Being A Mother Is a Gift

“You did a good job, Ma...Thank you.” Hal itu tepat saya sampaikan pada Mentari, sesaat bayi perempuan kami dibaringkan di dadanya. Melihat anak kami lahir dengan selamat, rasanya seluruh lelah dan pegat saya terbayar.

Mentari mungkin terlihat lelah, apalagi ia harus berjaga menahan sakit kontraksi dan mengejan beberapa kali, namun semangatnya tak kunjung patah. Ia terus berjuang agar Kiori lahir dengan selamat, bahkan

ia tetap menyalami punggung tangan saya sebagai rasa hormatnya pada saya usai

Dengan suara lirih Mentari berbisik, “Makasih Mas, udah nemenin aku lahiran. Istirahat ya..”

Saya pun segera membalas lewat peluk dan cium di keningnya. Serta tak lupa membasuh peluh yang masih tersisa di sana.

“Terus jangan lupa jemput Idan.. Aku kangen sama dia.”

Astaga, bahkan usai bertaruh nyawa, Mentari tetap memikirkan orang lain. Saya lagi-lagi hanya sanggup mengiyakan sambil menahan haru.

“Idan di depan sama Mamah, tadi dianter Devon ke sini,” ujar saya se-stabil mungkin agar Mentari tenang.

“Ya udah nanti kalo aku sama Kiori udah dipindahin ke ruang perawatan, Idan sama Mama masuk ya.”

“Iya, Sayang.”

Ia mengangguk tanpa sepatah kata, dengan tangan yang masih menggenggam erat jemari saya.

“MAMAAAAAH.”

Tak banyak yang bisa saya ungkapkan ketika melihat Aidan memeluk Mentari erat. Tangis mereka pecah bersamaan.

“Anak Mamah...” ujar Mentari lembut. “Sini bobo sama Mamah dan Adik.”

Aidan lantas mengangguk, menaiki anak tangga kecil untuk melihat adik perempuannya yang pertama kali.

“Sayang adeknya, Dan.” “Mamah, Adek merah banget kayak ultraman,” katanya kagum sembari mengelus lembut dahi Kiori.

Saya dan Mentari sontak saling bertatapan, lalu tertawa mendengar ucapan spontan Aidan.

“Adek bobo terus, Mah. Eh, tapi jari Idan dipegangin!” serunya senang, mendapati telunjuknya digenggam oleh Kiori.

“Iya, Nak. Idan kalo mau narik jarinya pelan-pelan ya.”

“Be gentle okay, Son?” saya turut membimbingnya. Anak itu kemudian menarik telunjuknya perlahan. Namun tanpa disangka, Kiori langsung histeris, tak terima bila sang kakak melepas jarinya. “Adek gak mau jauh dari Idan, maunya dipegang sama abangnya terus,”

Mendengar ucapan Mentari, Idan segera menyelipkan tangannya kembali ke jari Kiori. Dan betul saja, tangisnya terhenti saat Aidan mengusap dahinya.

Saya tersenyum bangga memandang Aidan di belakang My first born yang saya kira akan terus-terusan bersikap manja pada ibunya, kini justru menjadi magnet bagi adiknya.

Just like his mom, Mentari.