Cemara

“PAPI, GANTIAN. Idan mau dipeluk Mamah!”

Datang-datang, Jordy langsung menerima protes besar dari sang putra.

Bocah 9 tahun itu turut membawa bantal, guling, serta boneka Mc Laren kesayangannya untuk bergabung dengan mereka.

Padahal Jordy ingin menghabiskan waktu berdua dengan Mentari usai mereka resmi tunangan.

Sebab selama ini, sepasang sejoli itu benar-benar belum mengenal satu sama lain.

“Papi boleh ngobrol berdua dulu sama Mamah?” Aidan menyilangkan tangannya.

“Sebentar aja, just thirty minutes.” Jawaban Aidan tetap sama.

“Gimana kalo habis Papi dan Mamah ngobrol, kita main PS? Udah lama nggak boys time kan?”

Sepertinya tawaran Jordy berhasil. Aidan yang tadinya bersikeras enggan meninggalkan Mentari, perlahan mulai mengangguk.

“Oke Papi! Idan mau main yang bola itu.”

“Siap, tanya Mamah dulu, Idan boleh main berapa lama.”

Mendengar aba-aba ayahnya, Aidan langsung bergerak mencari Mentari. “Mamah, Mamah.”

“Iya, Nak?” “Idan boleh main PS sama Papi berapa lama?”

Yang dikasih pertanyaan terkejut bukan main. Pasalnya Mentari tahu benar bahwa Jordy bukan tipikal ayah yang gemar mengajak anaknya bermain. Sepanjang Mentari mengenal tunangannya, baru kali ini ia mendengar Jordy mengajak anaknya main.

“Hmm... boleh tiga puluh menit?” “Oke, Mamah.” Aidan lalu berjinjit dan berbisik pelan, “Mamah, Mamah.”

“Iya?” Mentari turut memiringkan kepalanya.

“Tadi Idan liat, Papi lagi liatin foto Mamah yang pake kebaya kemaren, pasti karena Mamah cantik sekali.”

”...Terus Papi senyum-senyum sendiri. Papi nggak begini kan, Mah?”

Ingin rasanya Mentari tertawa sekeras mungkin saat Aidan menarik garis miring di dahi. Namun kalau sampai dia melakukan itu, yang ada harga diri Jordy terancam. Apalagi yang meledek anaknya sendiri.

“Hahaha, Idan. Kamu tuh ya adaaa aja kelakuannya. Dah sana, Papi kayaknya udah ga sabar mau main PS sama Idan.”

Telunjuk Mentari mengarah pada lelaki berkaus kutang yang tengah menyiapkan PS.

Namun sedetik setelahnya, Jordy tertangkap basah sedang termangu, menatap Mentari dalam-dalam.

“Mamah...”

“Iya?” Mentari yang lamunannya buyar, menoleh ke Aidan. “Idan seneng Mamah tinggal di sini, soalnya Papi jadi baik sama Idan. Papi juga jarang marahin Idan, terus, Papi juga keliatannya sayang sama Idan..”

“Aidan, Papi sayang sama Idan. Bukan cuma keliatannya...”

“Gitu ya, Mah? Papi beneran sayang Idan?”

“Iya, coba sana ke Papi, terus peluk sebentar.”

Aidan menuruti perkataan ibu sambungnya. Dan lihatlah bagaimana suara tawa itu pecah memenuhi ruangan, bahkan sepertinya Jordy lupa akan rencananya mengobrol berdua dengan Mentari terlebih dahulu.

Tapi buat Mentari, itu tak mengapa. Karena dia tahu Jordy menikahinya hanya untuk mewujudkan impian Aidan—memiliki keluarga cemara.