Di Depan Roh Kudus, Di Belakang Roh Halus

Biel menurunkan standar motornya di depan sebuah rumah berpagar putih, dan memiliki tembok berwarna senada. Ia menunggu seorang gadis keluar dari dalam sana. Kaki Biel sejak tadi tak bisa diam, entah mengapa ia begitu semangat siang ini meski terik matahari sedang membara memanaskan bumi.

Gadis yang ia tunggu-tunggu tak lama datang. Memakai baju cardigan warna pink dan dalaman berwarna putih. Amat kontras dengan cara berpakaian seseorang yang telah lama ia kenal. Melihat perempuan itu menebar senyum, Biel segera membalas. Ia tersenyum tipis menyambut kehadiran sosok itu.

“Maaf ya Biel, lama nunggu, ya?”

“Enggak kok, gak papa.” Biel lekas menyahut, tak mau si gadis berprasangka buruk.

“Biel mau masuk rumah dulu, Papa mau ngobrol sebentar sama kamu,” ajak perempuan itu. Tanpa ragu Biel mengiyakan.

“Papa kamu Gembala Utama di gereja ya?” tanya Biel sambil mengikuti perempuan itu memasuki halaman rumah.

“Iya, Pastor Simeon Rambey,” ucap gadis itu singkat. Tak lama berselang, mereka tiba di halaman rumah gadis itu.

“Shalom, Pa. Ini Caca ajak Biel, WL di Nehemia Church yang Caca cerita itu.” Gadis itu berceloteh pada ayahnya.

Pastor Simeon Rambey adalah salah seorang Pendeta tersohor di salah satu gereja Kristen Protestan yang pernah Biel datangi. Beliau dianugerahi karunia nubuat oleh Tuhan, dan hal inilah yang membuat Biel ingin mengagumi sang Pendeta sungguh-sungguh. Semua khotbah Pastor Simeon sangat menginspirasi Biel dalam melakukan pelayanan. Terutama ketika dirinya sedang berada dalam titik tercuram dalam hidup, saat mendengarkan kata-kata serta untaian doa yang indah dari Pastor Simeon, Biel merasa begitu damai dan tenang.

“Shalom Pastor,” sapa Biel seraya menjabat tangan Pastor Simeon.

“Shalom, shalom,” sahut Pastor Simeon, mengumbar senyum. Kemudian pria itu menjatuhkan tatapannya pada Biel, seakan menaruh harap pada dirinya.

“Jarang...” ucap Pastor Simeon. “Jarang sekali ada anak muda yang mau menyerahkan hidupnya buat Tuhan.”

”...Saya begitu terkesan dengan pelayanan yang kamu berikan di gereja. Caca bilang, kamu adalah worship leader dan kakak pembina yang bagi jemaat muda di Nehemia Church,” ungkap sang pendeta penuh kekaguman.

“Aduh, Pastor. Rasanya saya belum sesempurna itu, masih jauh sekali. Kadang suka lupa saat teduh, kadang kalau baca firman cuma se-ayat dua ayat. Jadi malu, Pastor. Saya sangat senang bisa mendapat kesempatan bertemu dengan Pastor,” balas Biel tersenyum sungkan.

“Hahahaha, saya suka nih kalau ada anak Tuhan yang begitu rendah hati seperti kamu, Gabriel.”

Biel tertunduk malu, namun dalam hati ia cukup tersanjung dengan pujian Pastor Simeon.

Beberapa saat setelahnya, Biel dan Pastor Simeon berbincang tentang tema-tema kekinian yang dapat diangkat untuk menjadi bahan renungan di gereja. Perempuan muda di sebelahnya—Caca—tampak begitu antusias mendengarkan obrolan antara Biel dan ayahnya. Ia tak dapat menampik jika Biel sangatlah tampan, religius pula, takut akan Tuhan. Seolah sudah menjawab doa-doa ayahnya sendiri yang menginginkan pasangan tulang rusuk yang berasal dari Tuhan.

“Biel,” panggil Pastor Simeon. “Iya, Pastor?”

“Kalau lagi ke rumah gak usah panggil Pastor. Om saja juga enggak apa-apa.”

Biel mengerutkan hidungnya, dia memang begitu kalau malu-malu. “Ah, iya, baik Om Simeon.”

“Nah begitu,” sahut Pastor Simeon menepuk pundak Biel.

“Biel..” Pandangan Simeon kembali terangkat. Tetapi kali ini, pria itu tak langsung menatap Biel, melainkan mengedar ke anak perempuannya sebentar. Wajah sang putri tampak memerah, terlihat begitu bahagia dengan kedatangan anak muda di depannya ini.

“Biel sudah punya pacar?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir ayah Caca sontak membuat mata Biel membulat. Seketika, dunianya terombang-ambing karena pertanyaan itu. Biel berdeham sebentar, menjernihkan kerongkongannya yang mendadak terasa gersang. Juga, mempersiapkan jawaban atas pertanyaan tersebut.

“Belum Om.”