Gangguan Kedua
Baru mau buka handphone untuk membalas Jenan, tiba-tiba saja sebuah suara mengedar di sekelilingku.
“Shshshshs, hhhh...pinjam tubuhmu...aku mau masuk.. shshshsh.”
Aku tersentak saat mendengar suara seorang lelaki tua di sekitaran mobil Jordy. Tepatnya, di luar kaca mobilnya. Aku sontak celingak-celinguk, mencari sang pemilik suara. Tapi aku tidak menemukan sosoknya.
“Pak, barusan ngomong?” tanyaku memastikan. Jordy menggeleng, “Saya dari tadi nyetir. Nggak ngobrol sama kamu.”
Deg! Berarti yang tadi suara siapa? Apa jangan-jangan kelainanku ini ingin menambah identitas? Aku mendadak kalut memikirkannya. Saking kalutnya, aku bertingkah sok sibuk di depan Jordy, sambil mencari-cari obat anti depresanku. Lebih baik kucegah dari sekarang, sebelum beruang madu besar ini menancapkan taringnya.
“Ada apa sih, Mentari!” Tampaknya Jordy amat terganggu dengan suara rangsekan tasku. Cih, mentang-mentang gak branded.
“P-pak, denger ada orang ngomong nggak?” tanyaku sekali lagi, seakan butuh validasi.
“Ya kamulah yang ngomong, orang di mobil cuma kita berdua,” balasnya sengit. Kemudian dengan mata memicing penuh curiga, Jordy bertanya, “kamu mau kambuh?”
“Pak, penyakit saya nggak bisa dipre—”
Belum selesai sampai di situ, mendadak bau anyir menyapa rongga penciumanku. Begitu tajam hingga sukses membuat perutku bergejolak, alias, mual sekali.
HOEEEEEEK! Mampus. Aku ngotorin mobil Jordy.
“Mentari?!” pekiknya dengan muka jijik, saat melihatku muntah. Jika dia kaget karena baru melihat seseorang muntah di depannya, aku lebih terkejut lagi kala tersadar bahwa aku memuntahkan angin, alias tidak memuntahkan cairan. Tapi entah mengapa, bau itu terus-terusan menganggu bersamaan dengan suara mengerikan
“Pak...” kataku sembari mengerjapkan mata saking tak kuatnya mencium bau anyir yang semerbak.
“Pak, pinjem aroma terapinya di rumah Bapak ya? Saya mual, mobil Bapak bau anyir!”
“Ngaco kamu! Saya baru masukin bengkel. Dari mananya bau anyir!” sahutnya tak mau kalah.
“Bau banget, Pak! Buktinya saya sampe mual dan muntah.” Jordy menengok ke lantai mobilnya dengan kernyitan dahi, lalu dia kembali memandangku. “Kamu gak muntah, tuh.”
“Kamu cuma masuk angin, Mentari. Mungkin gak terbiasa kena AC. Nanti sampe apart saya—”
“Lagian, kenapa saya ga dianterin ke kosan saya aja, Pak.. Kenapa malah stop di apart Bapak?” selaku. Ia berdeham sejenak, lalu menjawab dengan raut wajah tenang, “saya ada alasan khusus. Nanti kita bicara di rumah aja.”
HOEEEEK! Sial, mualku malah makin menjadi-jadi mendengarnya.