Fate, Faith

Malam sebelum lelaki itu meyakinkan diri untuk mengambil keputusan ini, ia sempat mengunjungi suatu tempat yang disebutnya, sanctuary of love.

Asri, rindang dan berada di bawah penghijauan, langkah kaki lelaki itu berhenti tepat di sebelah timbunan tanah. Tangannya mengusap sebuah batu nisan yang memajang sebuah nama, Paola Kirana Elizabeth.

Helaan nafas berat terdengar dari bibir sang adam. Begitupun ratap sendu yang terasa sangat nelangsa dari matanya. Ia melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, lalu dengan pelan ia berkata.

“Aku minta izin ya, Na. Kamu percaya sama aku kan? I'm doing this for Aidan's sake. I'll make sure that he won't forget you. Kamu tetap satu-satunya ibu untuk Idan, anak kita. Nggak ada yang bisa ngegantiin kamu.”

“Please, jangan pergi dari aku, sekalipun aku mengambil keputusan yang salah. Aku tau kita udah gak bersama, tapi aku yakin semestaku itu kamu, Na.”

Usai berucap demikian, lelaki itupun bangkit. Ia membalik tubuhnya menghadap depan. Menahan diri untuk tak lagi menengok ke tempat yang selalu memberinya kedamaian.


“Maaf, njenengan ini siapa?”

Pertanyaan itu terlontar dari seorang perempuan yang berdiri tepat di depan pintu beraksen kayu. Rumah kecil di ujung gang sempit milik seseorang yang belakangan ini menjadi buah pikiran Jordy.

Netra perempuan renta itu terarah tepat padanya, sedikit memicing menaruh curiga. “Saya Jordy, Bu.”

Mendengar namanya disebut, sang wanita kembali menaikkan sebelah alisnya bingung. “Mau ngontrak rumah ini, apa beli?”

Jordy tersenyum kelu. Ia bahkan lupa kalau belum memperkenalkan diri pada sosok yang tinggal di rumah usang tersebut. “Nggak, Bu. Saya calon suaminya Mentari.”

Sang wanita tampak tercengang. “Calon...suami?” Jordy mengangguk. “Iya, Bu.”

Raut getir seketika memenuhi wajah sang wanita. “Kamu mau nikah sama ponakan saya?” Sekali lagi, Jordy mengangguk, meyakinkan sang wanita.

“Iya, Bu. Saya mau menikah dengan Mentari.” Wanita itu kembali melengkungkan senyum ragu. Seraya membuka pintunya sedikit demi sedikit, sang wanita memberi celah agar Jordy dapat naik ke lantai rumah. “Masuk, biar kita bicara di dalam.”

Tak perlu berlama-lama, Jordy segera menuruti ucapan perempuan itu. Ia mengekor langkah sang wanita yang mengarahkannya untuk duduk di sebuah sofa usang berwarna merah tua.

“Saya Ratih, tantenya Riri.” Setelah cukup lama merapatkan mulut, akhirnya perempuan itu memperkenalkan diri.

“Iya, Tante.” “Mas-nya ini kenal Riri dari mana?” Mendengar pertanyaan yang terlontar dari Ratih, Jordy agak tersentak. Benaknya kembali dipenuhi tanda tanya. Bukankah kalau kedatangan orang yang akan menjadi bagian dari sebuah keluarga, harus disambut hangat? Bagi Jordy pertanyaan yang Ratih ucapkan itu sedikit membingungkan.

“Saya atasan Mentari di kantor, Tante.” Pada akhirnya, Jordy berusaha menepis keterkejutannya dengan menanggapi pertanyaan Ratih.

“Oh.” Perempuan itu kemudian merapikan posisi duduknya dengan menyilangkan kedua kaki. “Saya ndak bisa melarang Mentari kalau memang kalian sudah mantap dengan keputusan ini.”

”...Hanya saya ingin berpesan satu sama kamu,” ujar Ratih dengan nada serius.

“Dari kecil hidupnya sudah keras, Nak Jordy. Saya nggak mau dia sulit di kemudian hari. Tolong jaga Mentari, walaupun ke depannya pernikahan kalian akan kedatangan banyak rintangan.”

Jordy adalah sosok yang penuh logika. Ia tak terlalu percaya pada ramalan. Setiap kali ada orang yang bertingkah bak cenayang, Jordy akan selalu menepis pandangan itu. Lagipula, pernikahan ini bukanlah pernikahan pertamanya. Jordy sudah kenyang dengan asam garam rumah tangga. Tentu ia dapat mengatasinya dengan sangat baik.

“Weton kalian nggak cocok,” gumam Ratih yang membuat Jordy harus menahan diri untuk tidak tertawa. Semburat merah di wajahnya adalah pertanda bahwa ia tak ingin mempercayai hal-hal takhayul seperti itu.

“Mentari nggak bisa sembarangan jatuh ke tangan orang lain, Jordy. Dia spesial,” kata Ratih sekali lagi. “Wallahualam, semua terjadi atas izin Gusti Allah. Semoga Jordy bisa mengatasi masalah apapun yang terjadi di kehidupan rumah tangga kalian nanti.”

Jordy menganggukkan kepala, “terima kasih banyak, Tante. Saya izin untuk menikah dengan Mentari.”

Ratih kembali tersenyum, “semoga amanah ya, Jor. Tante cuma bisa mendoakan kalian berdua—”

Dar!

Dari arah luar, pintu usang tadi tiba-tiba terbanting keras. Ratih yang duduk berseberangan dengan Jordy menundukkan kepala lalu hening sejenak. Entah apa yang ia lakukan, namun pemandangan itu membuat Jordy tersenyum remeh. Zaman sudah berubah, teknologipun canggih. Kok masih ada yang percaya dengan hal-hal di luar nalar?

“Jordy, terima kasih ya, kamu sudah menyelamatkan Riri. Papanya Riri senang sekali bisa mengenal kamu,” kata Ratih yang membuat Jordy melongo. Seingatnya, Mentari pernah bercerita kalau ayahnya telah lama meninggal dunia.

“Ah, anggep aja ucapan yang tadi Tante bilang cuma ceplosan biasa. Nggak usah dipikirin. Tante dan suami bersedia menjadi wali untuk Riri di pernikahan kalian nanti.”

“Terima kasih, Tante—”

Belum sempat Jordy menyelesaikan ucapannya, pintu rumah Mentari kembali terbuka, beserta dengan embusan angin yang membelai Jordy dengan begitu kencang. Ternyata di depan, perempuan itu datang dengan wajah tak karuan, sama seperti subuh itu.

“Ba...Bapak?” Perempuan itu melangkah pelan ke arahnya. Jordy menepuk salah satu bangkunya yang tak berpenghuni.

“Saya lagi bicara dengan Tante kamu mengenai pernikahan kita,” tandas lelaki itu tanpa terbata-bata. Mentari menengok ke Ratih dengan dahinya yang mengkerut. “Wallahualam, Ri. Tante sudah bilang ke Jordy untuk jadi wali nikah di pernikahan kalian nanti.”

“Bulik...serius?” Wajahnya terlihat kaget.

“Bulik kan udah ngomong dari tadi di WA, Ri. Sing penting kamu tanggung jawab.”

“Bulik! Riri ra meteng. Tenan, Riri ra meteng duluan,” paniknya saat Ratih tersenyum kecil. Meski Jordy tak begitu paham dengan pembicaraan mereka, otaknya mencerna dengan sempurna, menebak obrolan itu pasti terarah pada tuduhan Mentari yang dihamili olehnya.

“Bulik tau, Ri. Wis tho, ndak usah panik gitu. Sana, salim sama calonmu.” Mentari membalik dirinya menghadap Jordy. Tanpa aba-aba, ia langsung meraih tangannya untuk ditempelkan pada dahi. Jordy diam. Sekelebat ingatannya kembali teringat pada pernikahan pertamanya dengan Kirana. This was happened too. Bedanya, setiap kali ia mengingat Kirana terputar Jordy selalu merasa nyeri. Ia sadar bahwa hatinya tidak akan pernah menerima kepergian Kirana yang terlalu cepat. Walau kini Mentari akan menjadi sosok baru dalam hidupnya, saat tadi ia menyalami tangan Jordy, lelaki itu benar-benar merasa asing dan canggung. Ia terpaksa membiarkannya karena ada Ratih dan keluarga Mentari.

“Mas Jordy,” Perempuan itu tersenyum tulus sambil memandang Jordy penuh harap.

“Hm?” balasnya singkat.

“Nggak, cuma mau manggil doang,” sahut Mentari, tersipu. Jordy sama sekali tak merespon apapun yang Mentari perlihatkan padanya. Untuk Jordy, ini adalah bentuk pengorbanan terbesar bagi Aidan di hari ulang tahunnya yang ke sembilan nanti. Setianya hanya untuk Kirana walau takdir mengatakan hal berbeda.