Glimpse Life of Jordy dan Riri

Tak Lagi Sama (Jordy's Version)

Belum sirna dari ingatan saya tentang mimpi tempo hari. Mimpi yang terasa begitu nyata dan sungguh menyiksa. Mimpi yang mengembalikan saya pada trauma tiga tahun lalu.

Caranya mungkin tidak sama. Tapi rintihan serta tangisan mengerikan itu selalu terbayang di kepala saya.

Sejak saya memimpikan itu, saya mulai melangkah meninggalkan masa lalu. Saya tak lagi mencari jawaban pasti tentang bagaimana mungkin Mentari memiliki sifat yang sedikit mirip dengan Kirana.

Justru setiap kali persona itu muncul, saya otomatis dipenuhi kekalutan. Saya takut bila Mentari yang sedang menjadi Kirana bertindak di luar nalar, persis yang terjadi di dalam mimpi.

Makanya, mulai hari ini saya memutuskan untuk pulang lebih awal, agar dapat memantau kondisi Mentari di rumah, juga untuk Aidan yang belakangan ini mengalami perubahan yang cukup signifikan, terutama setiap saya pulang kantor.

Dia berhenti merengek.

Dia tidak lagi melimpahkan kekesalannya pada pengasuhnya, Erna.

Dia tidak lagi menjadi sosok menyebalkan buat saya.

Dia selalu menunggu saya setiap pulang kantor.

Anak itu akan berdiri di balik pintu, merentangkan tangannya ke arah saya untuk meminta peluk.

“Papiiiii!” Anak itu bersorak senang saat saya baru saja melangkah masuk. Senyumnya merekah dengan sempurna.

“Hai,” sapa saya sembari mensejajarkan diri dengan Aidan.

“Papi hari ini pulangnya cepet!” Dari teriakannya yang mungkin terdengar hingga ke ujung ruangan, saya bisa menebak jika hal sesederhana ini adalah hadiah yang Aidan tunggu-tunggu.

“Iya,” sahut saya pelan. “Are you happy?” Anak itu mengangguk kuat dengan cengiran. Tak lama setelahnya, tangan saya sudah digandengnya menuju dapur, mempertemukan saya kepada sosok perempuan bercelemek putih, bersurai coklat muda dan bergelombang.

Sepertinya ia tak menyadari bahwa saya sudah di rumah. Ia hanya sibuk bergelut dengan sutil dan panci masaknya.

“Mamah!” Aidan menepuk belakangnya hingga membuat bahunya terangkat.

“Dan, astaghfirullahaladzim. Kaget Mam—”

“Papi pulang jam enam tiga puluh lewat satu detik, ini hari pertama Papi pulang cepet, yeaaay!” Aidan menyerocos disaat saya dan Mentari hanya saling termangu, memandang satu sama lain dan tenggelam dalam tatapan itu.

“Tumben,” ia tersenyum kecil. “Makasih, Mas. Udah mau pulang cepet.”

Saya tersenyum kikuk karena tak pandai merangkai kalimat pemuja atas apresiasi kecil tersebut. Tapi untuk menggantikannya, saya memilih melangkah maju, mengusap punggung belakangnya pelan.

“Cie Papi....” Aidan di belakang menatap saya dengan muka jahil dan lugunya. “Ih, Papi! Telinganya merah.”

“Kenapa? Kamu sakit?” Mentari langsung berbalik menghadap saya, dia terlihat panik.

“Nggak, Mah. Papi selalu kayak gitu kalau malu. Telinganya pasti merah.”

Sial, Aidan membuka kartu As saya.