“Dan!” Sesaat Mentari terbangun dari tidur panjangnya, perempuan itu segera menghambur peluk pada Aidan. Air matanya berlinang, tubuhnya lemas namun sama sekali ia hiraukan, yang penting Aidan berada dalam dekapan.

“Mah, kenapa?” sahut Aidan terbingung-bingung, pasalnya Mentari terlihat sangat cemas seolah ia meninggalkan Aidan untuk waktu yang sangat lama.

“Kita dimana? Tangan kamu gak papa? Yang nakalin kamu siapa, Dan?”

Rentetan pertanyaan yang Mentari ucapkan sontak membuat Aidan mengerutkan kening. Sepanjang ia berada di ruang itu, 'kan hanya ada Mentari dan Gallen serta ibunya, bagaimana bisa Mentari tidak menyadarinya? “Mah, Mamah kenapa? Kan tadi Mamah yang ngomelin Gallen sama Tante Buruk Rupa itu. Gallen sampe meluk kaki Idan, Mah. Terus, dia juga bilang kalo Mamahnya nggak seperti Mamah, Tante itu jahat sama dia. Katanya sering dicubit padahal nilai dia bagus...”

Mentari tercenung. Dia bahkan tak ingat apapun yang ia katakan. Semua kejadian yang Aidan tuturkan adalah mimpi dalam tidurnya. Ya, Mentari bermimpi dan semua tindak-tanduk yang Aidan bilang terekam jelas bagai sebuah rol film yang berputar. Yang membedakan, jika Aidan bilang bahwa dirinyalah yang memarahi Gallen, dalam mimpi Mentari, Kirana-lah yang melakukannya. Ia masih mengingat tatapan dingin dan tajam Kirana terhunus penuh dendam pada sepasang ibu dan anak itu. Amarahnya mengudara bagai badai pasir di padang gurun.

“Dan...” Mentari lemas seketika. Satu-satunya yang ia lakukan hanya terus mendekap Aidan dan mengelus kepalanya, bersyukur jika Aidan masih berada di sisinya.

“Mah,” panggil Aidan kemudian. Sunyinya mobil pun pecah karena Idan terlihat sangat ketakutan. “Idan kira tadi bukan Mamah...” Ia mulai menangis dan memeluk Mentari.

”...Kenapa, Dan?”

“Tadi Mamah bilangnya 'Mami', Idan takut, Mah,” isak Aidan dalam rengkuhnya. Mentari lagi-lagi hanya bisa terdiam. Sebab jika ia pikir pakai logika, semua mimpi itu berasa nyata. Ia seperti mengatakannya, namun pemeran utamanya selalu Kirana. Mentari hanya ada di belakang, ia menjadi bayang dan bukan seseorang yang nyata.

“Mah, jangan gitu lagi...Idan takut..” bisik Aidan sekali lagi, suaranya mulai gemetar.

“Maaf, Dan... Maafin Mamah... Nanti Mamah minum obat yang banyak ya?” katanya dengan perasaan yang hancur.