Glimpse of Her

Agenda memindahkan data Mentari terpaksa saya tunda.

Karena sesampainya saya di kamar sebelah, saya menemukan Mentari tertidur di sofa, memegang perutnya terus-terusan sambil sesekali meringis. Aidan? Untungnya, anak itu terlelap di kasur, sehingga saya tidak harus membuang tenaga mengurus dua orang.

Ketika saya menghampiri Mentari, rupanya ia tengah meringis kesakitan.

“Kamu PMS?” Saya ingat betul peristiwa yang sama pernah dialami Kirana semasa ia masih hidup. Tentu sebagai orang yang sudah berpengalaman, saya yakin betul kalau hari ini adalah hari Mentari kedatangan tamu.

“Nggak...” jawabnya lemah. Alis saya kontak mengerut bingung, “Maag aku...kambuh.”

“Makanya saya bilang jangan tunggu saya selesai kerja. Salah sendiri,” jawab saya acuh. Ini bukan bermaksud menghukum Mentari karena pilihannya, tapi seharusnya dia lebih aware dengan dirinya sendiri. Jika hal-hal sepele seperti ini saja tidak ia pedulikan, lalu bagaimana nasib Aidan? Apa ia mampu mengurus Aidan dengan baik?

“Maaf ya, Mas,” sesalnya. Saya diam memandang wajahnya yang memucat. “Aku ngerepotin.”

“Tuh, tau.” Ia semakin bungkam mendengar balasan saya. “Pindahin datanya masih mau sekarang?” Sambil terus mengaduh-aduh, Mentari justru membahas hal yang tidak perlu.

Dan hal itu membuat saya semakin jengkel padanya. “Kamu ini, kayak gitu emang penting?”

“Tapi kan tadi kamu marah, nuduh aku sama Pak Jenan yang enggak-enggak.”

“Saya nggak nuduh.” “Kamu ngebentak aku tadi di depan pintu gara-gara message Pak Jenan,” muka Mentari yang terlihat pedih membuat saya dirundung sesal seketika. Saya tahu mungkin sikap saya juga salah lantaran langsung menggertaknya. Tapi amarah itu entah mengapa selalu timbul setiap kali ada Jenan di sekeliling kami.

Saya tidak dapat mengontrolnya hingga saya kewalahan sendiri.

“Aku nggak mau berantem lagi gara-gara Pak Jenan,” katanya dengan volume suara yang nyaris tak terdengar. Tatapan Mentari terangkat ke saya, seakan memohon untuk tidak lagi marah padanya.

“Maaf sekali lagi kalo kamu masih marah, aku nyari obat dulu ya. Biasanya aku selalu bawa dalem tas, tapi kayaknya ketinggalan deh di kosan.”

“Mentari,” panggil saya. “Bentar, Mas. Aku mau cari obat dulu.”

“Denger saya dulu.” “Aku nggak bisa kayak gini terus, nyusahin kamu terus, bikin marah, nanti Idan ga keurus kalo aku sakit.” Ia tetap kekeuh ingin beranjak dari sofa.

“Bisa liat saya sebentar?” “Mas, kamu istirahat aja dulu. Aku bisa ngurus diri sendiri kok. Tenang, gak perlu repot. Kemaren kamu udah cukup menyedihkan sampe minum banyak, sekali lagi aku minta maaf ya. Maaf banget aku bukan orang yang kamu mau. Maaf banget aku–”

“Berapa gelas yang kamu minum?”

Dia diam dan menghindari tatapan saya. “Berapa?”

“Satu...” “Siapa yang suruh kamu minum?”

“Nggak ada. Lagi kepengen aja.” “Jangan minum-minum lagi.” Saya sengaja mempertegas ucapan saya.

“Kok gitu? Kamu aja boleh minum, kemaren kamu minum sampe ngigo Mbak Kirana. Kenapa aku gak boleh? Kenapa cuma kamu yang boleh? Aku nggak boleh ngelampiasin sedihku juga? Yang sedih patah hati bukan cuma kamu Mas Jordy, tapi aku juga sama. Nggak. Kita sama. Sama-sama menyedihkan. Kamu sedih karena belum nemuin pengganti Mbak Kirana, dan aku sedih karena aku nggak akan pernah ada di posisi dia,” ujarnya sambil menangis terisak-isak. Saya tahu saya salah di bagian itu, maka untuk menebus kesalahan, saya biarkan ia berkeluh tentang apa yang ia rasa, saya biarkan sesekali saya yang menjadi sandarannya.

Karena sampai kapanpun saya menginginkan Kirana, dia tak akan pernah kembali ke saya.

Yang ada hanya perempuan yang kini sedang saya peluk erat dalam dekapan.

Saya tidak mau Jenan yang memeluknya. Saya mau hanya saya yang mendekapnya seperti ini.