Bicara Takdir
Manusia boleh berencana, akan tetapi Tuhan yang punya kuasa. Tidak selamanya yang kamu inginkan seturut dengan kehendak-Nya. Dan apabila Ia menarik apa yang kamu kehendaki, percayalah bahwa suatu saat nanti Ia akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih indah.
Sudah kesekian kalinya Biel mengacuhkan telepon Regina. Sebelum ia dijemput oleh Xavier, perempuan itu sempat mencoba menelepon ponselnya, namun sang kekasih tidak merespons. Biasanya, seorang Biel akan segera mengabarinya melalui chat WhatsApp apabila ia sedang tidak dapat dihubungi, tetapi kali ini... Regina tidak menerima pesan apapun dari lelaki itu.
Resah bercampur cemas karena belum menerima kabar dari Biel, Regina tak mampu menyembunyikan perasaannya dari laki-laki yang semestinya tidak perlu tahu keadaannya.
Xavier.
“Lu kenapa, Gin?” tanya Xavier. Kemudian, pandangan lelaki itu turun ke buku-buku jari Regina yang tampak memucat. Regina sendiri tidak sadar jika kekhawatirannya ini berimbas pada kesehatan fisiknya. Tubuhnya dingin dan ia mulai menggigil.
“Gin,” panggil Xavier sekali lagi, memastikan Regina mendengar panggilannya.
“Eh. Iya, Xav?” sahut Regina getir.
“Gak papa?” tanya Xavier memastikan. Regina menggeleng, mencoba meyakini Xavier kalau keadaannya baik-baik saja.
“Tangan lo pucet banget, Gin.” Lelaki itu bergumam. Tangan kokohnya tergerak, mengutak-atik AC mobilnya. Sementara sang hawa yang memandangi pergerakan Xavier, hanya bisa terpaku melihat lelaki itu sibuk mengecilkan angin AC-nya.
“Eh, gak usah, Xav.” Regina merasa perlu mencegah Xavier mengurangi angin AC-nya hanya untuk dirinya. Mobil ini adalah mobil Xavier. Di sini, ia cuma menumpang saja, tidak etis rasanya kalau karena penyakit kampungan Regina ini, Xavier harus mati kepanasan.
“Loh, kenapa? Tangan lu udah pucet banget itu. Enggak apa-apa.” Alih-alih langsung menyahut, Regina malah terdiam beberapa saat. Terpaku pada guratan-guratan urat yang terlihat di lengan Xavier, juga bagaimana lelaki itu tetap kekeuh mengurangi temperature pendingin mobilnya sampai ke suhu dua puluh lima.
“Segini udah anget belum, Gin?” tanyanya seraya menoleh ke Regina. Astaga, kalau saja Regina boleh berdecak, maka saat itu ia akan melakukannya. Namun Regina menahannya sebisa mungkin, karena tak ingin Xavier salah paham.
Pasalnya...bukan ini yang Regina inginkan. Berada dalam satu mobil bersama laki-laki lain, diperhatikan secara utuh oleh laki-laki yang notabene-nya dicintai oleh sahabatnya sendiri. Regina merasa tidak cukup baik untuk menerima perhatian tulus dari lelaki bernama Xavier. Della-lah yang lebih berhak. Regina menginginkan raga lain untuk menjaga perasaannya secara utuh, bukan seseorang yang semestinya memberi perhatian pada hati yang tepat—yakni—temannya sendiri.
Regina diam, bukan karena ia kehilangan arah. Ia memilih bungkam karena pada dasarnya dia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari rasa yang salah. Rasa yang semestinya tidak tertinggal ketika Xavier mengulurkan tangannya, dan memberinya sebuah benda sederhana, namun animonya cukup menghantarkan residu-residu hangat dalam hatinya.
“Ini, Gin. Kalau masih kedinginan, lo bisa gosok minyak kayu putih,” ujar lelaki itu dengan suara rendahnya. Namun yang menjadi perhatian Regina, bukan suara bass yang terlontar dari Xavier. Melainkan tatapan lembut yang kini terpatri pada netra Regina.
Bahkan Gabriel tidak pernah menatapnya seperti itu.
Regina sudah bilang, kan? Ia cukup heran mengapa Xavier selalu memandangnya seperti itu. Teduh, dan lekat.
Dan tentunya bias wajah serta pandangan lekat yang Xavier peruntukkan kepadanya membuat kepala Regina mendadak pening. Ia tak tahu harus merespon semua perlakuan Xavier padanya dengan cara apa.
Karena Regina betul menyadari, dia tidak menginginkan takdir hari ini. Ia berencana untuk pergi dari lelaki itu, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Xavier yang datang kepadanya. Bukan Gabriel. Ia selalu berseberangan dengan Gabriel, tetapi tidak ketika ia sedang bersama Xavier. Pertemuan-pertemuan singkat yang ia cecap, mulai menyisakan satu perasaan yang paling tidak mau Regina rasakan.