Failed Attempt
👻👻👻
Gara-gara Renjana memaksaku untuk ikut dia terapi spiritual di seorang ahli agama, aku mau tidak mau membatalkan janji terapi dengan Mas Terry. Renjana melarangku untuk bilang ke Jordy alasannya. Jadi aku terpaksa bohong kali ini. Aku beralasan bahwa ibu tiri dan adikku datang ke Jakarta. Padahal pagi itu, Renjana dengan motor kesayangannya menjemputku.
“Nih, Ri. Pake.” Ia menyodorkan helm padaku. Pagi itu waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit, dan si pemilik rambut cepak di depanku ini mengetukkan jarinya di arloji.
“Ri, ayo. Lo jangan mundur gitu dong,” decak Renjana. Aku menatapnya gelisah. Ini kali pertamaku berjibaku dengan hal-hal berbau mistis, siapa coba yang tidak takut?
“Ren, gue ke RS aja deh,” putusku tiba-tiba.
“Ri, lo denger kan gue bilang apa kemaren? Ini lo tuh cuma dibacain doa doang. Kalo emang gak kenapa-napa, lo bakal baik-baik aja kok.” Renjana mencoba meyakinkan. Tapi aku benar-benar ketakutan kala itu.
“Duh, Ren. Seriusan. Gue tuh nggak indigo, gue indihome, kataku masih santai bergurau.
“Ah, lama lo!” kesal Renjana, mendudukkanku di atas motor besarnya. Biar badannya kecil, Renjana hobi banget mengendarai motor besar. Dia terlihat santai melajukan motornya, sementara aku yang digonceng, keringat dingin luar biasa.
“Ren, kalo ada apa apa lo yang tanggung nih ya,” peringatku.
“Iya, mau lo nanti kayak reog, mau lo kesurupan jin tomang, jin klender, lebak bulus, dan yang lain-lain—”
“REN! AWAS! ANAK KECIL ITU!!!!” Aku berteriak panik, sebab di depanku banyak anak kecil yang sedang bermain sepak takraw.
“Mana sih? Nggak ada apa-apa kok! Ngaco lo ya!”
Aku terdiam. Demi apapun, aku yakin pandanganku tidak salah. Barusan banyak anak kecil yang bermain bola di depanku, mereka berlarian, meski tidak bersuara dan wajah mereka...terlihat pucat pasi.
“Ri, anjing. Ban gue bocor!”
“Yah, gimana dong?” Aku juga ikutan panik. Masih kepikiran tentang apa yang kulihat barusan. Harusnya kan, kalau bermain bola itu ricuh ya? Kenapa anak-anak tadi begitu tenang dan sunyi. Mulut mereka tertutup rapat, air mukanya lesu bagai tak diberi makan oleh orang tuanya.
Maka untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah melihat, aku menoleh ke belakang sekali lagi.
Anak-anak kecil yang kulihat nggak ada lagi. Tidak ada bola, tidak ada tali yang sempat mereka mainkan.
“Ri, lo jangan bengong!”
“Ren, sumpah. Tadi gue liat anak-anak kecil main bola di sini sebelum motor lo oleng.”
“Mana? Nggak ada juga. Adanya tuh toko kelontong. Ri, asli kalo ban gue udah gak bocor, gue gak mau tau lo harus ke pengobatan itu. Bahaya, Ri. Sekarang lo udah bisa ngeliat.”
“Ren, apaan sih? Ngeliat apaaa?” Aku hampir menangis karena sekujur tubuhku mulai merinding. Ini masih pagi...
“Ya liat yang gak bisa gue liat, lah! Apalagi?”
“Ren, gue mau pulang. Gue mau ke RS, anterin gue ke Mas Terry.” Sambil panik, aku merogoh tasku dan mengambil obat penenang, namun dengan cekatan tangan Renjana menepak obat-obatan itu.
“Renjana! Itu obat gue ya?!” Nadaku meninggi tanpa sadar.
“Ri, lo nggak butuh obat-obatan itu, Ri. Lo cuma butuh di rukiyah! Lo itu normal, lo nggak gila, atau kepribadian ganda!” Renjana balas berteriak, saking hebohnya kami sampai jadi tontonan warga sekitar. Nafasku tercekat kala tatapan Renjana terlihat begitu kesal. Ini kali pertama aku mendapati Renjana begitu marah padaku. Di satu sisi aku hanya ingin membuktikan jika aku baik-baik saja, tapi mengapa semakin kesini..aku malah dibuat bingung oleh diriku sendiri?
Aku merasa seperti ada orang lain yang memerintahkanku untuk tidak mengikuti perkataan Renjana. Dan fokusku lagi-lagi beralih pada Jordy. Bayang wajahnya, perasaan takut mengecewakan Jordy kerap kali menyulitkan diriku.
—