Dua Ratus Enam Puluh Empat

“Saya Renjana,” Ketakutan yang tadi sempat melingkupi diriku hilang dalam sekejap. Lelaki dengan rambut cepak ala tentara datang di saat yang tepat saat Terry hendak menyuntikkan dosis baru dari obat-obatan yang kuminum.

Renjana sukses menghentikkan aksi Terry, memasukkan cairan itu dalam tubuhku. Ia datang dan segera berdiri dibsebelah ranjangku dengan raut wajah tegas nan dingin.

“Gue Terry, psikiaternya Riri.” Terry menjabat tangan Renjana dengan seulas senyum. “Nah, Ri. Sekarang ada pacar kamu kan, jadi kamu bisa lebih rileks. Saya mulai ya—”

“Mentari nggak sakit jiwa, Mas,” halau Renjana. Aku terdiam dan cukup tercengang mendapati Renjana menampilkan aura yang berbeda. Sifat tengilnya hilang dalam sekejap, berganti menjadi Renjana sang heroik yang dicintai oleh perempuan-perempuan yang menginginkan lelaki sempurna sepertinya.

“Tenang dulu, Mas Renjana,” sahut Terry, sok berusaha menjelaskan. Tetapi aku tahu bahwa Renjana tidak mungkin bermain-main dengan ucapannya. Dia pasti bisa mengeluarkanku dari sini.

“Biar saya jelaskan melalui hasil terapi yang sudah saya lakukan selama tiga minggu dengan Mentari,” kata Terry mengeluarkan setumpuk kertas dari mapnya.

“Nggak, nggak. Ayo, Ri. Kita keluar dari sini.” Renjana membuka kedua tali yang mengikat tanganku hanya dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya lagi ia gunakan untuk membawa tasku. “Ayo, Ri.” Renjana menarik lenganku.

Namun disaat aku nyaris berhasil pergi dari rumah sakit penuh malapetaka itu, orang yang saat ini paling tidak mau kulihat justru berdiri di ambang pintu, mengacaukan segala upaya Renjana menyelamatkanku.

“Mau kemana?” Tubuh tinggi besar nan menjulangnya menutupi daun pintu. Ia melangkah mendekati Renjana dengan wajah datar dan menyebalkan. Tapi Renjana, aku tahu dia tidak akan mengecewakanku.

“Pak Jordy, maaf saya mau bawa Riri pulang. Biar saya yang ngerawat dia aja,” kata Renjana tak gentar. Aku tersenyum puas mendapati Jordy sedikit terkejut melihat anak buahnya melakukan perlawanan.

“Memangnya kamu yang nandatanganin surat pendamping pasien?” Jordy balas bertanya dengan senyum remeh. Bangkeeeee!

“Saya nggak sakit, Pak!” Aku bersuara. “Bapak dan Terry aja yang mengada-ada!” kataku yakin.

“Kalau kamu sehat, kamu nggak akan berperilaku aneh, Mentari,” jawab Jordy tenang. Kali ini ia menggeser posisinya menghalangi Renjana.

“Minggir.” Ia berkata pada Jordy. “Mentari urusan saya. Yang membayar perawatan dia, adalah saya dan bukan kamu, Renjana.”

WHAT THE FUCKKKK? Aku makin tercengang mendengar arogansi Jordy yang meninggi. Ibarat sedang minum whiskey, dia pasti sedang tipsy-tipsy-nya.

“Nggak bisa.” Yes! Renjana, you did a good job. “Bapak nggak mengenal Riri seperti saya mengenal dia.”

Jordy tersenyum miring, aku tau senyum seringainya itu cuma kamuflase karena takut kalah berargumen dari Renjana.

“Renjana, gini. Biar gue jelasin, gue tau lo pacarnya Riri—”

“Kita berdua nggak pacaran!” Aku dan Renjana serempak menepis kabar burung tersebut. Terry tercengang, sementara Jordy tetap tenang, tapi mengapa wajahnya terlihat getir ya?

“Lho, bukannya kalian pacaran?” tanya Terry hilang fokus. Ia menepuk jidatnya sesaat sadar jika tidak semestinya ia bertanya hal-hal tak penting seperti ini. Kulihat ia berdiri di sisi Jordy. “Ri, saya akan melakukan apapun buat kesembuhan kamu. Jordy kan juga udah janji untuk menanggung semua biayanya. Jadi kalau biaya menjadi beban kamu, gak usah khawatir. ATM berjalannya ada di samping saya.”

Demi Tuhan, Terry masih bisa bercanda di situasi menyebalkan seperti ini?

“Kalau Riri gila, atau apapun yang Mas jelaskan kepada saya, coba jabarin satu alasan TERLOGIS kepada saya, kenapa Riri bisa didiagnosa DID.”

Kalau bisa kulantunkan lagu Tiktok terviral di tahun 2019—Entah Apa Yang Merasukimu sekencang-kencangnya di telinga Jordy, aku akan melakukannya tanpa berpikir. Sebab, baru kali ini mantan tersayangku, bestie terbaikku—benar-benar menghapus skeptisku akan anggapan berteman sama mantan adalah haram. Renjana sama sekali tak takut melihat Jordy menatapnya tajam, memasang senyum remeh, menganggap Renjana bocah ingusan yang mungkin seumur dengan Aidan.

“Baik,” kali ini sumber suara itu berasal dari Terry. “Biar saya jelasin,” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Dari hypnoteraphy yang telah Riri jalankan, berkali-kali dia bersikap impulsif. Ada trauma masa lalu yang membelenggu dari kepergian papanya.”

Shit, kenapa harus buka-bukaan disini?

“Mentari juga nggak punya sosok ibu yang menyayangi dia.” Sadis, tapi apa yang Terry katakan benar. Aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu seutuhnya.

“Dia bermasalah dengan ibu tirinya,” lanjut Terry, pandangannya tertuju padaku. “She blamed her for everything. The loss, hancurnya keluarga dia.”

Untuk poin yang satu ini kulihat rahang Renjana mulai terkatup, binar matanya sedikit meredup. Oh tidak, jangan bilang Renjana nggak bisa menyelamatkanku.

“Tapi... Riri sangat menyayangi papanya. Ketika Riri kehilangan ayahnya, itu berarti kasih sayang dia hilang. Dia gak punya shelter untuk berlindung dari culasnya ibu tiri dia. And, ya probabilitas itulah yang nyebabin Riri mulai punya sikap impulsif, kadang jadi gak sadar diri menjadi orang lain.”

“Waktu saya terapi, beberapa kali Mentari bilang ada perempuan cantik yang datengin dia. Perawakannya persis dengan mendiang istri Jordy, Kirana. Dari background Kirana yang semasa hidupnya selalu penuh cinta ke Aidan, anak Jordy, dan tulus ke Jordy... itu juga yang bisa nyebabin Mentari ngeluarin personality yang sama seperti Kirana. Well, untuk kasus kayak begini sebenarnya rare ya. Makanya saya nggak main-main untuk membantu mengurangi maniknya Mentari.”

Mendengar semua keakuratan ucapan Terry, baik aku dan Renjana sama-sama bungkam.

Sebab apa yang Terry katakan barusan itu seratus persen benar dan ini berarti...usaha Renjana untuk melepaskanku dari otoriter Jordy telah gagal total.

“Jadi gimana, Renjana?” tanya Jordy terdengar menantang. “Kamu mau menggantikan saya menjadi pendamping pasien?” tanyanya lebih lanjut

Renjana diam. Kulihat wajahnya mulai khawatir. Yang tadinya kupikir dia bisa menang, sekarang nasibnya berujung malang.

“Maaf, Pak.” Renjana...benar-benar seolah sedang melucuti diriku di depan bos besar ini. Kupikir aku tak akan harus menjalani terapi dan meminum obat yang diberi Terry, nyatanya...ada kemungkinan obat-obatan itu akan kuminum seumur hidup.