Dia, Hancur
Jenan tidak peduli jika tubuhnya akan terluka untuk kesekian kali. Ia datang ke ruangan Jordy tanpa mengucap izin, dengan nafas memburu. Kilatan emosi memenuhi daksanya. Ketika ia mendapati lelaki bertubuh tinggi itu sedang mengambil salah satu buku bacaan di rak, Jenan menarik kausnya dari belakang. Segera ia ayunkan tangan, memberi hantaman keras pada wajah Jordy hingga memar.
“You idiot!” umpat Jenan kasar. Jika pada waktu lalu Jordy melawan balik, kini lelaki itu tidak melakukannya. Ia membiarkan wajahnya terluka, toh, akan sembuh seiring waktu berjalan. Hantaman demi hantaman Jenan hantarkan dengan sempurna ke wajah Jordy, wajahnya memerah padam namun hal itu tidak juga menyurutkan emosi Jenan pada Jordy.
“Udah anjing! Udah!” Teza yang menyusul Jenan berusaha menjadi penengah. Tapi apa daya, Jenan kala itu tengah digandrungi amarah, sedang Jordy, meskipun kelihatannya ia baik-baik saja, Teza tahu sorot mata lelaki itu hampa, tak ada semangat di sana. Ia datang ke kantor hanya sebagai kewajiban bukan pekerja atapun pemilik.
Maka jangan heran mengapa Teza sampai mengomeli atasannya sendiri di groupchat. Jordy tidak menyatakan alasan apapun pada keduanya. Harus Jenan dan Teza yang datang sendiri untuk mengguncang isi kepala lelaki itu.
“Udah?” Lihat saja betapa pasrahnya Jordy setelah hampir sepuluh menit menjadi buronan Jenan. Dibalik wajah memarnya dan sikap dingin yang Jordy tunjukkan pada Teza dan Jenan, lelaki itu sebenarnya hanya menyembunyikan kehancurannya.
Tak berapa lama usai Jenan meluapkan emosi, Jordy duduk di bangkunya. Bahunya gemetar dan tangisnya pecah. Baru kali ini Jenan dan Teza melihat Jordy seruntuh itu, bahkan kalau boleh mereka katakan—ini jauh lebih parah daripada kehilangan Kirana.
“Udahlah.” Jenan menghentikan emosinya. “Pulang lo sono. Biar gue sama Teza yang nanganin.”
Jordy bangkit perlahan, tak satupun kata keluar dari mulutnya. “Banci!” Jenan berteriak kesal.
—