Beban Keluarga

Aku langsung membelalakkan mata saat membaca pesan dari ibu tiriku, Andini. Dia butuh tujuh juta dengan tempo waktu hanya dalam seminggu? Bagaimana cara aku dapat menyanggupinya? Bekerja saja belum terikat kontrak. Perlu banyak dokumen yang kupersiapkan. Lalu dia, perempuan perusak kebahagiaan hidup Papa, tiba-tiba saja menjajah harta kami.

Menyebut namanya saja, amarah di dadaku memuncak. Sebenarnya aku amat enggan memanggilnya ibu, sifatnya yang selalu mendewakan uang membuka mataku jika wanita itu memang sengaja melakukannya.

Terbukti kan? Semenjak Papa nggak ada, aku dihantui terus olehnya. Sedikit-dikit minta uang, buat hidupnya, buat anaknya yang sebenarnya anak dia dengan suami pertamanya.

Bukannya aku enggak mau membantu ekonomi keluarga, tapi mulut pedasnya itu sungguh-sungguh menggoyahkan titik pertahananku. Kalau nggak dibantu, wanita itu pasti akan berkata yang tidak-tidak tentangku. Persis seperti mulut tetangga yang selalu heboh kalau melihat anak perempuan pulang malam.

Kata-katanya seperti ini. “Sadar dong, kamu memang anak ayahmu tapi sejak kamu ndak kuliah, ayahmu jadi bertambah bebannya.”

Bayangin. Dia yang datang pada ayahku dengan pesona medusanya, lalu dia memutar balik fakta jika akulah yang berbuat ulah. Aku sempat marah pada almarhum ayahku, karena sejak Beliau menikah dengan wanita ini, perhatian Beliau benar-benar teralihkan meski nggak sepenuhnya aku ditelantarkan.

Tapi keuangan Papa merosot jauh karena semua kartu serta gaji Beliau dipegang oleh perempuan tua itu.

Sekarang, dia kelakaban sendiri melunasi utang-utangnya. Sebagian memang utang papaku untuk pengobatan, tapi sebagian besarnya lagi... Ya hasil foya-foya perempuan itu yang belum sempat dilunasi Papa.

“Ri, gimana? Belum juga uangnya ada?”

Pagi itu mimpi burukku datang kembali. Setelah kemarin malam calon bosku alias sutradara rempong yang mengoceh tiada henti seraya menuduhku terkena penyakit mental, kini satu orang lagi mengganggu tidur nyenyakku.

Dia meneleponku sebelum fajar menyingsih. Kicauan burungpun tak terdengar, malah teriakan dompet yang terkuras karena ulahnya. Aku terpaksa mengorbankan waktu istirahatku untuk menerima teleponnya.

“Nanti, Mah. Riri harus kerja dulu,” kataku berusaha sabar.

“Lha wong kamu tuh pembantu, ndak bisa apa dapet kerjaan yang lebih oke?” Geram bukan main, aku menonjok bantalku sendiri.

“Pembantu yang Riri maksud, bukan pembantu yang kayak di sinetron, Mah.”

“Terus, yang seperti apa?”

“Kuli, kali.”

“Gimana maksudnya?”

“Ya nenteng-nenteng barang gitu di lokasi.”

“Lokasi apa???” Dia terdengar shock.

“Lokasi syuting.”

“Kamu jadi artis?”

“Enggak.”

“Itu syuting! Uangnya gede dong?”

“Riri figuran, Mah.”

“Figuran yang lewat-lewat itu?”

“Hmm.”

“Kamu padahal cakep, Ri. Nggak mau jadi artis aja?”

Dalam hati aku tertawa nyinyir dan menambahkan artian ucapannya, biar gue cepet kaya karena uang lo. Gitu kan maksudnya?

“Nggak. Riri nggak suka disorot kamera.”

“Lah, jadi figuran kan berarti keliatan mukanya. Itu mau.”

“Bos Riri cuma mau pake punggung Riri aja, Mah.”

“Punggung?”

“Ya, gitu deh. Mah, udah dulu ya, bos Riri telepon. Nanti kalo udah ada uangnya, Riri transferin. Salam buat Bella.”

“Oke. Tur suwun nggih, Nduk.”

Aku bahkan malas membalas ucapan terima kasihnya yang terasa begitu palsu.

Hari Mingguku weekend ini memang tak seindah akhir pekan biasanya.