Dia, Perempuan Ini
Ketika pintu lift terbuka, Jordy segera melangkah masuk ke unitnya. Ia berlari cepat ke kamar. Dilihatnya Mentari tengah memegangi tangannya.
“Darahnya kayak waktu itu lagi?” tanya Jordy panik. Namun perempuan yang ia ajak bicara justru tersenyum dan mengelus lembut pipinya.
“Kamu udah pulang?” tanyanya.
“Ya kamu nggak liat saya ada di depan kamu gini? Mana sini, tangannya.” Jordy bahkan tak menanggapi pertanyaan Mentari. Ia hanya fokus pada pergelangan tangan perempuan itu yang ternyata terluka. Tidak separah waktu itu, tapi tetap saja goresannya sukses membuat Jordy bergidik ngeri.
“Aku bisa bersihin sendiri. Gak usah, gak apa-apa. Istirahat aja,” gumam Mentari seraya menarik tangannya dari pegangan Jordy.
“Nanti makin parah. Biar saya aja.” Jordy membantah. Ia berbalik, lalu merogoh kotak P3K yang disimpannya di dekat sebuah lemari kecil untuk mengambil pembersih luka.
“Ini kenapa bisa gini sih, Mentari?” tanyanya sambil membasuh luka goresan dengan kapas yang telah ia bubuhi obat merah.
“Ada yang jatuh tadi, jadi aku beresin.”
“Apa yang jatuh? Aidan ngejatuhin apa?”
“Bukan Idan yang jatuhin.” Jordy menghentikan pergerakannya membersihkan luka Mentari. Lalu menatap Mentari heran. Entah mengapa binar mata perempuan itu terasa kosong dan menyedihkan.
“Aku yang jatuhin. Maaf ya..” Nada bicaranya pun lembut sekali. Berbeda jauh dari Mentari yang biasanya. Saat Jordy hendak menempelkan handsaplast pada luka goresan itu, Jordy tersadar akan sesuatu.
Tubuh perempuan itu sangat-sangat dingin. Bahkan nadi di tangannya pun nyaris tak terbaca. Mendadak kulitnya pucat, juga dengan bibirnya.
“Ini kamu ngebersihin semua sampe demam gini?” Lelaki itu berujar dengan menempelkan tangannya di dahi Mentari. Tak ada jawaban.
“Mentari?” panggilnya.
“Aku nggak sakit, aku cuma gak suka ada orang lain yang ngusik kita.”
Jordy semakin bingung dengan ucapannya barusan. “Ngusik kita? Siapa?”
“Dia, perempuan ini.” Mentari mengakhiri ucapannya dengan senyum miring yang lagi-lagi membuat Jordy tersadar akan sesuatu.
“Obat dari Terry kamu minum nggak?”
“Belum...” sahutnya datar.
“Bisa nggak kalo diajak ngomong liatnya ke saya? Jangan ke sana—” Jordy menemukan arah pandang Mentari hanya fokus pada foto pernikahannya dengan Kirana dalam tatap sedih dan kecewa.
“Foto kamu nggak rusak...tapi kenapa gambar di sebelahnya hancur?” Tangisnya pecah. Tangis yang menurut Jordy sangat berpotensi menghancurkan gendang telinga. Merintih namun melengking.
“Mentari, gak apa-apa. Paling kena angin doang—
“Apa ini pertanda kalau kamu udah lupa ya?” selanya.
“Lupa apa? Kita kan entar lagi nikah, apanya yang saya lupa? Saya udah janji sama tante kamu, Mentari.”
“Iya...kamu lupa sama aku, Dy. Kamu lupa segala sesuatu tentangku. Tentang janji kamu, tentang aku yang kamu minta untuk besarin Idan sama-sama.”
Jordy menghela nafas. Ya, personaliti yang Jordy kira sudah tenang, rupanya kembali menyerang. Bahkan bisa Jordy bilang kali ini sangat brutal karena menghancurkan sebagian foto pernikahan Jordy dan Kirana.
“Mentari, sadar. Tolong secepatnya sadar. Jangan males minum obatnya.”
Lalu ia bergegas mencari obat yang telah diresepkan oleh Terry. Begitu dapat, segera Jordy minumkan pada perempuan itu.
“Kamu sayang sama dia?” tanyanya.
“Sayang sama siapa?”
“Dia.”
“Dia udah lama meninggal...Mentari.”
Setelah Jordy berkata demikian, Mentari menarik nafas dalam-dalam dan langsung memeluk Jordy persis ketika tangannya terluka.
“Demi Allah, Mas Jordy. Aku takut... Tolong. Kepalaku tadi sakit, aku nggak tau aku dimana. Tolongin,” isaknya sembari mencengkeram lengan Jordy kuat-kuat.
“Makanya kalo saya suruh minum obat, diminum,” omel Jordy melepas kasar tangan Mentari dari lengannya. Perempuan itu hanya diam dan menundukkan kepala. “Maafin.”
“Tidur di kamar tamu, jangan di sini,” ucap Jordy beranjak dari kursinya.
“Iya, Mas. Makasih.” Perempuan itu berdiri tepat di depan Jordy, hendak memeluknya kembali.
“Ngapain sih? Gak malu ada Idan di depan?” Tanpa mengetahui putranya di luar sedang mengintip, Jordy kembali menepis tangan Mentari. Kali ini hingga terdengar suara tepakan keras tepat di dekat luka yang baru saja ia berikan obat merah. Sontak perempuan itu meringis kesakitan.
“Maaf, Mas. Maaf ya? Aku izin dulu kalo gitu–”
“Jangan pernah peluk-peluk saya,” peringat Jordy dingin lalu menghilang ke kamar mandi.
—