Hampir lima belas menit aku berdiri seperti anjing peliharaan di depan pintu kamar Jordy. Janjinya tadi ia hanya sebentar, tapi nyatanya ia membuat kakiku keram bahkan mati rasa karena menunggunya di depan kamar.
Tahu sih, semestinya aku membiarkan saja dia melakukan kegiatan bebersihnya, atau mungkin, Aidan, si anak nakal itu terbangun, merengek minta dibacakan buku oleh Jordy. TAPI! Setidaknya Jordy bilang, kek, kalau ia masih lama. Sudah mukaku panas dan gatal karena lipstik, masih disuruh menunggu, pula.
Akhirnya kuputuskan untuk bermain handphone, mencari-cari arti mimpi buruk yang setiap malam kualami semenjak aku tinggal di rumah Jordy. Ketakutanku belum hilang. Justru, aku semakin yakin dengan apa yang Renjana katakan. Bahwa aku tidak sakit—aku diikuti oleh arwah mendiang istri Jordy. Tetapi kalau benar itu terjadi, mengapa harus aku orang yang ia pilih? Apa tidak bisa orang lain?
Hampir setiap malam dadaku sesak, nafasku tercekat. Terganggu oleh suara-suara mengerikan yang menggema di sekitar telinga. Jika aku mencoba buka mata, rasanya berat sekali, seolah ada yang ingin menutupi kedua mata ini. Kadang aku lawan, namun jika aku sangat lelah, aku memilih membiarkannya.
Dibiarkan kupikir tidak akan berbahaya. Eh, malah aku bertingkah semakin brutal. Seperti ini contohnya. Aku terbangun dengan mengenakan pakaian almarhumah istri Jordy. Aku bahkan tak ingat sedikitpun apa yang telah kuperbuat. Saksi mata utamanya adalah Aidan. Dia yang tahu apa yang kulakukan selama Jordy tak berada di rumah.
Resah dan gelisah sudah pasti membuntuti. Makanya aku segera menghubungi Renjana agar sepulangnya Jordy dari kosanku, ia bisa mempertemukanku dengan Ustadz yang katanya dapat menelaah apa yang kualami.
Sungguh, aku benar-benar mengharapkan rencana Renjana berhasil kali ini. Aku muak dengan semua obat-obatan Terry. Bukannya sembuh, tubuhku malah membal seperti bola gym. Belum lagi omongan anak kecil bernama Aidan itu yang selalu berkata bahwa aku sangat lucu seperti beruang madu. Gila nggak? Jordy memang benar-benar gagal mendidik anak. Buktinya, Aidan tidak bisa membedakan mana yang sopan dan tidak hingga aku menjadi bulan-bulanan.
“Nih.”
Shit. Malam-malam begini, mana aku baru selesai shalat tahajud, harus banget Jordy keluar dengan keadaan tidak sopan seperti itu? Tubuh atletis serta dada bidangnya ia pamerkan begitu saja kepadaku. Aurat bos! Aurat! Aku langsung menghadap belakang ketika ia hendakmenyerahkan sabun cuci mukanya.
“Ini. Ye, malah balik belakang,” gumamnya terdengar kesal.
“Bisa pake baju dulu nggak ya, Pak? Saya gak biasa ngeliatnya,” kataku cepat.
“Iya, nanti. Ini diambil dulu sabun cuci muka dan pembersihnya.” Sialaan! Dia justru kekeuh agar aku tetap berbalik badan dan harus menatap perut kotak-kotak, serta tato garangnya di lengan. Yang benar saja, shalatku bisa-bisa batal jika begini caranya.
Aku menghela nafas dalam, memohon ampunan kepada Tuhan agar aku tak dianggap zinah mata, walaupun sebenarnya sudah terjadi. Tanpa berlama-lama, aku buru-buru mengambil peralatan pembersih muka milik Jordy dan kembali ke kamar.
“Mentari,” suara Jordy sukses membuatku berhenti melangkah. Aku mematung, tak punya keberanian untuk menatapnya.
“Besok pagi jangan telat bangun,” katanya memperingatkan.
“Iya, Pak, pasti,” jawabku reflek berbalik menghadapnya. Aku antara sadar tidak sadar kala itu, ketika otakku sedang waras aku lantas menutup mata dengan tangan karena canggung melihatnya tak berpakaian. Eh, bukannya buru-buru masuk kamar, si Otoriter itu malah menguar tawa.
“Kamu kayak cakil mukanya merah begitu,” ledek Jordy. SIALAN!!!!!! Dadaku bergemuruh saat mendengarnya mengejek. Tak berbeda jauh dari Aidan anaknya yang gemar menghinaku. Ternyata benar ungkapan buah tidak jauh jatuh dari pohonnya.
Aku memilih diam, enggan menanggapi hinaannya dan melangkah meninggalkan kamar Jordy.
—