“Gitu dong,” gumam Jordy sesaat ia mendapati Mentari keluar dari kamar Aidan. Tetap dengan wajah merengutnya, perempuan itu diam saja dan hanya duduk di hadapan Jordy.

“Enak, sambelnya.” puji Jordy, mencoba mengalihkan amarah Mentari. Tapi istrinya itu tetap bungkam dan menatapnya.

“Kalo sakit perut aku gak tanggung jawab. Kata Erna kamu ga bisa makan pedes,” balas Mentari acuh.

“Iya. Kalo sakit perut ya berarti besok bolos ngantor,” ujar Jordy enteng. Mentari yang mendengar ucapan Jordy mengernyit heran, “besok katanya ada awards-awards itu.”

“Kamu ikut ya?” Jordy menaikkan tatapannya pada Mentari penuh harap.

“Aku masih mikir-mikir,” jawab Mentari mengangkat bahu.

“Marahnya beluman?” tanya Jordy hati-hati. “Nanti Idan ngambek sama saya, udahan ya?”

“Jadi kamu ngajak baikan itu karena pengen Idan gak marah doang?”

“Nggak, saya juga pengennya kita berenti marah-marah kayak gini,” sahut Jordy dengan wajah pasrah. “Belum bisa maafin jadinya?”

Kali ini gantian Mentari yang menghela nafas. Setelah tadi ia berbincang dengan Bulik Ratna tentang wetonnya dan weton Jordy, Mentari agak sedikit skeptis. Namun tiap mereka berdua menghadapi masalah begini, rasanya ucapan Bulik Ratna bukan isapan jempol belaka. Mentari tak memungkiri betapa ia ingin egois, memiliki Jordy sepenuh hatinya. Namun lelaki itu tak pernah memberi celah, meski kelihatannya Jordy mulai mau mengalah, Mentari bisa melihat jika Jordy masih sangat mencintai Kirana.

“Udah aku maafin,” jawab Mentari setelah satu helaan nafas.

“Kalo gitu mau nemenin ke award?” tanya Jordy berikutnya.

“Temen-temen kamu gak papa?”

“Jenan maksudnya?” Nada Jordy berubah ketus. “Bukan Pak Jenan atau Pak Teza. Artis-artis yang pernah kerja sama kamu maksudku, Mas.”

“Emang kenapa sama mereka?” Mentari diam seribu bahasa. Bukan ia tak tahu jika selama ini ia dihujat oleh shipper besar Jordy dan Kirana, justru Mentari sangat terganggu karenanya. Dia lebih memilih menyimpannya sendiri karena tak ingin hubungan kerja sama Jordy dengan artis terpercayanya jatuh. Bagaimanapun para artis tersebut membuat suaminya dikenal banyak orang dan bangga terhadap dirinya sendiri.

Jika Mentari melaporkannya pada Jordy, bisa-bisa kejadian Mentari jatuh dari motor, kembali terulang.

“Nggak apa-apa,” kata Mentari setelah lima detik merapatkan bibir.

“Rata-rata dateng sama pasangan. Nggak ada masalah kalo saya ajak kamu nanti.”

“Ya udah, nanti aku temenin,” sahut Mentari menyetujui. Jordy tersenyum tipis, “Rambut kamu asli kayak gitu?”

“Kenapa? Aneh ya? Jadi keinget dulu Idan manggil aku Tante Kibow.” Mentari kontan merapihkan rambut keriting ikalnya, karena ini pertama kali Mentari tampil apa adanya di depan sang suami.

“Nggak,” sahut Jordy namun Mentari malah memicing curiga, “kamu mau ketawa kan?”

“Enggak, Mentari. Beneran, suudzon terus,” sahut Jordy menahan tawa. “Tumben aja, biasanya rambut kamu lurus gitu.”

“Karena udah gak kemana-mana dan gak kerja, jadi aku males nge-hairdryer,” katanya jujur.

“Berarti kalo kerja selalu catokan? Biar apaan kayak gitu?”

“Ya biar rapi,” jawab Mentari spontan.

“Bukan karena di kantor ada yang request biar rambut kamu lurus terus?”

“Kamu kan itu? Maunya rambutku lur—” “Jenan. Jenan suka liat rambutmu lurus, katanya.”

“Dia ga pernah ngomong gitu deh perasaan.” “Berarti dulu hampir bilang kayak gitu?”

“Enggak, Mas. Gak pernah sama sekali. Kamu kenapa lagi sih?”

“Kalo gitu besok-besok gak usah hair-dryer aja.”

“Dih? Besok nemenin acara, kamu mau aku diketawain? Sengaja, ya?” balas Mentari sengit.

“Besok ada Jenan.” Jordy membalas tak kalah ketus.

“Terus kenapa kalo ada dia?”

Jordy diam. Amarahnya yang tadi surut kini mulai bangkit sedikit demi sedikit. “Besok kamu dicepol aja.”

“Lah?” Mentari menaikkan alis. “Aku pengen lurus rambutnya.”

“Gak boleh,” jawab Jordy lekas. Mentari menghela nafas. “Cepol aja.”

“Emangnya aku istri polisi apa TNI digituin?” gerutunya tak terima.

“Bukan cepol kayak gitu, yang simple-simple aja. Nih, kayak begini.” Jordy menunjukkan simple messy bun pada istrinya dari ponsel. Namun Mentari seketika terdiam kala ia tak sengaja membaca pesan dari Recha, yang tak lain adalah mantan mertua Jordy.

Jordy, besok saya datang. Kan award itu kamu terima karena Kirana. Kamu ngangkat cerita tentang dia. Harusnya kamu berterima kasih pada almarhum istrimu, bukan menikah dengan perempuan gak jelas kayak gitu.

“Mas,” Mentari tiba-tiba merengut sedih. “Ya?”

“Besok Idan kayaknya pulang malem deh, aku nunggu dia di rumah aja. Kamu ke sana sendiri, gak apa-apa kan? Kasian, Idan besok kegiatannya cukup banyak.”

“Mentari, saya ngerti kamu sayang sama Idan. Tapi kalo kamu terus ngikutin maunya dia, apa-apa nemenin dia, kapan dia mandirinya? Nanti sampe dia SMA, gak mau tidur sendiri.”

Mentari menghela nafas, pikirannya terbengkalai usai tak sengaja membaca pesan Recha. Enggan menjatuhkan dirinya dua kali pada rasa sakit, Mentari hanya ingin menenangkan diri. Tapi sang suami kekeuh menginginkan Mentari untuk pergi.

“Idan itu anak laki-laki, Mentari. Gak papa dia manja sama kamu, manja sama saya. Tapi kalau kamu biasain tidur sama dia, sampai besar nanti akan kebawa.”

“Ya udah, iya...” Mentari kembali mengangguk dan tersenyum pahit pada suaminya.