

“Aku lebih dulu kenal kamu dibanding Caca. I'm really sorry for what I have done, Gin. Aku tau aku salah banget sama kamu...aku nyakitin kamu sampe sebegininya, tapi aku bener-bener enggak ada niatan jadiin kamu pelampiasan.”

Usai bicara demikian, Biel terdiam sebentar lalu menghela nafas.

“Let's take a break,” ujar Biel dengan suara rendah dan nyaris tak terdengar. Regina yang mendengar ajakan Biel makin merasa sakit hati dan tentunya tak dapat menampik bahwa ia betul-betul kecewa karena Biel malah menempuh jalan penyelesaian seperti ini.

“Aku nggak bisa maksain kamu untuk cepat maafin aku. Toh, kamu juga bilang butuh waktu sejenak buat kebaikan kita.”

“Kebaikan kalian, bukan kebaikan aku.”

“Gin, please? Let me finish my words first, okay?” sela Biel dengan wajahnya yang terpasang lelah.

“Aku mau kamu kembali ke aku dengan perasaan utuh, sepenuhnya buat aku. Nggak ada dia, atau orang lain lagi,” ujar Biel dengan tatap teduh. Ia bahkan sempat mengelus pipi Regina sebanyak dua kali, namun dengan cepat Regina mengangkat tangan Biel dari wajahnya. Pandangan Regina kepada Gabriel siang itu terasa berbeda.

Tidak lagi ada binar lembut yang Biel temukan pada manik mata perempuannya. Yang justru ia lihat adalah tatapan dingin dan sorot mata redup kepadanya.

“Aku nggak tau mau gimana nanggepin permintaan kamu, Biel. Dulu kamu buat aku tergila-gila, sekarang aku mati rasa.”

Hanya sepatah kalimat itu yang terucap dari Regina. Lantas perempuan itu turun dari mobil Biel tanpa menoleh padanya atau bahkan memberinya celah untuk mencegatnya pergi.

Selepas kepergian Regina dari mobilnya, Biel merasa sangat kacau. Ia memukul setirnya keras dan melajukan mobilnya secepat kilat dengan perasaan yang bergemuruh.

Menginginkan semuanya kembali seperti dulu.