Feeling
Sepulangnya dari terapi dengan Mas Terry, perasaanku sudah mulai membaik, walau gelisah itu masih berkelana dalam benakku. Rasa ketakutan yang sedari tadi membuntuti mulai berkurang setelah aku mengonsumsi obat penenang yang diresepkan Mas Terry untukku. Ia menyarankan untuk meminumnya dua kali sehari. Pagi dan malam. Kalau sudah, Mas Terry juga memintaku untuk menulis buku harian, mengungkapkan berbagai gundah gulana yang kerap membuatku sulit menutup mata setiap malam.
Aku melakukannya meski tidak terlalu rutin. Pekerjaanku di kantor walau hanya sebagai ekspedisi mengharuskanku bangun sebelum fajar menyingsih. Tepat pukul setengah lima pagi usai shalat subuh, biasanya aku akan bersiap menuju kantor. Perjalanannya cukup panjang karena kantorku terletak di pusat kota, sementara aku tinggal di daerah Jakarta Barat. Bisa kebayang, kan, betapa jauhnya jarak yang mesti kutempuh setiap harinya?
Untung Mas Terry sangat mengerti kondisiku. Dia memakluminya asal aku menyempatkan diri menulis.
“Mulai besok aja, Mentari. Nggak usah malam ini, kamu keliatannya capek banget. Nggak disiksa Jordy kan?” kekeh Mas Terry dengan sejuta senyum manisnya. Gurauan sarkas Mas Terry ketika memaparkan sifat sahabatnya terkadang membuatku tergelak. Dia saja mengiyakan kalau Jordy adalah pria membosankan, lalu bagaimana denganku yang setiap hari harus berhadapan dengan ocehan serta omelannya? Pasti harus lebih tabah bukan?
“Oke, Mas. Kalau gitu saya permisi dulu,” kataku pamit.
“Silakan, Ri. Pulang naik apa tapi?”
“Grab, Mas. Santai aja.”
“Oke, hati-hati yah, Ri.”
“Iya, Mas.” Setelah berucap demikian, aku segera meninggalkan ruangan, yang lagi-lagi entah mengapa dengan pikiran kacau.
Ada sesuatu yang seakan memintaku untuk ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Pusat, padahal saat sudah jam sembilan malam. Namun perasaanku terus tertuju ke rumah sakit itu. Dan akhirnya, ketika memesan taksi online, aku menekan tujuan ke rumah sakit tersebut.
—