Dia Surga Bagi Aidan
“Idan, jangan bilang Mamah kalau kita mau bikin surprise buat Mamah, ya.”
Pagi itu pukul tujuh lewat lima belas menit, saya menghampiri Aidan ke kamarnya. Membangunkan anak itu pelan-pelan sambil mengajaknya bicara baik-baik.
“Mamah ulang tahun?” tanyanya sambil mengusak mata. Saya menggeleng, “Nggak. Mamah udah beberapa hari ini sedih terus kata Idan, kita masakin Mamah sarapan, mau nggak?”
“Mau!” Ia menjawab penuh semangat. “Emang Papi bisa masak?”
“Bisa,” jawab saya. “Pelan-pelan jalannya, jangan sampe kedengeran Mamah, nanti bangun.”
Aidan mengangguk, mengekor saya keluar dari belakang sambil mindik-mindik. Ia pastikan sandal pororo miliknya tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Papi, Papi,” panggil Aidan. Saya menoleh kepadanya, “Ya?”
“Papi sama Mamah kemaren berantem ya?”
Langkah saya terhenti, menatapnya heran sekaligus sedikit bersalah. “Salah paham aja, Dan. Itu mah biasa.”
“Tapi Papi bikin Mamah pergi dan nangis.” Saya menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal, mencari kalimat yang tepat untuk memberi pengertian kepada Aidan agar ia tidak perlu meresahkan permasalahan saya dan ibunya.
”...Papi memang ngelakuin kesalahan ke Mamah, Dan.” Tadinya saya pikir saya enggan mengakuinya, tapi Aidan cukup pandai menerka situasi yang terjadi diantara kami. Jadi percuma kalau saya membohongi Aidan.
“Apa?” tanyanya ingin tahu. Saya mengusap rambutnya pelan, dan ini merupakan yang pertama kalinya setelah bertahun-tahun Kirana pergi dari hidup kami.
“Banyak, tapi biar Papi sama Mamah aja yang tau. Yang penting Idan...”
”...Kalau Papi lagi kerja jangan nakal sama Mamah. Gak boleh pukul temennya lagi.”
“Iya Pi,” sahutnya dengan senyuman. “Mamah juga bilang sama Idan,” lanjutnya.
“Apa?”
“Doain Mami yang udah di surga, baca surat Al-Fatihah dan Yasin buat Mami biar Mami bobonya enak.”
Saya diam seribu bahasa ketika Aidan berkata demikian. Butuh beberapa detik bagi saya mencerna kalimat itu, sebab setahu saya, Mentari sangat sakit hati karena tahu saya masih mencintai Kirana sejak awal kami menikah.
”...Mamah bilang gitu?” tanya saya dengan suara parau. Aidan mengangguk, merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan sebuah buku kecil dari sana dan menyerahkannya pada saya.
“Ini apa, Dan?” tanya saya bingung.
“Surat Al-Fatihah buat Mami. Kata Mamah, kalau lagi senggang Idan harus baca itu. Sama kalau Idan kangen Mami, bacain itu juga.”
Saya terguncang hebat saat meraih buku itu dari tangan Aidan. Satu helaan nafas saya hempaskan pelan, “Dan, kamu sayang Mamah dan Mami?”
“Sayang dua-duanya,” Aidan menyahut tanpa keraguan. Saya sangat amat malu pada diri sendiri. Aidan, yang bahkan belum mencapai usia dewasa bahkan lebih mengerti apa arti kasih sayang dan cinta yang sesungguhnya.
“Papi sayang dua-duanya?”
“Sayang dua-duanya.”
“Tapi Mami udah pergi,” kata Aidan. “Adanya Mamah.”
Kepala saya bagai dihantam kuat oleh palu mendengar ucapan Aidan. Dua kali. Dua kali Aidan menampar saya dengan begitu keras. “Idan sayang Mami, karena Idan anaknya Mami. Idan sayang Mamah, karena Mamah surganya Idan sekarang.”
Mentari, kamu berhasil mendidik Aidan dengan baik, dibandingkan saya, ayahnya.
Maafin saya kalau saya selalu mengusir kamu dari hidup saya, saya selalu menyakiti kamu tanpa saya tahu kalau kamu berjuang begitu keras membuat Aidan sebahagia ini.
Sekarang giliran saya yang membahagiakan kamu dan Aidan, anak kita.