Happy Birthday Jevandra

“Kuenya ilangg!!!!”

Mobil Jevandra ngerem mendadak akibat teriakan histeris Cali. Jeritan perempuan itu membuat bahu Jevan terangkat karena syok.

“Kuenya mana? Tadi perasaan saya pegang deh. Jatuh ya?” tanya Cali dengan mata membelalak.

“Nggak usah teriak-teriak gitu. Kue hilang bisa beli lagi,” sahut Jevandra santai. Mendengar tanggapan santai Jevan, Cali mendengus. Merasa usaha antrenya berjam-jam tidak dihargai oleh sang birthday boy

“Tau gitu tadi saya nggak usah beli aja,” dumel Cali dengan bibir mengerucut. “Nggak ikhlas?” balas Jevan sinis. Cali makin keki mendengar tuduhan Jevan. Ia memilih diam daripada emosinya meledak disaat yang tidak tepat.

“Kamu ini.” Kalo dari ucapannya, Cali yakin sebentar lagi Jevan pasti akan mengomelinya. “Kue seperti itu saja kamu khawatirin, harusnya yang kamu khawatirkan itu barang pribadi kamu ini.” Jevan mengangkat sebuah dompet putih yang warnanya buluk menjurus ke abu milik Cali.

“Hah? Kok dompet saya ada di Bapak?” Gadis itu memandang Jevan dengan muka melongonya. Cute, batin Jevan.

“Pak, Bapak balik lagi ke toko kuenya?” tanya Cali lagi. Jevan mengangguk. “Astagaaa,” Cali menghela nafas. “Maaf banget ya, Pak. Jadi bolak-balik,” katanya tidak enak hati. Melihat ekspresi wajah penuh penyesalan dari Cali, bukannya mengiyakan, Jevan malah semangat untuk mengusili Cali.

“Papa marah sama kamu, karena technical meetingnya dibatalin,” bohong Jevan dengan mimik wajah serius agar terlihat meyakinkan. “Hah? Gimana dong, Pak? Marah banget Pak Dion?” Sesuai dugaan Jevan, Cali langsung berkeringat dingin. Perempuan itu lekas merogoh tasnya, lalu mengeluarkan ponselnya dari sana.

“Eh, kamu mau ngapain?” tanya Jevan saat menemukan Cali sedikit lagi menghubungi ayahnya.

“Mau nelepon Pak Dion, lah, Pak. Saya nggak enak banget sama Beliau. Sebentar-” “Jangan ditelepon, Papa kalau marah lebih nyeremin dari saya,” cegatnya sebelum Cali benar-benar menelepon sang ayah.

“Yang bener, Pak? Aduh, nggak jadi deh. Orang kayak Pak Dion kalau marah pasti menyeramkan. Mending, saya dimarahin Bapak aja deh,” kata Cali buru-buru menyimpan ponselnya.

“Kok gitu?” sahut Jevan tak terima. “Saya udah biasa dimarain Bapak,” kata Cali jujur sambil nyengir. Jevan memasang tampang datar, sedikit sedih mendengar pengakuan Cali yang membuatnya terkesan galak.

“Terus gimana dong, Pak? Nggak enak sama Pak Dion. Apa saya besok ke ruangannya aja, minta maaf sama Pak Dion,” kata Cali hampir menangis.

“Nggak bisa, besok Papa ke Singapura,” beritahu Jevan yang tentunya hanya bualan. “Terus caranya gimana, Pak supaya Pak Dion nggak marah sama saya?” tanya Cali gelisah.

“Nggak perlu dipikirin, nanti juga baik sendiri,” jawab Jevan cuek. “Ya kan Bapak anaknya, jelaslah bakalan baik sendiri,” decak Cali karena Jevan selalu menganggap enteng segala situasi.

“Papa kayaknya lebih sayang kamu daripada saya,” kata Jevan. “Ngaco!” tukas Cali masih kesal. “Terus...kuenya...” keluh Cali, merasa usaha antre selama satu jamnya sia-sia. Kuenya hilang, sudah gitu bakal kena omel dari bos besar. Nasib Cali memang selalu kurang beruntung setiap berada di sekitaran Jevan.

“Nih kuenya.” Tiba-tiba Jevan mengambil satu box besar yang sejak tadi disembunyikan Jevan saat Cali tertidur di jok belakang.

“HAH? INI ADAAAAA!” tunjuk Cali seraya menarik nafas lega. “Eh! Ini jangan-jangan Bapak beli baru? Tadi kan Bapak balik ke toko kue. Kapan, Pak?”

“Makanya jangan tidur mulu. Liat tuh liur kamu meper sampe ke baju,” ejek Jevandra sambil tertawa.

“ISH! YANG BENER AH!” rajuk Cali meronta-ronta. Jevan tergelak mendengar amukan calon istrinya.

“Ya ampunnn kirain kuenya ilang, Pak. Sampe pegel nih saya ngantriin,” gumam Cali, mengetuk box kuenya.

Lantas, ia sudahi aksinya mengerjai Cali dengan meminta perempuan itu untuk membuka kue pemberiannya. “Buka, lah.” “Pak, tapi kalo bentukannya nggak enak diliat gimana?” cemas Cali ragu.

“Udah buka aja dulu,” ucap Jevan.

“Tapi kalau bentukannya ga enak-” “Ah, kamu kelamaan!” tukas Jevan nggak sabaran, mengambil alih si kue dan ia buka sendiri.

Seperti yang sudah Cali duga, penampilan kuenya sudah tak secantik saat pertama Cali beli. Bagian atasnya meleleh karena kue ini adalah kue es krim, namun untungnya white chocolate yang bertuliskan Happy Birthday Jevandra nggak rusak sama sekali, tetap utuh seperti sedia kala.

“Tuh kan, saya bilang juga apa, sebagian kuenya udah meleleh, Pak,” gerutu Cali.

“Yang penting edible, kecuali udah basi. Cuma mencair doang, nggak masalah,” ujar Jevan sembari mengelap lelehan es krim itu menggunakan tangannya. Sementara si pemberi kue alias Cali melongo. Ia cukup heran dengan perubahan sikap Jevandra yang drastis. Bukankah Jevan tak suka? Bukankah Jevan tidak pernah menerima pemberian seseorang?

“Thank you for the birthday cake,” ucap Jevan tersenyum. Wajahnya tetap terlihat tampan meski hanya disinari oleh lampu mobil yang remang-remang.

“Bap...pak suka?” tanyanya heran. “M-maksudnya nggak jijik gitu sama kuenya?” “Kapan sih kamu berhenti sarkas sama saya?” desis Jevan dengan muka datarnya.

“Saya nggak sarkas!” Cali berkilah. Padahal dalam hati ia mengiyakan sambil merutuki dirinya berkali-kali yang paling nggak pandai menjaga kebiasaan julit-nya di depan orang.

“Kalau yang ngasih kamu, saya terima,” ucap Jevan sembari meletakkan satu tangkai lilin, kemudian menyalakannya. Entah mengapa Cali tak kuasa menahan senyum ketika Jevan berkata demikian. Lantas, perempuan itu melirik sekilas ke Jevan yang sedang bersiap meniup lilinnya.

“Kata Pak Dion, Bapak...nggak suka dirayakan ulang tahunnya,” ujar Cali, menatap Jevandra dari samping.

“Mulai sekarang, saya mau ulang tahun saya dirayakan.” Mata Cali membulat ketika Jevan berucap demikian, tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

”...Asal ngerayainnya berdua sama kamu, begitu seterusnya.” Usai melanjutkan ucapannya, lelaki itu meniup kue ulang tahunnya. Cetusan Jevan menuai senyum lebar pada wajah Cali.

“Happy birthday, Pak Jevan,” Cali memberi ucapan tulus sambil bertepuk tangan. Lalu ia mengarahkan tatapannya kepada sang calon suami, lega karena usahanya tidak sia-sia kala menemukan raut wajah Jevan menunjukkan binar hangat.

“Angel,” panggil Jevan usai ia merapihkan kembali kue yang dibeli Cali ke dalam boxnya.

“Ya?” jawab Cali.

Tanpa aba-aba, Jevan langsung memeluknya begitu erat, bahkan bisa lelaki itu tidak ragu mengelus punggungnya pelan. Jujur, Cali cukup heran dengan sikap hangat Jevan malam ini. Ia seperti bepergian dengan kembaran Jevan, ketimbang Jevan yang asli. Tapi mau bagaimanapun, Cali tetap mensyukurinya. Lelaki itu perlahan mulai meninggalkan arogansinya dan mau menerima pemberian orang lain. Bagi Cali perubahan Jevan ini harus dimuseumkan karena sangat langka.

Ia tak punya nyali untuk membalas peluk Jevan, jadi ia biarkan tangannya menggantung disela-sela peluk lelaki itu. Kedua pipi Cali seketika bersemu merah tanpa ia perintah. Peluk Jevan yang pertama ia rasakan benar-benar terasa hangat, sangat jauh berbeda dari kepribadiannya yang dingin dan galak. Makin lama rengkuhan Jevan padanya makin erat, mengizinkan Cali untuk menyesap aroma tubuh Jevan yang khas dalam-dalam. Aroma yang menurut Cali sangat candu, walau dia tidak terlalu suka parfum yang aromanya maskulin.

Masih dalam posisi yang sama, Jevan berbisik di telinga Cali, “Ini pertama kalinya saya merayakan ulang tahun. Tahun depan ngerayainnya sama kamu lagi, ya?” Lelaki itu mengakhiri tatapannya pada pada kedua manik mata Cali. Begitu lekat.

Cali langsung menganggukkan kepalanya yang masih ia letakkan di atas ceruk leher Jevan. Usai menerima dekapan pertamanya dari Jevan, timbul keinginan Cali untuk terus berada di sisi laki-laki itu. Selamanya.