Best Gift – Being A Mother

Lupakan. Lupakan angan-anganku tentang pregnancy glow seperti kata orang, karena begitu aku sampai di rumah, mual-mualku kembali menyerang. Jangankan sempat mencuci muka, aku langsung mencari toilet untuk memuntahkan segala isi perutku. Hilang sudah cireng keju sebagai camilan pengganjal lapar. Jordy di sebelahku sibuk mengelus tengkuk leher dan punggungku karena sudah hampir lima menit aku muntah di kamar mandi. Aidan datang, membawa minyak angin buatku agar mualku sembuh.

Aku bersyukur, baik suami dan anakku tak berhenti mencurahkan perhatian mereka, meski kadang Aidan meluncurkan pertanyaan tak terduga yang membuatku tak kuasa menahan tawa.

“Mamah, cacingan ya?” Pusingku yang tadinya cenat-cenut, mendadak berhenti karena aku terlalu fokus tertawa. Jordy melirik putranya datar, “Dan, di dalem perut Mamah ada adeknya Idan.”

“KOK UDAH ADA?” Anak itu berseru heboh. “Ih, cepet banget. Idan sebel!”

Aku cengo, apalagi bapaknya yang menandangku heran. “Loh, kemaren Idan nanya terus adek udah ada di perut Mamah, sekarang udah ada kok malah ngambek?”

Aidan merengut, “abis nanti Mamah enggak sayang Idan!” Ia berbalik badan lalu berlari ke kamarnya. Aku menatap Jordy pasrah, sedang dia menenangkanku. “Nggak apa-apa, nanti juga Idan ngerti kok. Ya namanya dia jadi anak tunggal sembilan tahun, gitu tau ada adiknya pasti ngambek.”

Aku mengangguk lemah ketika Jordy mengalihkan kekhawatiranku, “Udah enakan belum, Yang?” Jemarinya mengusap lembut punggungku.

“Udah, cuma masih sedikit pusing aja, Mas.” Helaan nafas yang meluncur ringan dari bibirku menandai betapa aku sangat lelah dengan trimester pertama kehamilan ini.

Semula kupikir menjadi ibu hamil adalah hal keren, karena fitrah seorang perempuan.

Tetapi anggapan itu sedikit terpatahkan kala aku mengenal yang namanya muntah, mual, pusing, lemah, dan ringkih. Aku sampai tidak enak hati pada Jordy, karena sedikit-dikit aku jadi bergantung pada suami.

Walau sepantasnya aku menggantungkan segala keluh dan lelahku padanya, tapi dia kan tidak mungkin berada di sebelahku dua puluh empat jam.

Tugasnya sebagai kepala keluarga dan imam untukku dan Aidan harus ia pikul sendirian, dan itu membuatku sedikit merasa bersalah.

“Maaf ya, Yang...” Isakanku pecah kembali. Sungguh, salah satu yang membuatku benci terhadap diri sendiri, ya ini—being moody every single minutes. Persis seperti cuaca Jakarta yang kadang terik dan mendung, begitupun aku. Kadang cerah seperti namaku, kadang kelabu seperti nasibku yang terdahulu.

Belaian lembut mampir dari Jordy padaku di bagian pinggul. “Nggak apa-apa, aku bakal jagain kamu sama adek,” katanya dengan binar hangat. Aku memeluknya erat, mengadukan segala payah yang belakangan kusimpan sendiri karena tak ingin membebankannya.

“Bulik udah tau kalo kamu hamil, btw,” Jordy berpindah posisi dari berjongkok menjadi duduk sebentar di sampingku. Aku melongo bingung.

“Bulik tau dari mana?” tanyaku.

“Dhea. Kamu posting di IG story,” beritahu Jordy. Ah, iya juga. Aku bahkan lupa kalau kabar bahagia itu kubagikan melalui sosial media.

“Iya, iya,” responku sambil berusaha bangkit dari toilet.

“Aku gendong aja.” Tiba-tiba Jordy mengangkat tubuhku. Sontak hal itu membuatku tersipu tapi juga risih. Pasalnya, aku yakin kalau aku masih bisa berjalan walau separuh kakiku mati rasa.

“Yaaaang! Nggak usah deh. Kamu mah lebay banget. Turuninnnn!”

“Nggak.” Tebak, dengan cara apa lelaki itu menerjunkanku ke awan, meski mukanya datar selempeng tol panarukan?

Yap. Betul sekali. Bibir empuk nan lembut milik Jordy menghantarkan sensasi menthol yang begitu kentara ke bibirku, hanya dalam satu pagutan. Aku sampai geleng-geleng kepala dibalik bahu atletis yang kini kugunakan sebagai sandaran hidup (Eaaaaa).

“Eh, Yang. Idan gimana ya?” tanyaku disela-sela ia menurunkanku di ranjang.

“Kan udah aku bilangin, ntaran lagi juga dia baik sendiri. Percaya deh, aku papinya. Aku tau dia gimana,” sahutnya yakin. Aku merespon dengan tawa, “persis kamu banget nggak sih? Bikin emosi tiap hari!”

Tidak, aku bukan bermaksud untuk mengeluh. Maksudku berkata demikian...karena kenyataannya Jordy memang lihai memainkan perasaanku. Sejak awal mengenal sampai aku mengandung benihnya.

Kurang ajar tapi menantang.

Dua puluh dua lewat lima belas menit, dan kami—yang tidak lama lagi akan menjadi orang tua masih sibuk mengarungi rutinitas malam. Sebelumnya aku telah bertanya pada dokter kandunganku, katanya aman. Dan ya, tanpa pikir panjang, bapak-bapak soon to be itu langsung merengek padaku untuk melakukan hal favoritnya.

Tidak terlalu lama, tapi rona merah itu memenuhi wajah tegas Jordy. Ia masih sibuk mengatur nafasnya yang tersengal di atas dadaku sambil sesekali merematnya pelan. Sialan, aku saja sampai tak mampu menolak karena Mr. Huggy Bear-ku itu terlampau hebat, mentang-mentang sudah pengalaman.

Saat kami sudah sama-sama yakin untuk terlelap tanpa mengunakan busana apapun, ketukan terdengar keras dari arah pintu. Aku dalam hati langsung melafalkan ayat kursi, karena dengar-dengar jika ada ketukan dari luar sebaiknya jangan dibuka, sebab bisa saja yang datang bukanlah manusia.

“Yang, jangan. Kata Bulik bahaya tau,” beritahuku pada Jordy.

Tapi semakin lama ketukan itu kian menggebu.

Tok! Tok! Tok!

“Yang, pokoknya kamu jangan tanggepin. Kita baca ayat kursi sama-sama ya,” ajakku sambil menengadahkan tangan dan mengucapkan doa selantang mungkin. Jordypun demikian.

Alhamdulillah, tak lama ketukan itu berhenti. Aku dan Jordy sama-sama langsung bernapas lega.

Eh, sudah tenang sedikit, kini suara isakan kecil menggeletik rasa takutku.

Satu sampai dua detik pertama, isakan itu masih terdengar normal, tapi lama kelamaan ia berubah menjadi gaungan kencang.

“MAMAAAH! Idan mau bobo sama adeeeeeeeeeeeeek!”

Aku dan Jordy kontan saling menatap satu sama lain.

“Yang, beneran itu Idan? Kata Pak Ustad kan suka nipu,” lucunya Jordy yang tubuhnya sebesar petinju profesional justru berlindung dibalik tubuhku. Ia menenggelamkan wajahnya dipundakku.

“Yang, ih! Kok kamu malah sembunyi gitu?”

“Kalo bukan Idan terus dia ketawa lebar kan aku duluan yang teriak,” katanya gemetaran. Aku antara mau nangis atau ketawa melihat ekspresi Jordy yang sungguh kalut saat itu. Terpaksa aku yang harus maju.

“MAMAAAAH, mau bobooook! Idan ngantuk, Maaaaaah!” Suaranya semakin lantang, sementara aku yang masih sibuk berpakaian harus segera berjalan cepat agar dapat membuka pintu. Dan ketika aku tiba di sana...

“Lama banget Mamah bukanya! Idan mau bobok sama Mamaaaaaah!”

Alhamdulillah, ternyata kaki Aidan tertapak di lantai. Tubuhnya sesuai dengan suhu tubuh manusia, sama sepertiku dan Jordy. Aidan langsung menuju kasur dan sementara aku berjalan, Jordy justru berteriak karena kaget.

“WHHAAAAA!”

“Yang, kamu kenapa?” tanyaku bingung. “Ini lho, Idan.”

“I-iya, Idan,” ia masih gemetaran. “T-tapi, Yang, itu dibelakang kamu,” katanya sambil menutup mukanya dengan bantal. Aku dan Aidan kompak melihatnya heran.

“Apa sih, Pi?” Aidan sontak menoleh, ternyata seekor serangga tengah mengepakkan sayap dan terbang ke arah Jordy.

“Ya ilah, Papiiii. Kecoaaak doang!” Aidan terbahak-bahak ketika Jordy meringkuk dalam selimut. Aku yang baru tahu jika orang se-perkasa Jordy ternyata phobia dengan kecoak langsung memastikan ke anaknya langsung.

“Papi takut kecoak, Dan?”

Aidan mengangguk kuat. “Iya, Mah. Soalnya Papi pernah dilewatin kecoak di kakinya pas lagi mandiin Idan waktu TK.”

Aku tertawa sejadi-jadinya setelah itu. “Tuh, kecoaknya udah keluar, Yang.”

“Iya, Yang.” Aidan di sebelahku justru ikut-ikutan memanggil ayahnya dengan sebutan sayang yang tentunya membuatku makin tertawa ngakak.

“Aidan...” Jordy merespon datar sambil menarik putranya untuk bergabung dengan kami.

“Idan udah enggak marah sama Mamah?” tanyaku ketika ia nyaris terlelap. Anak itu mengangguk sambil memilin salah jari telunjukku.

“Makasih ya, Nak...” Aku memeluknya erat.

“Iya, Mamah. Tapi kenapa adek bikin Mamah sakit?”

Aku tersenyum kikuk, agak bingung menjelaskan padanya. “Adek nggak bikin Mamah sakit, justru Mamah bahagia karena ada Aidan dan Adek. Kalian berdua kesayangannya Mamah.”

“Tapi Mamah tadi muntah-muntah, berarti Adek nakal, Mah!”

“Enggak, Dan...emang kayak gitu, bukan salahnya Adek.” Aku refleks melirik ayah dari Aidan yang dari belakang mengeratkan peluknya sambil sesekali mengelus perutku yang membuncit.

“Papi, jangan digituin nanti Adek kegencet! Karena tangan Papi gede kayak armagedon.”

“Dan!” Jordy langsung terbangun dan membuka mata ketika anaknya meledek.

“Udah, udah. Jangan ribut terus,” aku menengahi.

“Mamah, berarti sekarang kalo Idan bobo disitu gak bisa lagi dong?” Ia merengut kecewa.

“Hmm, boleh kok, pelan-pelan ya tapi.” Aku sontak meluruskan posisi tidurku, mempersilakan Aidan untuk meletakkan kepalanya di sana.

“Adek, halooo! Aku Idan. Abang Idan.” Mataku berkaca-kaca pecah saat Aidan yang kupikir takkan senang dengan kedatangan adiknya, justru memberi kejutan dengan memanggil dirinya sendiri “Abang.”

Jordy yang kala itu berada di sebelahku sadar jika sisi sensitif bumil-ku ini sedang berjalan, ia menyeka air mataku dengan ibu jarinya, meski aku tahu Jordy juga tak kalah haru denganku.

“Adek, kata Mamah kita harus berbagi. Nanti Adek Abang pinjemin buku cerita humpty dumpty ya, Mamah suka bacain walaupun Abang nggak ngerti Mamah ngomong apa, soalnya Mamah nggak bisa bahasa Inggris.”

“Idan...” Suasana haru yang tadi menyelimuti aku dan Jordy langsung berubah penuh tawa. Idan...Idan, emang jagoan banget kalau disuruh nge-roasting orang. Mungkin karena dia cukup dekat dengan Chanting dan Renjana, sahabatku—si dua manusia savage.

Fin