Forgotten
Rumah Xavier yang bernuansa putih dan minimalis cukup membuat Regina sedikit terbuai dengan interiornya. Seperti berada di negara empat musim, rumah Xavier memiliki tempat khusus untuk mengadakan api unggun, walau hanya sebagai hiasan. Di sampingnya terpasang pohon natal berukuran yang cukup tinggi. Namun tidak seperti pohon natal pada umumnya, daun pohon natal Xavier berwarna putih seperti salju. Regina dengar, pohon natal itu dipesan khusus dari Eropa oleh kedua orang tua Xavier. Sungguh menganggumkan. Sebab, belum pernah Regina mendapati ada pohon natal yang daunnya dari pinus asli, tetapi berwarna putih.
“Eh, anaknya Pak William ya?” Tau-tau saat baru mau menarik kursi, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Regina.
“Iya, Tante.” Regina lekas menyahut, kemudian tersenyum kepada wanita itu.
“Duduk, duduk. Papa Mama nggak ikut? Siapa lagi namanya, Tante lupa.”
“Regina, Tante. Papa Mama nanti nyusul, soalnya masih diluar,” kata Regina.
“Oh, begitu... iya, iya. Kata Xavier, nanti baca renungan kan?”
“Betul, Tante.”
“Oke, nanti biar dikasih Xavier kertasnya. Anaknya masih mandi, ntar lagi kelar paling. Sebentar ya, Gin.”
“Iya, Tante. Nggak papa.”
Regina menjadi tamu pertama yang datang. Sepeninggal wanita paruh baya tadi, Regina langsung menyibukkan diri pada ponselnya. Mengontak Biel yang dari setengah jam lalu sama sekali belum membalas pesannya. Satu menit, dua menit bahkan sampai sepuluh menit kemudian, notifikasi pada ponsel Regina tidak berubah. Belum ada tanda-tanda nama Biel tertera disana.
Regina mengembuskan nafas pelan. Kecewa, lantaran sang kekasih tak kunjung memaafkannya. Entah apa kesalahan fatal yang membuat Biel sampai semarah itu padanya, padahal masalahnya simple. Salah paham, tapi Biel sepertinya enggan mendengarkan Regina terlebih dahulu.
“Oit.” Regina sontak menoleh ketika suara familiar menyapanya dari arah belakang. Kali ini yang cukup mendistraksi Regina bukan suara dari sosok itu, tetapi aroma tubuhnya yang khas. Gimana ya? Wanginya enak. Mirip sekali dengan milik Biel, hanya sedikit lebih bold. Manly banget.
“Eh, Xav.” Regina merespons, segera ia simpan ponselnya di dalam tas, lalu menerima kertas renungan yang dipegang sosok itu, Xavier.
“Udah dari tadi apa baru datengnya?” tanya Xavier, merapatkan bangkunya pada Regina.
“Baru aja. Ini yang mana aja yang harus gue baca?” sahut Regina tanpa menoleh pada Xavier. Dirinya fokus pada selembar kertas yang tadi diberikan oleh lelaki itu.
“Yang ini.” Telunjuk Xavier terarah pada judul renungan tersebut, 'Allah dan Segala Kuasa-Nya di dalam Doa.' Regina refleks tertampar dengan judul itu, ia baru sadar jika belakangan ia sedikit menjauh dari Tuhan. Lebih memprioritaskan Biel, padahal pacarnya sering mengingatkan kalau lebih baik ia mengutamakan Tuhan daripada ciptaan-Nya. Regina tak lagi menyempatkan diri untuk berdoa pagi, dirinya hanya sibuk mengerjakan tugas kampus dan memerhatikan orang yang belum tentu menjadi pasangan tulang rusuknya.
“Gin?” Terlalu lama termangu, Regina sampai tak sadar jika Xavier menjentikkan jari.
“Eh, iya, Xav. Sori-sori, jadi dari atas sini, sampai disini?” Regina bertanya kembali.
“Yep. Gue tinggal sebentar ya, mau bantuin nyokap nyiapin minum buat tamu.”
“Iya, iya silakan.” Usai berkata demikian, Xavier membalik badan, membelakangi Regina yang sedang membaca renungan tersebut. Namun belum ada lima detik lelaki itu melangkah, suaranya kembali terdengar memanggil Regina. “Gin, lupa. Mau minum apa?”
“Eh?”
“Ada jus jambu, lo mau nggak?”
“Nggak usah gak apa-apa. Gue bebas minum apa aja.”
“Bener nggak mau? Muka lo agak pucet deh. Lo nggak lagi sakit kan?”
Regina langsung menggeleng. Dia tak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Sebab jika boleh jujur, sebenarnya Regina sedang kurang sehat akibat hujan kemarin. Biel lupa meminjamkan jaketnya saat mengantar Regina pulang. Mungkin Biel lupa Regina alergi dengan cuaca dingin. Tapi kalau dipikir-pikir ulang, masa sih Biel lupa? Pacarnya itu bahkan menghafal ayat-ayat alkitab diluar kepala, masa sekedar alergi dingin yang diidap Regina saja...Biel bisa lupa? Atau kemungkinan terburuknya, Biel memang mulai mengabaikan Regina karena terlalu asyik dengan anak gerejanya.
“Air putih aja beneran, gak mau ngerepotin,” tolak Regina tak enak hati.
“Nggak kok. Kemaren pulang pendalaman iman gue beli dua, Ci Anna sama Koko gue gak suka.”
“Buat nyokap lo aja, Xav. Siapa tau Tante mauu,” kata Regina sekali lagi menolak dengan sopan.
“Nyokap gue ga suka jambu, sukanya strawberry.”
“Bokap lo.”
“Bokap gue udah tenang di sisi Tuhan, Gin,” kekeh Xavier pelan. Regina langsung bungkam saat Xavier mengungkap satu fakta baru tentang dirinya. Aneh sih, padahal Regina juga gak kepingin tahu mengenai seluk beluk keluarga cowok itu, namun saat mendapati wajah Xavier berubah sendu, Regina merasa bersalah karena tanpa sengaja mengorek luka lelaki itu.
“Eh, maaf. Gue gak tau, Xav. Sori banget ya...”
“Gak apa-apa, santai banget. Jadi, mau apa enggak jus jambunya?”
“Boleh deh...” Untuk kesekian kalinya, Regina tak sanggup menolak atau berusaha menjauhkan diri dari Xavier. Padahal tadi ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengecewakan Biel. Namun entah dorongan dari mana, Regina malah mendengar kata hatinya dengan bertandang ke rumah Xavier dan menghadiri doa lingkungan.
Untuk pertama kalinya.