The Happiness of Being Married
Berada di dalam ruang persalinan selama kurang lebih satu hari adalah pengalaman terbaik bagi Anya dan Shaka.
Menegangkan buat Shaka, mengharukan buat Anya.
Untuk Shaka, ini adalah pengalaman pertamanya menyaksikan wanita bertaruh nyawa demi seorang anak. Dari perjuangan sang istri, Shaka sadar bahwa menjadi orang tua tidaklah mudah.
Bukan hanya kerja keras dan tanggung jawab, tetapi juga pengorbanan dan nyawa yang harus dipertahankan.
Saat Anya mengadu padanya karena kesakitan, sambil sesekali meringis, disitulah Shaka tegang sekaligus terharu, karena Anya mati-matian menahan rasa sakitnya sendirian. Shaka tidak tega melihat Anya menangis sambil berkata padanya, “Sakit, Ka..”
Shaka cuma bisa memberi Anya dukungan melalui affirmasi positif. Berusaha tenang agar Anya tidak panik, mengingat untuk Anya, ini adalah pengalaman pertamanya melahirkan normal.
“Iya, Sayang... kamu semangat ya, yang pinter nafasnya. Kamu punya aku disini. Kamu boleh nyakar, boleh cubit, boleh ngapa-ngapain aku, terserah. Ya?” Shaka mengusap kepala Anya dan tak lupa juga mengelus pundak istrinya.
Usai berkata demikian, sepertinya Anya baru bisa merasa tenang. Shaka tak pernah melepas genggamannya selama Anya melalui proses persalinan. Entah sudah berapa cakaran yang mampir pada lengan berurah Shaka, juga punggungnya, yang penting anak dan istrinya selamat.
Syukurlah, pada pukul tujuh lewat lima belas menit di pagi hari, pertarungan Anya tidak sia-sia.
Buah cinta Anya dan Shaka terlahir ke dunia dengan selamat. Tangis putri kecil mereka memenuhi ruangan, begitu kencang, seolah ingin segera dihangatkan dalam peluk ibunya.
Usai dibersihkan oleh sang dokter, bayi mungil yang wajahnya persis dengan Shaka itu segera diletakkan di dada sang ibu. Shaka di samping, menatap putrinya dalam rasa haru. Air matanya pun terjatuh. Masih membekas perjuangan dalam kepalanya. Untuk itu, Shaka mencium dahi Anya, menyalurkan terima kasihnya pada sang istri. “Makasih, Nya..”
Telunjuk Shaka kemudian terjulur untuk menggenggam tangan mungil anaknya. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Shaka menjatuhkan tatapan lekatnga pada sang putri yang ia beri nama,
Elaine Alethea Roserue Nareswara
“Mirip banget sama kamu, Ka,” gumam Anya, melirik sang suami yang masih berselimutkan haru. Tangan Anya yang masih dipenuhi selang infus menepuk-nepuk Baby Elaine karena tangisnya belum berhenti. Sementara tangan kirinya, mengusap sisa air mata Shaka di sudut matanya.
Anya sangat sadar jika tanpa Shaka di sampingnya, mungkin saja ia akan menyerah. Tetapi laki-laki di sebelahnya ini, rela mengorbankan waktu istirahatnya demi menjaga Anya dari semalam.
Oh, bukan hanya itu, Shaka juga sampai ngotot menyuapi Anya, mengelap lengan dan tubuhnya agar dia tidak gerah.
“Aku makan sendiri, Ka. Bisa kok. Ya?” rengek Anya. Ia tak biasa diperlakukan semanja itu oleh laki-laki. Ya walaupun suaminya sendiri.
“Nanti infusnya copot. Enggak,” balas Shaka. Wajahnya terpasang tegas, membuat Anya tak berkutik dan akhirnya ia mau disuapi Shaka.
Kalau boleh Anya katakan, Shaka-lah yang paling banyak berkorban untuk dirinya juga kedua anak mereka. Mulai dari menyempatkan diri untuk mengantar Nora ke sekolah, sehari sebelum Anya harus ke rumah sakit, sampai menenteng sendiri hospital bag Anya. Tanpa bantuan orang rumah ataupun supir pribadi mereka.
“Nya, kok malah nangis? Ada yang sakit? Kamu pendarahan?” tanya Shaka panik. Padahal Anya mau menggeleng, tetapi Shaka yang masih cemas lanjut berkata lagi, “kamu kena baby blues ya, Nya? Aku panggilin dokter ya? Kita konsul. Ya?”
“Aka...bukan gitu,” balas Anya usai beberapa detik bergeming.
“Terus kenapa...?”
“Mau dipeluk dulu,” pinta Anya.
“Nanti Elaine kegencet,” kata Shaka. Tadinya ia mau tertawa, namun sepertinya Anya masih diselimuti haru, jadi ada baiknya Shaka menahan diri.
“Ih, cepetaan,” rengek Anya. Shaka pun memeluk Anya walau tidak seerat biasanya. Lalu, perempuan itu berbisik di telinga Shaka, “Makasih ya, Ka, udah seharian jagain aku..”
“Sama-sama, Hon. Makasih juga udah ngasih aku anak sekaligus dua,” jawab Shaka, menderai tawa.
“Hehehe. Ka..” ujar Anya lembut sembari mengusak rambut Shaka, “Abis ini kamu tidur, ya?”
Dari kantung mata Shaka yang menghitam, Anya tahu betapa kejamnya lelah menghantam Shaka pada saat itu. Ini kali pertama Shaka menemani orang bersalin. Gugup dan cemas pasti hinggap dan masih tersisa dalam benaknya.
Namun tidak sedikitpun Shaka melayangkan keluh pada Anya. Yang ada, sepanjang Anya bersalin tadi, Shaka terus memeluk dirinya kuat-kuat, bahkan rela dirinya dicakar dan dicubit.
“Lah kok tidur?” sahut Shaka bingung. “Adik kan belum disusuin, Hon.”
“Ya maksud aku, kamu bobo, Sayang. Mata kamu udah lima watt banget itu.”
Alih-alih menuruti permintaan sang istri, Shaka justru tampak sibuk, mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, “aku udah bawa balsem, buat ngolesin mata. Kayak jaman aku SD dulu waktu belajar, supaya bisa nemenin kamu nyusuin adik.”
Anya tertawa, ia tahu Shaka hanya bercanda. Shaka pasti membawa balsem itu untuk mengurangi rasa pegalnya usai seharian menjaga Anya.
“Ngawur! Hahahaha, adik nanti ada jadwal nyusunya, Ka. Kayak waktu Nora dulu. Makanya kamu bobo, ya?” bujuk Anya.
Shaka terdiam, tapi pandangannya tak lepas dari manik mata indah Anya. Begitu kentara rasa sayang yang terpancar dari tatapan Shaka, sehingga sekali lagi rona merah di pipi Anya terlihat. “You know, this is why I love you so much, Nya.”
”...Kenapa emang?”
“Karena kamu Anya.”
“Hah? Aku abis lahiran, jangan disuruh mikir ya.”
Tawa Shaka meledak, “karena kamu Anya. Anya yang selalu perhatian, bahkan disaat kamu lagi capek-capeknya kayak gini. Kamu masih sempet merhatiin aku, ngurusin Nora. Entar lagi ngurusin adik.”
Shaka membelai kepala sang istri, sebelum ia daratkan satu kecupan di dahinya, “I love you not because you're an independent woman yang kayak orang-orang bilang.”
Anya yang baru melahirkan itu bisa-bisa terserang jantung kalau Shaka melontarkan kata-kata tak terduga seperti tadi.
“But I just love you.”
“Karena?”
“Emang cinta butuh alasan?” sahut Shaka dengan muka jahilnya hingga membuat Anya tergelak.
“Shakaaaa! Perut sakit masih nyeri, jangan dibikin ketawa duluuu!”
“Hah? Jangan-jangan kembaran adik ketinggalan di dalem? Tuh, perut kamu masih nyeri.”
“El Shaka, ya Tuhan. Kagak begitu konsepnya!”
“Hahahaha. I know, Hon. Kidding.”
Di setiap kesempatan, Anya sangat hafal dengan sang suami yang pintar cari celah untuk membuat dirinya bahagia.
Mulai dari perhatian kecil, sampai sentuhan-sentuhan dahsyat yang membuat Anya tak punya kekuatan untuk menolak Shaka.
Seperti yang barusan terjadi.
Shaka sempat-sempatnya mencuri satu kecupan di bibir Anya. Tak menuntut, lembut, seolah mengisyaratkan betapa lelaki itu amat berterimakasih dan bersyukur memiliki Anya dalam hidupnya.
Anya pun sama. Ia sangat bahagia memiliki El Shaka di hidupnya. Laki-laki yang tak pernah disangka-sangka menjadi tonggak dalam kehidupannya. He's the reason of her happiness and sadness, kalau Shaka sedang berjauhan dengannya.
“I love you, Suamiiiik,” ucap Anya, mengelus lembut pipi Shaka.
“I love you too, and the most, Wife.” Shaka menjawab, tersenyum hangat pada sang istri.
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Anya setelah dipertemukan dengan sosok yang sepadan dengan dirinya. Her perfect match
El Shaka Nareswara.
Fin