Bunga Matahari, Bunga Paling Cantik
“Dan, Mamah lagi gak di sekitar kamu?” tanya Jordy sesaat lelaki itu berjalan menuju mobil.
“Iya, Mamah lagi di kamar, tuh beres-beres di kamar Papi,” beritahu Idan. Mendengar Mentari yang sedang menyibukkan diri, lelaki itupun tak ingin menyianyiakan kesempatan. Segera ia minta Aidan untuk tetap berada pada posisinya yang sekarang, “Dan, Papi lagi di toko bunga,” ucapnya.
“Papi mau kasih Mamah surprise ya?” tanya Aidan nyaris berteriak.
“Dan, aduh! Jangan teriak, nanti ketahuan Mamah. Sssst!”
“Iya-iya, maap Pi, Idan lupa,” kata anak itu menutup mulutnya sendiri. “Papi mau beli bunga apa?”
“Coba Idan tebak, nama Mamah menggambarkan bunga apa.”
“Bunga matahari!” Lagi-lagi suara Aidan terdengar heboh. Jordy menggelengkan kepala, dia juga tak dapat berbuat apapun mengingat Aidan gampang excited apabila ia mendengar sesuatu yang menyenangkan.
“Dan...”
“Iya, maaaaaf, Piii,” anak lelaki itu menyengir lebar.
“Papi udah selesai beli bunganya,” kata Jordy kemudian. Suaranya agak teredam karena beradu dengan suara kendaraan lain di sore hari. “Nanti kalau Papi udah pulang, terus Mamah tanya, Idan tau apa enggak, Idan pura-pura enggak tau aja ya. Jangan bilang Mamah,” peringat Jordy sesampainya ia di dalam mobil. Namun Aidan yang ia harapkan akan bisa diajak kerja sama, justru tak membalas permintaannya. Anak itu sibuk berteriak karena makanan kesukaannya sudah siap santap, Jordy rasa ponselnya digeletakkan di atas meja begitu saja.
“Idan...Idan,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
—
“Dan, telepon dari siapa?” tanya Mentari saat putra kecilnya duduk manis di ruang makan. Anak itu melirik Mentari takut-takut, mengingat ayahnya lebih dulu memberitahu agar dia tutup mulut.
“Nono, Mah,” bohong Idan dengan cengiran lebar. “Ngajak main? Atau ngerjain PR bareng?” tanya Mentari berikutnya, menyendokkan semangkuk sup sayur kesukaan Aidan.
“Ng...” Aidan diam, ia berkelit melalui matanya yang sedari tadi melirik ke kiri dan kanan.
“Dan...” Mentari memandang Aidan dengan tatapan menyelidik.
“Bener kok, Mah! Dari Nono, dia nanya PR matematika yang kemaren, besok mau dikumpul!” kilah Aidan panik, namun Mentari tak semudah itu percaya pada Aidan, gelagat anaknya terlalu mencurigakan.
“Mamah baru aja ke kamar Idan, ngecek tugas Idan hari ini, kosong tuh. Enggak ada PR,” singgung Mentari sambil mengelus rambut putra sambungnya.
“Ayo, Idan. Jujur, siapa yang telepon Idan tadi, Papi?” tebak Mentari yang disambut Aidan dengan cengiran lebar, pertanda jawaban Mentari benar.
“Ya elah, kirain siapa–” Sebelum sempat Mentari melanjutkan omongannya, pesan dari Jordy masuk ke ponsel.
Mas Jordy:
Tangan saya penuh
Mendapati pesan Jordy, Mentari kontan tertawa, padahal mantan suaminya itu adalah orang yang paling anti ribet sedunia.
Jangankan bawa barang, Jordy saja malas membawa dompet jika bepergian. Satu-satunya yang Jordy selalu sediakan disakunya, hanyalah card holder kekinian seperti yang dimiliki anak muda pada umumnya. Mentari menggeleng heran, tak percaya dengan ucapan Jordy sampai ketika ia berdiri di depan pintu, dan tidak menemukan sosoknya, melainkan bunga matahari sebesar gumpalan awan yang menutupi badan besar Jordy.
Ia terdiam sejenak, terpana pada kecantikan bunga matahari yang berada pada genggaman Jordy. Senyum tipisnya perlahan merekah saat menemukan secarik kertas yang tertempel pada buket bunga di tangan Jordy.
Kalau masih gak mau liat saya, liat bunganya aja. Hope you like it, Love.
Dan masih ada satu lagi yang benar-benar membuat Mentari nyaris terkulai detik itu juga.
Lets married, again.
“Bisa minggir nggak? Tangan saya pegel banget megang bunga segini gedenya,” gerutu Jordy dibalik buket bunga besar milik Mentari.
“Oh, jadi nggak ikhlas?” balas Mentari dengan picingan mata.
“Sayang, bercanda,” bujuk Jordy dengan nada memohon. “Tapi beneran pegel,” keluhnya. Mentaripun melangkah kecil, memberi jarak agar si tuan rumah dapat masuk ke kediamannya.
Sesaat ia dapati kaki jenjang Jordy berada di dalam, lelaki itu tak langsung menuju ruang makan, ia berhenti sejenak, dan dengan gerakan cepat, ia menautkan satu ciuman kilat pada bibir ranum Mentari. Mata Mentari sontak melebar kaget, ingin menegur, namun lelaki itu berhasil lolos karena putranya telah datang menyambut.
“AKU UDAH TAU DULUAN DONG DARI PAPIIIII,” seru Aidan bangga. Mentari menengok dengan kernyitan pada keningnya.
“Papi kan tadi telepon karena mau beliin Mamah bunga,” lapornya dengan senyum lima jari.
“Idaaaaan,” Jordy berucap pasrah ketika anak lelaki itu dengan tanpa rasa bersalah membeberkan rencana mereka.
“Idan tadi disuruh bohongin Mamah–” Sebelum sempat anak itu kembali berkata, Jordy dari belakang menggendong dan menutup mulut Aidan hingga suaranya teredam, namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah Aidan untuk mengungkap semuanya.
Sambil melangkah menuju ruang makan, Aidan terus menggumamkan rencana Jordy pinta kepadanya.
Mentari di belakang hanya bisa tertawa. Binarnya menghangat kala Aidan tertawa lepas dalam gendongan Jordy. Anak itu mengalungkan tangannya pada leher sang ayah menjerit minta ampun agar Jordy berhenti menggelitiknya.
Kado terindah untuk Aidan akhirnya tergapai. Jordy yang tak lagi bersikap dingin padanya dan rela pulang tepat waktu demi bermain dengan Aidan, membuat Mentari dilingkupi haru biru.
Mungkin tugasnya sudah selesai, membahagiakan Aidan dan Jordy disaat yang bersamaan. Tanpa ia sadari, air matanya menetes, membanjiri wajah semu merah mudanya.
Seakan tak mau mengganggu waktu Jordy dan Aidan, Mentari perlahan menjauh dan membiarkan sepasang ayah-anak itu menikmati kebersamaan mereka. Hatinya berucap lega, meski sakit hati dan trauma akan rumah tangganya kemarin masih membuat Mentari pecah kepala.
—
“Dan, sebentar ya. Papi cari Mamah, kamu di kamar dulu,” pamit Jordy pada Aidan. Ia memberikan boneka kesayangan Aidan, Lightyear agar anaknya cepat terlelap lalu bergegas meninggalkan kamar.
Setelahnya, dengan perasaan menggebu, Jordy cepat-cepat menyambangi kamar tamu, namun saat ia buka, sosok yang dia cari justru tidak ada di sana. Jordy terpekur putus asa. Kamar ke kamar ia lalui, namun jejak Mentari tak dapat ia temukan. Sampai akhirnya, Jordy berdiri di depan kamarnya sendiri. Ia ragu jika Mentari ada di dalam, sebab sejak insiden sprei itu, Mentari benar-benar enggan masuk ke sana. Ia terluka sangat dalam akibat ketidaksengajaan Jordy. Namun kali ini, Jordy coba mengesampingkan ketakutannya. Dengan gemetar, tangannya menggerakkan gagang pintu kamarnya, langkahnya sempat terhenti karena ragu seketika membelai benaknya.
“Ri...”
Isakan kecil perempuan itu kontan membuat Jordy bernafas lega. Rupanya Mentari berdiam diri di kamar Jordy sejak dua jam lalu, ia, Jordy temui tengah duduk di tepi ranjang sembari menyeka sisa air matanya.
“Kenapa, Ri? Saya salah lagi?” tanyanya panik, lelaki itu tidak menempati kasurnya, melainkan setengah berlutut di hadapan puannya.
“Mas...” lirih Mentari pelan. “Aku belum bisa maafin kamu, maaf ya...Aku masih marah banget,” tangisnya pecah. Tangis yang menurut Jordy adalah pelampiasan kekecewaan Mentari terhadapnya. Yang ditahan oleh perempuan itu sejak berbulan-bulan lalu. Jordy sadar akan itu, dan walaupun Mentari masih sulit membuka pintu hati untuknya, Jordy bersedia menanti pengampunan yang Mentari berikan padanya.
“Saya yang harusnya say sorry sama kamu,” bisiknya, kali ini dia beralih ke sebelah Mentari. Dikecupnya pelipis perempuan itu beberapa kali sembari mengusap punggungnya pelan. Dia hancur karena Jordy, dan karena itu pulalah Jordy ingin mataharinya kembali bersinar, menjadi bunga matahari tercantik yang ia miliki.
“Aku nggak suka punya perasaan kayak gini, aku pengen bisa maafin kamu...tapi aku takut, aku takut kalau nanti kita saling ngancurin lagi, Aku takut, Mas Jordy...” isaknya pelan dalam rengkuhan Jordy.
” I owe you so many things, Ri.” Jordy mengelus pundak puannya dengan harap tangis Mentari segera reda, ia bisa membayangkan betapa redamnya Mentari saat ini. Sementara dia yang menghancurkan malah asyik bekerja, menghindari perbuatannya sendiri. Dan ketika puannya terperosok dalam lubang nelangsa, Jordy baru bangkit dan menarik lengan Mentari. Sungguh, keputusan beberapa bulan lalu itu adalah keputusan terbodoh yang pernah Jordy tempuh.
”...Kalau kamu kira kamu yang berutang ke saya, you're wrong. Saya yang paling banyak ngutang sama kamu. It's my son happiness, you bring the joy in this house. You gain his smile, while I destroyed everything you built for us. I'm really sorry, Ri. Now I let you take everything you choose.”
”...Kalau emang keputusannya kamu gak bisa lagi nerima saya, saya ikhlas. Saya tau, saya selalu menyakiti kamu, bahkan disaat kita udah berpisah kayak gini. I let you go, then, if you insisted.”
Perempuan itu membisu dalam pandangan remangnya yang terarah pada Jordy. “Aku masih sayang banget sama kamu, Mas Jordy. I love you so much, tapi kenapa sulit banget buat aku maafin kamu, aku gak ngerti juga..”
“Take your time then.l Saya gak bakalan maksa, I'll just stay here. And if you do, just tell me.* Nanti saya peluk seperti biasanya.”
Jordy tersenyum, meski lebih hancur daripada Mentari. Segala usaha telah ia pertaruhkan, namun kenyataan berkata lain. Ia terlambat menyadarinya.