Bicara Empat Mata
Bukan Jordy namanya kalau tidak memberi pandangan sengit pada Mentari. Dia melirik perempuan itu dari ujung kaki hingga kepala, seolah menuduh Mentari sedang melakukan kesalahan.
“Ada apa?” tanya Mentari dengan tenangnya.
Yang ditanya kemudian menarik tangan Mentari sambil memasang cincin pertunangan mereka di jari manis kiri perempuan itu.
Tatapannya datar tanpa senyum. “Katanya mau bicara, aku tanya nggak disahutin. Susah ya buat ngehargain aku sedikit?”
Mentari tidak bermaksud menyindir, tapi dia cuma kesal, karena semestinya oseng daging untuk Aidan bisa matang dalam waktu lima menit, tapi lelaki ini justru membuang waktunya hanya untuk berdiam diri.
“Saya minta maaf soal itu.” “Mas, kamu sakit kah?” Mentari sontak meraba dahi tunangannya.
“Pusing dikit.” “Aku belum mandi sih emang, terus bau bawang soalnya tadi aku cincang baput—”
“Jadi saya gak penyayang dan judes di mata kamu?” Lelaki itu memotong ucapan Mentari. Dia melipat tangannya di depan dada dengan pandangan yang sedikit cemas.
“Kalau penyayang sih... sedikit? Kalo judes... jujur... Iya.”
“Gitu ya.” Nada Jordy tiba-tiba menjadi lebih lembut.
“Mas, serius deh. Kamu boleh cerita aja nggak, kamu sebenernya kenapa?”
“Nggak apa-apa. Saya cuma lagi capek doang. Anyway, besok kalo ke kantor berangkatnya bareng ya.”
“Boleh?”
“Boleh,” sahutnya yakin.
“Thank you, Mas. Aku ke dapur dulu ya. Takut gosong—”
“Saya boleh minta sesuatu nggak?” tanyanya sebelum Mentari bergegas pergi.
“Apa?” “Kalau Jenan nembak kamu, ditolak aja ya.”
Mentari sontak terbahak mendengar permintaan Jordy yang aneh itu.
“Kenapa ketawa? Jadi kamu lebih mau sama Jenan dibandingkan saya?”
“Eh, enggak gitu. Aku maunya sama kamu.”
“Jadi kalo besok-besok Jenan ajak pergi, kamu jangan mau ya?” katanya lagi.
“Iyaaaaa. Udah ah. Nggak perlu cemas gitu, aku nggak kemana-mana kok, Pak Jordy.”
Begitu Mentari menyebutnya dengan sebutan formal, entah mengapa Jordy langsung berdiri. Tinggi tubuhnya yang seperti mercusuar itu menghalangi Mentari untuk meraih ponselnya yang barusan berdering. Dan tanpa permisi, Jordy yang membuka notifikasi ponsel itu.
Jenan.
Yang lebih gilanya lagi, Jordy sampai menelepon Jenan dan menegurnya dengan keras.
“Lah, Ri? Lo lagi sama siapa anjir? Kok cowok? Ri!”
“Saya minta jangan genit sama calon istri saya.”
Setelah puas menelepon Jenan, Jordy baru memberikan ponsel itu pada pemiliknya.
Mentari kira Jordy akan berhenti mengoceh usai menegur Jenan. Rupanya lelaki itu kembali angkat bicara.
“Rules pertama, saya nggak suka ada orang ketiga dalam pernikahan. Rules kedua, saya juga nggak mau kita bertengkar karena hal sepele. Rules ketiga—”
“Mas, lain kali kalo tidur jangan pas maghrib ya. Kayaknya kamu mimpi buruk. Nanti aku yasinan deh biar kamu gak diganggu.” Mentari menenangkan Jordy lewat sapuan pundak.
Nyalinya belum ada untuk memeluk lelaki bertubuh tegap itu.
“Maksudnya?” “Udah, sekarang kamu bangun dan mandi. Kita makan sama-sama, Idan baru selesai les ngaji.”
“Dia les ngaji... buat apa?” tanya Jordy heran.
“Biar ayahnya gak diganggu jin!” ceplos Mentari asal.
“Mana ada sih yang kayak gitu, aneh-aneh aja kamu.” Dia berkilah, tapi lagi-lagi mimpi buruknya melintas dalam kepala. Akhirnya Jordy bungkam dan membiarkan Mentari melanjutkan omongannya.
“Lah kok malah bengong? Mandi sekarang, cuci mukaaa!” suruhnya kemudian.
“Hmm.”
“Gitu dong!” Mentari membalik tubuhnya menghadap pintu dan berjalan ke arahnya, namun belum ada satu detik ia melangkah, Jordy menyusul dan menahan pintunya.
“K-kamu mau ngapain?!” Mentari sontak menutup mata, dipikirnya Jordy sudah bertelanjang dada.
“Denger saya baik-baik, karena saya ngomong cuma sekali.”
“A-apa, Mas?”
“Saya nggak tau ke depannya kita kayak gimana, saya juga punya kekurangan. Kalau selama ini saya kurang menghargai kamu dan kamu ngerasa saya bohongin, saya minta maaf untuk itu.”
Mentari benar-benar tidak berani membuka mata, namun dia menyadari bahwa Jordy sedang mengalami sesuatu yang buruk sehingga kepercayaan dirinya menurun.
Mentari jarang sekali melihat Jordy berbicara dengan suara yang se-gemetar ini.
Dia juga tahu bahwa pernikahan yang nanti mereka jalani tidak akan berlandaskan cinta.
“Saya... juga minta maaf kalau saya selalu bersikap keras sama kamu.”
“Oh, kalau yang itu... jujur aku udah biasa. Tapi tolong dikurangin ya ke depannya... untuk Aidan. Kalau ke aku nggak apa-apa, karena mungkin emang watak kamu begitu.”
”...Tapi coba sekali aja ngomong dengan nada lembut kayak gitu ke Idan. Dia pasti seneng.”
“Terus ke kamunya gimana?”
“Ya jadi diri kamu sendiri aja,” jawab Mentari tanpa beban. Sedang Jordy begitu sadar bahwa dirinya sendiri adalah lelaki yang sangat dingin dan menyebalkan.
“Nanti kata kamu saya judes.”
“Judes sih emang, tapi... kalau kamu nadanya lembut kayak tadi, berasa ngegodain cewek. Aku nggak suka.”
”...Aku udah terbiasa sama kamu yang ngomongnya tegas dan to the point.”
“Oke.”
“Aku boleh ke dapur ya sekarang? Udahan kan ngomongnya?”
“Udah,” jawab lelaki itu singkat padat dan jelas.
“Kalo udah selesai mandi, langsung makan di depan.”
“Hmm.” Mentari tersenyum kecil memandangi Jordy dengan wajah dinginnya. Bagi dia, itu daya tariknya.
Sayang dia tak memiliki nyali untuk mengecup pipi Jordy.