Grudge
“You'll never have a child from this woman,” seru Mentari lantang, menyambut kedatangan saya tepat pada pukul dua belas dini hari.
Tatapan Mentari yang Aidan terangkan bahwa ia begitu putus asa, mendadak sirna dan berganti menjadi penuh dendam. Daksanya terus mengekor kemanapun saya melangkah.
Dia tertawa cekikikkan.
“Ri, saya tau ini berat buat kamu—”
“I'll never give her my bless to have your child, Ody.” Saya terkejut saat pandangan intens serta intonasi bicara Mentari berubah seperti Kirana.
Sementara Aidan yang mendengar ibunya berteriak, langsung bersembunyi di belakang saya dengan tampang ketakutan, saat Mentari mencoba meraih tangannya.
“Mami's here Aidan..” Tangan Mentari terjulur hingga melepas infusnya. Ia mencoba meraih Aidan beberapa kali namun anak itu terus menghindar hingga tak kuasa lagi rasa takutnya.
“Papiiii!!!!” jerit Aidan histeris.
Dari sekian banyak perilaku Mentari saat ia kambuh, hari ini yang paling menguras tenaga dan juga cukup mengherankan. Seharusnya pasca kuretasi, ia menjadi lemah dan masih dalam pengaruh obat bius. Namun hal itu tidak terjadi.
Dua puluh menit lamanya Mentari terus memanggil-manggil Aidan sambil menyebut dirinya 'mami.'
“Ri! Sadar!” hentak saya sambil menepuk bahunya kuat. Tangan kiri saya menggenggam erat Aidan.
“Papi...Idan takut, Pi...” adu anak itu terisak-isak. Saya menoleh padanya, “Idan tenang aja, Mamah nanti dikasih obat penenang. Idan sama Mba Erna dulu ya. Biar Papi jaga Mamah.”
Tanpa berlama-lama, Aidan langsung berlari ke sisi Erna. Digenggamnya tangan Erna kuat-kuat, sambil berjalan keluar.
Selepas perginya Aidan saya langsung mengambil obat penenang dengan maksud memberikannya pada Mentari. Tetapi Mentari menghempaskan semua obat-obatan dari tangan saya sambil ketawa cekikikan.
“Bagaimana? Seru kan permainan saya?” Peluh di dahi saya kian mengalir deras saat menyadari suara Mentari yang tadinya lembut berubah serak mencekam.
“Saya ditugaskan istri kamu untuk mengambil anak itu...Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa memperoleh anak dari perempuan ini...” kekehnya seperti nenek-nenek.
“Sampai kapanpun... saya akan membalaskan dendam istrimu...” Usai berkata demikian, Mentari kehilangan kesadaran. Tubuhnya melemah, kondisinya kritis.
Saya terdiam sembari terus memikirkan ucapan yang baru saya dengar. Mengerikan, membuat saya berpikir apakah perkataan Terry perlu saya pertimbangkan? Mengingat ia mengundurkan diri secara tiba-tiba dan bilang kalau mungkin saja yang Mentari alami ini...
Bukanlah kondisi psikis, melainkan karena pengaruh mistis.