Green Light

“Papi, adik datengnya kapan?”

Pertanyaan yang terlontar dari bocah berusia sembilan tahun menyambut kepulangan Jordy sore itu. Dengan alis bertaut bingung, Jordy tertawa keras sambil melangkah masuk ke apartnya.

“Tanya Mamah sana, adik kapan dateng. Siapa tau besok udah ada.” Mendengar jawaban spontan Jordy, osengan di panci Mentari mendadak semakin kencang. Jordy, si pembuat masalah sontak menggendong putranya dan mendudukkannya di kursi ruang makan.

“Kamu!” Mentari membalik tubuhnya dengan sutil yang terarah tepat di depan dada Jordy. “Ngomong apa sama Idan barusan?”

“Aku cuma jelasin ke Idan doang kok, iya kan, Dan?” balas Jordy meminta dukungan. Hebatnya, Aidan kini berada di pihak sang ayah, yakni dengan memberikan anggukkan kepala.

“Kata Papi, Idan disuruh nanya Mamah, adik kapan datengnya.” Anak itu diam sesaat, memasang wajah berpikir usai menenggak segelas air putih di depannya. “Besok bisa nggak, Mah?”

Mentari menghela nafas frustasi mendengar pertanyaan polos Aidan, namun tak berarti ia kesal dengan lontaran lugu putra sambungnya. Justru, Mentari sangat bersyukur sebab Aidan mulai memaknai arti berbagi yang sesungguhnya. Perempuan itu lantas meninggalkan ranah kebesarannya, dan bergabung dengan Jordy dan Aidan di ruang makan, kemudian duduk di sebelah anak itu.

“Idan yang rajin shalatnya, biar adik cepet ada di sini,” tunjuk Mentari pada perutnya sendiri. Aidan mengangguk patuh dan bersemangat. Ia terlihat melahap makanan yang telah disajikan Mentari.

Sementara Jordy sibuk menggulung lengannya untuk mengambil nasi hangat, “Dan, mau adiknya cewek apa cowok?”

“Emang bisa request?” cibir Mentari sambil terbahak.

“Ya bisalah,” jawab Jordy sok yakin.

“Idan mau adiknya cewek, biar bisa diajak main game,” sahut Aidan spontan. Jordy tersenyum tipis, “kalo adiknya cewek, dijagain bukan disuruh main game, Aidan...” lanjut Jordy mengacak rambut anaknya.

Mentari mengekeh sambil menguntai doa agar keluarganya kecilnya selalu hangat seperti sekarang. Tawa penuh canda yang tertuai di bibir Jordy, serta ricuhnya teriakan bahagia Aidan sungguh melengkapi hidupnya. Tak lupa, ia juga mendoakan keinginan Aidan yang lain, yakni mendamba anggota baru dalam keluarga mereka. Tangannya tak terlepas dari surai hitam milik Aidan. Karena putra sambungnya sangat suka bila dielus kepalanya.

“Dan, diabisin makannya. Guru ngajinya dateng jam lima loh,” ucap Mentari mengingatkan.

“Eh iya!” Bocah itu menepuk jidatnya sendiri, “Idan lupa kalo ntar mau ngaji,” gumamnya sembari lekas-lekas menghabiskan makanan di piringnya.

“Makasih, Mah. Idan mau ke kamar dulu ah, mau ambil sarung sama peci!” ujar Aidan penuh antusias. Ia ulurkan tangannya pada Mentari untuk disalami, begitupun Jordy.

“Assalamualaikum Papi, Mamah, Idam mau persiapan les ngaji dulu ya,” pamitnya sambil berlarian ke kamar.

Sepeninggal putranya, tersisalah kedua orang tuanya yang saling melempar tatapan canggung satu dengan yang lain, seakan lupa bahwa tadi malam mereka telah melaksanakan rutinitas wajib hingga dini hari.

“Apa?” Mentari memulai pembicaraan dengan nada ketus.

“Marah-marah mulu kamu,” sahut Jordy. “Lagi cosplay jadi aku pas di pernikahan pertama ya?” ledek suaminya bersenda-gurau.

“Oh,” sahut Mentari sarkas. “Sadar diri juga ya, dulu hobinya marahin aku every single day?”

“Hahahahaha,” tawa Jordy sukses mengubah raut muka Mentari yang sok malu-malu menjadi tersipu.

“Ini suaminya pulang, apa nggak mau dipijet dulu?” singgung Jordy sambil menggerakkan lehernya. Mentari sontak tertawa renyah, seakan tahu maksud terselubung Jordy. “Kamu tuh nggak sesabar itu, ya?” lanjutnya dengan picingan mata.

“Anaknya udah ngasih lampu hijau tuh,” sahut Jordy acuh, kemudian berpindah ke sisi istrinya untuk ia peluk sesaat.

“Di kamar aja, Yang,” hindar Mentari saat Jordy mulai mengusap-usap punggungnya. “Malu aku!” tukasnya dengan menyingkirkan tangan Jordy dari lengannya.

“Iya, iya. Aku beres-beres dulu, abis itu shalat,” katanya beranjak dari kursi. Mentari mengangguk, “Hebat ya Papi, sekarang udah bisa shalat, udah bisa jadi imam. Alhamdulillah,” puji Mentari, menyusul langkah suaminya yang bergerak menuju kamar.