Bicara Takdir
Baru setengah menit perjalanan, Regina tiada henti mengeluh dalam batin. Kapan sih gue nyampe di gereja? Kenapa mesti macet total? Rese banget, badan gue mulai menggigil.
Begitulah saat keinginan tak sejalan dengan takdir. Seperti kata pepatah yang sering Regina dalam khotbah Pastur, manusia boleh berencana, namun Tuhanlah yang punya kuasa.
Hal ini ternyata terjadi juga pada Regina. Mulai dari pagi hingga sore menjelang, semua yang Regina rencanakan tak terlaksana. Biel batal menjemput, cowok disebelahnya pun justru menjemputnya lebih dulu dibanding sang teman. Kalau begini caranya, bagaimana Regina dapat berpikir tenang? Otaknya seakan bercabang, memikirkan apalagi yang akan terjadi nanti ketika Regina dan cowok di sampingnya ini sudah sampai di gereja. Kalau bisa, Regina ingin segera menjauh dari lelaki itu, agar sang sahabat lebih leluasa melakukan gencatan senjata pada sang Adam. Ya, itulah yang menjadi rencana Regina selanjutnya. Ia tidak mau menambah masalah yakni salah paham dengan teman baiknya.
“Gin.” Shit. Tanpa sengaja Regina mengumpat dalam hati.
“H-hmm?” Ia lantas menyahut, namun entah mengapa suaranya agak gemetar saat menanggapi panggilan lelaki itu.
“Tangan lo pucet banget. Sakit? Apa kedinginan?” Lelaki itu berbicara seakan-akan memberinya perhatian. Semestinya pertanyaan ini dilontarkan oleh kekasihnya kan? Bukan pemuda lain yang notabene-nya gebetan temannya sendiri. Regina menggeleng. Menyembunyikan fakta sebenarnya.
“Yang bener lu?” Lelaki itu kembali bertanya. Kali ini raut wajahnya mulai terlihat cemas.
“Bener, kok.” Regina mencoba meyakini lelaki itu melalui ucapannya yang lantang dan mantap. Namun alih-alih mengacuhkan, cowok itu tampak sibuk, merogoh sesuatu dari sela-sela pintu mobilnya.
“Pake minyak kayu putih aja. Tangan lo pucet banget, Gin.”
Tolonglaaah Regina menjerit pasrah dalam hati. Pasalnya tiba-tiba, lelaki itu menyodorkan minyak penghangat itu pada Regina.
Yang menjadi masalah bukan pada minyak kayu putih yang berada pada genggaman lelaki itu, tetapi pada netra teduh miliknya saat membalas tatapan Regina. Biasnya terasa begitu tulus hingga membuat Regina harus mengumpulkan kekuatannya untuk tidak goyah dan setia pada kekasihnya.
Lima detik berlalu, nampaknya lelaki berhidung mancung itu masih setia menanti jawaban Regina atas tawarannya barusan. Pandangan lelaki itu yang terarah padanya seolah menginginkan Regina untuk memakai minyak kayu putih yang ia sediakan.
“Ng...” Regina mengalihkan pandangannya pada minyak kayu putih tersebut. “Punya cici lu kan ini? Ah, jangan deh. Xav. Nanti lu kena marah kalau ngasih ke gue. I mean ini kan punya orang ya, gak baik kalo belum izin sama yang punya. Kesannya jadi maruk, pengen milikin apa yang bukan punya kita.
“Oh..” Lelaki itu tersenyum kecil. “Bukan punya Ci Anna.” Ia menjelaskan.
“Terus?” tanya Regina penasaran.
“Hmm...” Lelaki itu sedikit memberi jeda diantara deru nafasnya yang tenang. Sangat kontras dengan degup jantung Regina yang berdetak amat.
“Tadi sebelum ke rumah lu, gue mampir sebentar ke minimarket. Beli ini, buat jaga-jaga, kalo alergi lu kambuh. Soalnya, AC mobil gue masih tetep dingin walaupun udah dikecilin. Biar lu gak kedinginan juga selama naik mobil.”
Jawaban yang terucap dari bibir lelaki itu sontak membungkam Regina. Pikirannya reflek tertuju pada sang kekasih—Gabriel—yang selama dua tahun belakangan nyaris tidak pernah memperlakukan Regina seperti yang lelaki di sebelahnya ini lakukan.
Taking care of her.
Well, its just a small act, but that small act she hopes her boyfriend does, justru dilakukan oleh temannya sendiri.
Teman yang selama ini ia anggap asing karena mereka hanya dipertemukan sebagai rekan satu komunitas.
“Kalau gak mau pake disini, simpen aja di tas lu,” ucap lelaki itu, membuyarkan segala lamunan Regina.
“Ah..” Regina mengangguk-angguk kecil, lalu mengangkat tatapannya pada lelaki itu.
“Nih,” kata laki-laki itu menyodorkan minyak kayu putih kepadanya.
“Makasih ya, Xav.”
“Sama-sama.” Setelah minyak kayu putih itu berpindah tangan, sang Adampun kembali fokus menyetir. Kebetulan waktunya pas sekali dengan bergantinya lampu lalu lintas dari merah ke hijau.
Seolah takdir ingin menyampaikan sebuah pesan, jika Regina harus berjalan dan meninggalkan persimpangan yang salah.