Deliver of Satan

Ini sudah ke tujuh belas kalinya aku mondar-mandir ke toilet untuk buang air kecil, padahal aku tak meminum kopi dari pagi dan hanya menyemil beberapa snek yang dibelikan Erna sesuai pesanan Jordy. Satu mi kremez kesukaan Aidan, satu lagi keripik kentang dan keripik nanas. Minum air putihpun sedikit. Dahagaku menghilang sejak pagi, sementara keinginanku untuk memakan beberapa camilan itu terus bertambah, apalagi nanas. Aku sampai-sampai minta Erna ke pasar demi membelikanku buah nanas.

“Na, boleh tolong beliin nanas nggak?”

Erna melirik perutku. Aku balik memandangnya bingung sambil bertanya-tanya dalam hati, apa sebegitu gendutnya aku sampai ia harus menatap perutku terus-terusan? Tubuhku memang masih berisi pasca meminum obat-obatan dari Terry yang harus kukonsumsi dua kali sehari. Terry telah menjelaskan efeknya padaku. Walau awal-awal aku tak terima, namun lama-kelamaan aku biasa.

“Beliin ya, Na?” Aku memohon. Wajah Erna seketika tak enak, resah.

“Buah apel aja gimana, Bu?” Ia memberi opsi lain. Yang aneh, biasanya aku akan menerima pendapatnya secara terbuka, tapi saat Erna menolak, entah kenapa aku kesal. Hawa panas di sekitar tubuhku meluap dan kepalaku pusing mendadak. Belum lagi aku mendengar bisikan-bisikan di telingaku.

“Beli...beli nanas...saya mau nanas...”

Suaranya serak, menyeramkan. Bulu kudukku berdiri ketika suara itu berkumandang.

“Saya maunya nanas!” Aku membentaknya untuk pertama kali. Jika ia tersentak, aku jauh lebih dari itu. Aku mulai merasa sesuatu sedang mencoba mengendalikan diriku, tapi setiap kali aku hendak menepisnya, suara serak yang tadi terdengar, berbisik.

Lebih dekat dan jelas dari sebelumnya. “Suruh dia beli nanas...cepat...”

“Beli nanas sekarang, Na.” Aku merampungkan ucapanku tanpa melihat wajah Erna yang ketakutan.

“Bu—”

Tanpa sepatah kata, tanganku merampas buah nanas yang ada di tangan Erna.

“Bu, buahnya belum dipot—”

Aku dapat membukanya sendiri tanpa harus menggunakan pisau. Anehnya, semua perkataan ini hanya berlaku di otakku. Mulutku terkunci, seolah ada sesuatu yang memerintahku untuk tak banyak bicara.

“Bu...”

Ada apa? Kenapa wajah Erna terlihat sedih dan bingung, bukankah aku hanya makan saja? Apa dengan aku menyantap buah-buahan ini, berarti aku menyedihkan?

“Bu, itu tangan ibu...berdarah,” katanya lemas.

Berdarah? Dia mengada-ada. Tanganku bersih gini kok, dibilang berdarah.

“Bu, udah ya, Bu? Kasihan adek bayinya nanti...”

Mulutku berhenti mengunyah seketika, tetapi entah mengapa aku begitu tak terima mendengar ucapan Erna.

“Buuuuu! Ampun, Bu!!! Jangan cekik saya, Bu!!!!”

“Tau apa kamu...begundal tua, jangan halangi saya membalaskan dendam pada perempuan ini! MATI! MATIIIII!”