Gangguan Ketiga

“Masih mual?” Satu pertanyaan meluncur dari lelaki bertubuh tinggi di depanku. Sorot matanya terpatri kearahku, tak berekspresi namun entah mengapa aku mengartikannya sebagai sebuah kekhawatiran.

“Nggak, Pak,” aku menjawab setenang mungkin, menyembunyikan rasa penasaranku tentang alasannya membawaku ke apartnya, dan bukan ke kosan. Jika begini, nama baikku akan tercoreng, bukan? Mana ada sih atasan yang membawa karyawannya pulang ke rumah, apalagi dia bukan siapa-siapaku.

“Berarti yang tadi itu kamu masuk angin,” gumamnya sembari menempelkan kartu apart pada gagang pintu.

“Pak, sebentar.” Aku mencegat, rasa ingin tahuku akan alasannya semakin tak terbendung. Ada baiknya aku bertanya sebelum hal-hal yang tidak kuinginkan terjadi.

“Apa?” tanyanya.

“Kenapa saya nggak diantar ke kosan? Saya punya rumah, Pak. Ngapain saya diajak pulang ke apart Bapak?” tanyaku dengan melipat tangan di depan dada.

“Kita bicara ini di dalam—”

“Nggak, Pak. Saya mau denger alasannya. Ini nggak baik, Pak. Gak baik di mata agama!” Aku menugas.

“Kamu pikir saya sebajingan itu?” balasnya dengan tampang nyolot. Astaga..kalau saja Jordy tidak menghabiskan hampir sepuluh juta demi terapiku, aku pasti sudah menampar wajahnya dengan tangan. Gemas, kesal dan geregetan bergabung memenuhi perasaanku saat ini. Mana, belum bales-bales Jenan lagi. Padahal tadi handphone-ku sudah bergetar, jiwa kepoku kan jadi meroket tinggi! Ingin tahu apa jawaban Jenan.

“Maksud saya nggak gitu, Pak. Tapi menurut saya, hal ini nggak wajar antar bos dan karyawannya—” Belum sempat kuselesaikan ocehanku, tangannya telah membuka pintu. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati unit Jordy yang sangat-sangat berantakan bagai kapal pecah. Dari dalam, kudengar langkah kaki seseorang yang begitu tergesa-gesa, berlari menuju pintu apartnya.

“Tante!” Astaga, anak itu lagi. Aidan.

“Tante, kemaren sebelum Tante pulang, Tante bilang mau bacain dongeng sama main mobil-mobilan sama aku! Terus, Tante juga bilang mau nginep di rumah. Idan udah bilang sama Papi, minta Tante main kesini! Hehe.”

WHAAAAAT? Sejak kapan aku menebar janji semacam itu pada Aidan? Selama dua puluh lima tahun aku hidup, semua orang-orang terdekatku juga tahu kalau aku sangat canggung dengan anak-anak. Bukan tidak suka, hanya saja aku memang tak terbiasa dekat dengan anak-anak, walau pernah menjadi seorang pengasuh anak-anak, tapi anak bosku itu tak se-aktif Aidan. Anak bosku tipikal yang pendiam dan penurut, bukan seperti Aidan yang banyak mau, persis papinya.

“Kayaknya, Tante enggak bilang gitu, deh,” belaku kebingungan.

“Ih, Tante janji sama aku kok! Tante bilang pengen tinggal disini sama aku dan Papi. Yah, Tante ya? Idan mau dibacain cerita sama Tante, Tante kayak Mami soalnya,” ujar Aidan dengan senyuman lebar. Jari mungilnya menggenggam tanganku, memainkannya sebentar. Kepalaku kembali pusing kala anak itu mendusalkan kepalanya pinggangku.

“Idan, kamu ngapain? Jangan gitu!”

“Nggak apa-apa, Ody. Memang saya sendiri yang sudah janji sama Idan untuk nemenin dia. Saya mau nemenin Idan.”

“Mentari?”

“Yes! Iya, Tante, ayooo main!”

“Mentari!”

“Saya kangen sama Idan, jangan ganggu dulu. Biarkan saya main sebentar sama Idan.”