First Night Fall

Terpukul dan tersiksa di waktu bersamaan, aku membeku diantara puing-puing rasa yang tercipta untuk Jordy.

Lelaki itu—lelaki yang beberapa jam lalu berikrar menjagaku seumur hidupnya, kudapati tengah duduk termenung di sofa kamar hotel kami. Wajahnya lelah, namun bias penyesalan dan kesedihan terpancar jelas di sana.

Sungguh, apakah aku tidak begitu ia inginkan? Hingga melirikku saja, kurasa Jordy tak sudi.

Dan ini sebabnya aku memilih berlama-lama di kamar sebelah dengan Aidan. Saat kulihat ponsel, tertera lima missed calls Jordy. Mungkin ia butuh sesuatu atau sekedar menanyakan Aidan rewel apa tidak.

“Sebentar ya, Dan. Papi telepon,” kataku pada Idan yang nyaris tertidur di sebelahku.

“Mamah bobok sini aja, jangan ke sebelah. Idan mau bobo sama Mamah,” rengeknya.

Aku tersenyum kelu, menyugar surai hitam Aidan, “Iya, nanti Mamah ke sini lagi. Idan sama Mbak Erna dulu ya? Gak papa, ya?” bujukku lembut.

“Iyaaaaa, tapi Mamah nanti disini ya,” katanya menepuk sebelah ranjang yang kosong.

Aku mengangguk, lalu mengusap tangan Aidan sekali lagi agar ia lebih tenang. Setelahnya, aku segera menitipkan Aidan pada Erna dan langsung menuju kamar Jordy.

“Mas?” Sesampainya aku di kamar, aku menemukan Jordy tengah menenggak satu loki kecil minuman berakohol. Ia duduk di sofa, sembari memijat kepalanya pelan.

“Kamu minum satu gelas aja, kan? Atau ini udah gelas kedua?” tanyaku panik, segera kuhampiri Jordy yang terduduk lemas sembari menundukkan kepala.

“Mas? Udah, jangan minum lagi. Udah ya? Istirahat,” bujukku pada Jordy. Namun lelaki itu tak mendengar permintaanku. Tangannya meraih loki-loki kecil di depan, hendak menenggak satu loki berikutnya.

Aku menatapnya miris, seakan paham mengapa ia bertindak sebrutal ini bahkan di malam pertama kami sebagai suami istri. Paras tampannya mengeras hebat, menghalau tanganku pelan saat aku hendak menghentikan segala tindak tanduknya. Jika ditanya apakah aku lelah menghadapi Jordy, tentu aku tak dapat menutupi betapa lelahnya fisikku hari itu, namun sejak Jordy berjanji akan menikahiku, akupun bersedia menjaga dan mencintai Jordy seumur hidup.

“Udah ya?” ulangku pelan, mencoba menyenderkan tubuhnya pada sofa. Jordy menengadahkan kepalanya sambil terus memejam mata saat aku bangkit berdiri hendak dan menuangkan segelas air putih untuknya.

“Na... I made a mistake. I'm in trouble, a really big trouble. Maaf.”

Detik kudengar Jordy berucap se-nelangsa seperti itu, gelas yang tadinya berada di tanganku, mendadak jatuh dan pecah. Lagi-lagi ujung jariku berdarah. Ini sudah kesekian kalinya aku selalu melukai diri jika sesuatu yang berhubungan dengan Kirana terucap. Aku hanya bisa terdiam sembari menekan ujung jemariku yang terus mengalirkan darah. Perih mulai terasa menghujam diri, tapi aku berusaha keras menghiraukannya. Yang kulakukan justru menepuk pundak Jordy pelan, sesekali kuusap sebentar agar setidaknya lara dalam hati Jordy tak bertambah parah.

“Enggh...” Jordy melenguh singkat. Ia melirikku dengan mata setengah terbuka, karena alkohol masih begitu memengaruhinya.

“Masih pusing?” tanyaku.

Jordy cuma menggeleng sambil menepuk kepalanya lagi.

“Jangan dipukul gitu, nanti tambah sakit.” Aku menghalau tangan besar Jordy.

“Jangan pergi,” pintanya dengan suara parau.

“T-tapi Idan gimana? Dia nggak mau tidur kalo aku gak di sebelah, nanti rewel.”

“Jangan...” Kulirik tangan Jordy yang tiba-tiba telah berpindah di pergelangan tanganku.

“Kita berdua dulu ya, Na? Idan kan udah ada yang jagain, Erna. Ya?” Suaranya yang lembut membuatku semakin rapuh. Air mataku mengalir seketika, napasku memburu saat kudengar bukan namaku yang ia sebut. Meski nadanya terdengar memohon, tapi aku tahu menikah dengan Jordy bukanlah sebuah pilihan tepat.