Dua Ratus Tujuh Puluh Satu
“Hhhh...” Lenguhan singkat Mentari sontak membangunkan Jordy dari istirahat singkatnya. Pandangannya bergulir pada Mentari yang pelan-pelan membuka mata.
“Pak, saya kenapa? Tangan saya diiket lagi? Tolong, saya mau pulang, Pak. Sakit, saya gak mau diiket gini, Pak. Saya gak gila! Saya waras, Pak. Tolong, kalau Bapak mau pecat saya dari sekarang, silakan, Pak. Saya udah nggak keberatan. Saya juga nggak punya siapa-siapa kok, Pak. Nggak papa, saya bisa cari pekerjaan lain, dan saya janji nggak akan ngerecokin Aidan dan keluarga Bapak. Tapi saya mohon, lepasin saya, Pak...Biarin saya pergi...”
Tangis Mentari pecah kembali. Jordy mau tidak mau menenangkan perempuan itu, menariknya dalam rengkuhan. “Mentari, saya nggak bermaksud untuk nahan kamu disini. Tapi saya mau keadaan kamu membaik. Biar nggak kayak tadi lagi. Tolonglah, kita ngelakuin ini juga demi kamu,” kata Jordy pelan.
“Tenang dulu, oke?” bujuk lelaki itu dengan nada lembut. Setidaknya kali ini, ia memaksa diri untuk menekan ego dalam dirinya. Perempuan di depannya ini sangat membutuhkan support. Dia bilang dia sendirian dan tak punya siapapun, maka Jordy berpikir, mungkin ia bisa menjadi seseorang tersebut.
“Pak, saya takut...” isaknya dalam rengkuhan Jordy. Perlahan, Jordy menepuk pundak Mentari, berharap hal itu dapat menghilangkan sedikit kegetirannya.
“Iya saya ngerti. Its okay. Its gonna be okay. Tenang, kamu nggak akan kenapa-napa,” ujar Jordy. Dan setidaknya, ucapan menenangkan itu berhasil menyudahi tangis Mentari. Suhu tubuhnya pun berangsur normal. “Eh, maaf, Pak. Saya nggak bermaksud.” Ia menjauhkan tubuhnya sendiri dari tubuh Jordy. Matanya berkelana, menghindari sorot mata Jordy yang terpusat padanya.
“Tadi badan kamu dingin, Mentari,” beritahu Jordy. Gadis itu mengangguk. “Kamu ngerasain sesuatu sebelumnya?”
“Pusing. Kepala saya sakit tadi.”
“Sekarang, gimana?”
“Nggak begitu, sih. Tapi badan saya capek banget. Kayak abis ngangkat alat berat,” kata Mentari dengan senyum tipis. “Eh, saya gak bermaksud nyindir Pak Jordy. Tapi beneran, setiap kali saya tidur...”
“Tidur?” sela Jordy tertegun. Mentari mengangguk. “Ya, bukannya tadi saya tidur ya, Pak? Saya tidur aja kok tadi.”
“Kamu nggak tidur, Mentari.” Jordy menjawab dengan muka serius.
“Terus saya ngapain, Pak? Saya nggak ingat apapun...” ucap Mentari dengan kepala tertunduk. Jordy rasa ia perlu sangat berhati-hati mengatakannya pada Mentari. Kondisi perempuan itu yang belum tentu stabil, membuatnya ragu untuk mengutarakannya pada Mentari. Yang Jordy takutkan jika ia nekad bercerita, personality Mentari keluar lagi, dan lama-lama menguasai sifat perempuan itu. “Nggak usah kamu pikirin, yang penting nanti kamu rajin minum obat dan istirahat.”
Mentari hanya mengangguk meski dengan air muka bingung. “Pak, beneran ya, saya bakalan tinggal di RSJ ini selamanya? Saya nggak mau, Pak. Saya mau di rumah aja. Saya janji, saya akan minum semua obat-obatan itu. Kalau perlu tanpa Bapak minta nanti saya kirimin bukti kalau saya habisin obatnya sesuai dosis. Tapi saya mohon sekali, Pak. Saya gak mau tinggal di sini sendirian, Pak..” mohon Mentari berkali-kali.
“Saya nggak bisa ngasih keputusan, Mentari. Psikiater kamu, Terry yang punya wewenang di sini. Dia tau yang terbaik buat kamu. Tapi tenang aja, karena saya sudah janji untuk jadi pendamping kamu, saya akan jagain kamu dari jauh. At least, cek kondisi kamu seperti apa.” Ia melirik ponsel perempuan itu, “Fast rep, tapi. Kamu tau proyek saya banyak.”
“Iya, Pak...” sahut Mentari lesu. Ia membuang tatapannya dari Jordy dan mengitari pandangannya ke seluruh ruangan itu. Sempit dan menyesakkan. Tak dapat Mentari bayangkan jika dinding-dinding kokoh ini akan menjadi teman hidupnya sementara waktu. Ia menundukkan kepala dan menghela nafas frustasi. Kepalanya racau akan gumaman-gumaman tentang dirinya yang kini dijauhi Chanting, dianggap 'gila' beneran oleh Renjana. Semua itu membuat Mentari amat lelah dan akhirnya kembali menjatuhkan air mata.
“Mentari, ini kamu kan?” tanya Jordy memastikan.
“Pak...” lirih Mentari pelan. “Jangan tinggalin saya sendiri, Pak. Temen-temen saya ngejauh semua. Saya pasien sakit jiwa, Pak...” Ada sorot kecewa yang terpatri dalam binar mata Mentari. Jordy paham perasaan itu, walau ia terlihat dingin dan seolah acuh, tapi disituasi seperti ini, Jordy juga tak mau ambil resiko, daripada Aidan dalam bahaya.
“Saya nggak ninggalin kamu, Mentari. At least selama kamu menjalani terapi selama satu tahun ke depan. Saya yang bakal jagain kamu,” janji Jordy.
“Makasih, Pak Jordy,” sahut Mentari seraya tersenyum simpul.
“Sama-sama. Sebentar lagi Terry datang, percaya sama dia ya, Mentari?”
“Iya, Pak.”
. . .
Lima belas menit berselang, sosok yang sejak tadi dinantikan Jordy maupun Mentari akhirnya muncul. Untungnya kali ini ia tak bersama dua perawat yang di mata Mentari seperti tukang jagal di pasar. Gara-gara mereka, pergelangan tangan Mentari kini bengkak dan memerah. Di setiap urat lipatan sikunya, terlihat bekas lebam karena sering disuntik. Mentari jadi terlihat seperti korban penganiayaan ketimbang pasien. Hampir di seluruh lengan dan lipatan sikunya penuh dengan lebam-lebam.
“Ri, ini...kenapa?” Terry tertegun melihat lengan Mentari yang tampak membiru. Warnanya yang biru keunguan, membuat Terry teringat pada bekas suntikan Kirana sewaktu ia masih hidup.
“Selalu kayak gini ya symptomps-nya?” Terry mengambil buku catatannya. Mentari mengangguk. “Kalau saya pencet gini, sakit?” tanya Terry memastikan.
“Nggak, Ter. Tapi nggak tau kenapa pengen nangis aja liatnya.”
“Oke.”
Terry beranjak mengitari Mentari, mengecek setiap jengkal tangan Mentari, memastikan apakah ada tanda-tanda lainnya yang muncul setiap kali personality kedua Mentari keluar.
“Kamu masih gak inget apapun soal kejadian tadi?”
Mentari menggeleng. “Oke.”
“Tentang Aidan?” lanjut Terry.
“Aidan...anak Pak Jordy? Aku ingetnya, dia suka dibacain dongeng Humpty-Dumpty. Dia juga suka dinyanyikan lullaby You Are My Sunshine.”
Jordy dan Terry sontak saling tatap-tatapan. Sesuai seperti diagnosa Terry, jika personality-nya makin berkuasa, maka lama-lama, memori tentang personality baru itulah yang akan terekam oleh otak Mentari.
“Jor,” senggol Terry. Jordy mengangguk.
“Oke, kalau Jordy, apa yang kamu inget tentang this big guy right here?”
Mentari sempat terdiam beberapa saat kala ia harus menjawab pertanyaan dari Terry. Atensinya memang tepat tertuju pada sang atasan, namun entah mengapa otaknya mendadak buntu, lidahnya pun terasa kelu saat akan menjawab. Ia mengumpulkan seluruh sisa tenaganya untuk kembali fokus pada pertanyaan Terry.
“Pak Jordy... bos saya,” jawab Mentari. Kali ini Jordy dan Terry saling berpandang heran, berbeda dari sebelumnya, keduanya saling yakin bahwa Mentari memang sedang dikuasai oleh personality-nya.
“Anniversary saya, tanggal berapa?” Terry kontan menengok saat Jordy menanyakan pertanyaan tak terduga.
“Hah? Pak, jangan bercanda lah. Saya mana tau.” Respon yang Mentari tunjukkan sontak mengejutkan Jordy. Ia tak menyangka jika jawaban itu dilontarkan oleh perempuan yang beberapa menit lalu meraung, mengaku dirinya adalah ibu dari putranya. Dari sini, Jordy semakin meyakini jika diagnosa Terry benar. Mentari benar-benar sakit. Dan sesuai janjinya pada Mentari, Jordy akan mendampingi perempuan itu, setidaknya sampai satu tahun ke depan.
“Lo aneh-aneh aja, Jor. Ngapain lo nanyain kayak gituan sama Mentari?” cetus Terry, tertawa mengejek.
“Tadi dia tau tanggal anniv gue sama Kirana,” beritahu Jordy, setengah berbisik dengan air muka serius.
Terry mengernyitkan dahi, “Hah? Seriusan?”
Jordy mengangguk. “Kalo gak, ngapain gue tanya.”
“Bener, kamu nggak ingat?” tanya Jordy sekali lagi, berusaha meyakinkan Terry.
“Saya bukan siapa-siapanya Bapak, saya nggak tau, Pak,” jawab Mentari penuh keyakinan. Perempuan itu lalu balas bertanya, “Emang saya tadi bilang apa, Pak?”
Jordy menggeleng, tetapi Terry memberikan jawaban, seperti juru bicara lelaki itu. “Ri, tadi kamu nyebutin tanggal anniv Kirana dan Jordy. Sepuluh Oktober.”