Bagian Dua Ratus Enam Puluh Empat

A proper date as it should be.

“Stop! Stop! Stop!” Regina tiba-tiba melipir ke sebuah tepi jalan, sedikit membungkuk, lalu mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Peluh di dahi perempuan itu bercucuran deras, anak rambutnya yang sebelumnya terkuncir cukup rapih mencuat keluar. Membuat seorang lelaki yang tengah mengayuh sepedanya dengan kekuatan penuh, mendadak tak dapat berkonsentrasi karena terpaku pada paras elok yang Regina miliki.

Belakangan ini lelaki itu kian sulit mengatur perasaannya sendiri tiap kali berdekatan dengan Regina. Ada keinginan menggebu di hatinya yang cukup kuat untuk terus mendampingi perempuan itu.

Makanya, pagi ini lelaki itu datang bukan tanpa alasan. Ia hanya ingin sedikit melihat sang sang puan sebelum memulai aktivitasnya.

“Kenapa?” Alis lelaki itu terangkat satu, dan ia juga ikut berhenti mengayuh sepedanya. Ia turun lalu berdiri di samping Regina.

“Capek anjir,” keluh Regina. “Lo ngayuh sepeda dah kayak lagi dikejar flash,” kata perempuan itu seraya mengelap peluhnya.

Lelaki itu tertawa kecil. Lihatlah wajah merengut yang manis pada wajah sang puan. Sangat menggemaskan bagi lelaki itu. Ia hanya diam tanpa berkata apapun dan hanya mendengarkan segala keluhan Regina. “Itu juga udah gue pelanin,” kata lelaki itu setelah cukup lama mendengarkan segala ocehan Regina.

“Gila, pelan tapi ngelaju sampe puteran situ. Itu namanya cepet,” balas Regina tak mau dibantah.

“Ya udah oke, istirahat dulu,” ucap lelaki itu mengalah. Alasan lainnya karena ia ingin memberi nafas pada Regina.

Tidak perlu Regina jelaskan panjang lebar padanya, hanya dengan melirik kacamata besar yang bertengger pada hidung mancung perempuan itu, sang Adam sudah dapat menerka jika kali ini keadaan Regina tidak baik-baik saja. Mulut lelaki itu masih terkunci rapat walau ia sangat ingin bertanya bagaimana kabar Regina hari ini, karena ia tahu semakin Regina bercerita kepadanya, di satu sisi lelaki itu tidak dapat memungkiri bahwa ada perasaan marah dan tak rela yang menjalari benaknya.

Pertama, marah pada lelaki lain yang tiada henti membuat sang puan terus dalam keadaan seperti ini; dan kedua; ia tidak rela jika harus menyaksikan Regina terus disakiti oleh lelaki yang enggan ia sebut namanya itu.

Posisi dirinya yang hanya sebagai teman membuat lelaki itu harus pandai menahan diri dan kembali memupuk kesabaran untuk menuntut lebih. Buatnya hal-hal kecil yang terjadi pagi ini saja sudah menjadi hadiah terindah untuknya.

Maka itu, lelaki ini lebih banyak diam sembari mendengarkan semua kata-kata Regina, menatap teduh mata Regina sepuas yang ia mau, sebelum nanti ia tidak dapat lagi melihatnya secara langsung.

Momen-momen seperti ini harus ia manfaatkan sebaik mungkin.

“Kalo gue lepas kacamatanya, jangan lo ketawain ya,” peringat Regina ketika lelaki itu sedang menenggak air putihnya.

“Enggak,” janji lelaki itu. Tepat setelah ia berucap demikian, perlahan Regina melepas kacamata itu, dan sesuai yang ada dalam isi kepala sang Adam, pasti Regina menangis lagi.

“Bengkak,” ujar lelaki itu singkat dan cukup dalam.

“I know.” Regina berkata dengan mata yang tak lagi terfokus pada lelaki itu. Netranya teralih pada kerikil-kerikil kecil yang sedang ia tendang.

“Capek gue, Xav.”

“Diapain lagi emang?”

“Nothing.”

Lalu sang puan sedikit menarik nafasnya dalam-dalam, “lebih ke capek ngadepin penyangkalan dia sih. Is he roleplaying Peter?”

Kemudian perempuan itu tertawa. Tetapi jelas dari suara tawa pelan yang ia gerai, lelaki itu dapat menilai betapa perihnya hati Regina saat ini. Betapa ia ingin mengakhiri semuanya karena mereka terlihat semu.

“Again, you've been too nice to him.”

“I know,” jawab Regina cepat.

“And, may I ask something?”

“Apa?”

“What you gonna do?”

Regina shrugs her shoulders, menandakan bahwa ia juga tak punya jawaban pasti akan hubungannya saat ini. Pada satu sisi yang tidak diketahui Regina, lelaki itu berpikir hal yang sama dengannya.

He also doesn't know what to do with his feelings towards her. Should he continue? Or just holding it on until he finds the right time. Atau jika perlu, mungkin biarlah perasaan ini dia simpan sendiri.