Dua ratus Enam Puluh Tiga
“Idan gak mau sekolah!”
Belum ada sedetik Jordy memasukkan bekal untuk Aidan ke dalam tas sekolahnya, anak lelaki itu turun dengan bibir mengerucut. Dasi merah yang biasa ia kenakan terpasang miring. Netra Jordy tak terlepas dari pintu kamar Aidan. Biasanya, ada Kirana yang akan merapihkan dasi anaknya, menyiapkan bekal untuknya dan juga Jordy. Tapi kini semua itu hanya tinggal secerca kenangan. Kirana telah pergi ke alamnya, dan mungkin melihat mereka dari atas.
Namun sekian tahun menyendiri, Jordy sejujurnya tidak pernah mengikhlaskan kepergian mendiang istrinya. Bayangnya, aroma tubuh rempah milik perempuan itu masih saja melintas dalam kepala Jordy di setiap detik di hidup laki-laki itu. Kirana adalah segalanya untuk Jordy dan Aidan.
Jadi wajar bila terkadang putra semata wayang mereka sering bersikap seperti ini. Jordy menganggap hal ini terjadi karena Aidan merindukan mendiang ibunya.
“Kenapa lagi sih, Dan?” sahut Jordy dari balik meja makan. “Cepetan, Papi harus ke kantor.”
“Idan nggak punya surga, Pi…” Idan menyahut lesu. Hati Jordy mencelos tatkala mendengar jawaban sang putra.
“Idan, dengerin, Papi.” Jordy menghela nafas pelan, lalu mendekati Aidan perlahan-lahan, kakinya berhenti tepat di depan sang putra. “Surga Aidan ada di langit...” Ia menunjuk ke atap rumah,“dan sekarang sudah jadi bintang. Mami memang nggak bisa kita liat, tapi Mami selalu jagain Idan dari atas. Percaya sama Papi.”
Aidan mengangguk dalam raut wajah kecewa. Kerinduannya terhadap sang Ibu kadang sulit terbendung, hingga acap kali ia menggiggau dan memanggil ibunya saat ia terlelap. “Pi, boleh Idan liat Mami jadi bintang?”
“Boleh. Asal Idan mau sekolah, bikin Mami seneng dari atas. Nanti Papi ajak Aidan ke Planetarium. Di sana Idan bisa liat Mami, karena Mami udah jadi bintang paling bersinar di langit. Oke?”
Aidan perlahan mengangguk, sepertinya bujukan Jordy kali ini berhasil. Aidan akhirnya mau menurut. Ia datang pada Jordy dengan tas punggung dan topi sekolah berwarna merah, kemudian lekas menyusul sang ayah yang telah masuk ke mobil lebih dulu.
. . .
Aku terbangun di sebuah kamar dengan remang cahaya yang sangat benderang. Sinarnya menembus iris mataku, dan hawanya betul-betul menusuk tulang. Butuh beberapa detik bagiku untuk tersadar jika saat ini aku tidak berada di rumah, melainkan rumah sakit jiwa rujukan Terry, tempat ia praktek sebagai seorang psikiater.
Sial. Jordy dan Terry pasti bersekongkol untuk membawaku ke sini. Tempat yang paling menyisakan trauma mendalam dalam hidupku. Tempat yang aromanya sangat menghancurkan diriku. Kenanganku tentang kepergian Papa terbias dalam kepala, tangisku pecah seketika. Aku benci suasana seperti ini, karena Papa selalu berpesan kalau suatu saat ia pergi, aku tidak boleh menangisinya. Tapi apa boleh buat, kehilangan cinta pertama di hidupku adalah hal yang paling menyakitkan. Dukanya merajam bertahun-tahun, dan sekarang aku dipaksa untuk mengingat kenangan itu lagi?
“Mentari.” Satu suara berhasil menghentikan senggukan tangisku. Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Terry berdiri dengan stetoskop di lehernya.
“Aku mau pulang, Ter. Lepasin.” Bodo amat Terry akan menyuntikku. Aku tidak terima bangun dengan kedua tangan yang terikat di sisi ranjang.
“Ri, sebentar. Jangan kemana-mana dulu, kita periksa dulu ya?” tahan Terry. Tapi kala itu tekadku sudah bulat. Aku harus menyudahi permainan tak masuk akal dua lelaki menyebalkan itu.
“Enggak!” Aku berkeras, mengoyakkan dua kain itu dengan sekuat tenaga, namun lagi-lagi gagal saat dua perawat Terry datang dan semuanya menjadi gelap. . . .
“Gue udah di jalan, Ri. Sabar sebentar ya? Gue jemput pake mobil.” Suara Renjana sungguh membuatku amat tenang. Melalui telepon, aku mengabarinya bahwa aku ditahan Terry. Aku benar-benar tak sanggup dengan segala diagnosa yang ia katakan padaku.
Yang personaliti keduaku menguatlah, aku yang semula dibilang sehat walafiat, tiba-tiba positif terdiagnosa DID, atau kepribadian ganda beneran. Ketakutanku menguar, dadaku membuncah tak tertahankan kala mendengar semua itu.
Dan satu-satunya yang dapat kuhubungi saat ini adalah Renjana. The only one person yang paling kupercaya.
“Ren, gue beneran DID, Ren… Gue takut. Gue nggak sakit, Ren. Gue takut,” isakku pada Renjana yang saat itu masih dalam perjalanan. Aku memang meminta Renjana untuk tidak mematikan teleponnya agar aku merasa tenang.
“Apa?! Enggak, enggak. Tenang aja, kalo Jordy ngotot suruh lo terapi, gue bakal lebih ngotot ngelepasin lo dari rumah sakit itu. Wait ya, Ri. Gue udah tinggal belok.”
“Jangan dimatiin pokoknya,” pintaku.
“Iya, Ri. Enggak,” sahutnya. Dari saluran telepon, aku mendengar Renjana membunyikan sen mobilnya, yang berarti dia sebentar lagi akan tiba di rumah sakit ini dan aku dapat terbebas dari orang-orang sok logis yang mengacak kehidupanku