“HEHEHEHE, Mamah, haloooo!” Idan melambai tangan padaku sambil cengar-cengir. Tapi yang jadi sasaran utamaku di pagi hari itu adalah laki-laki yang sedang sibuk merapihkan baju kaus putihnya. Siapa lagi kalau bukan Jordy Otoriter Hanandian.

“Dan, Idan bobo ya. Mamah mau jawil Papi dulu,” kataku pada Idan yang sibuk menggambar di iPad-nya di jok belakang. Sedang Jordy yang terang-terangan tahu kesalahannya hanya diam sambil menahan tawa penuh kemenangannya.

“Ga lucu!” Aku cemberut. Si pembuat masalah itu terbahak seketika, tangannya menjalar ke puncak kepalaku, mengusaknya pelan.

“Aku mau catokan hari ini, awas kalo kamu ngacak rambutku!” Aku memukul telapak tangannya sekeras mungkin, tapi dia dengan cepat menangkap tanganku, menyatukan jariku dan jarinya di antara celah jemari kami.

“Mas...”

“Welcome back, Mamahnya Idan,” ujarnya sembari membawa tanganku ke dadanya, ujung jemarikupun tak luput dari kecupan bibirnya.

“Nyebelinnnnn!” Aku mencibir pada Jordy, dia tertawa lagi.

“Kalo nggak ditungguin gini, sampe kapan tau kamu bakal netep di Yogya,” celetuknya sambil tersenyum.

Aku tak menampik sangkaan Jordy, karena sejak aku kembali ke sini, aku berencana melupakan Jordy seutuhnya. Aku bahkan sampai bersumpah-sumpah untuk tidak akan mengangkat telepon dari Aidan. Namun kegigihan Jordy seakan mematahkan kerasku kemarin. Kupikir dia hanya ingin bersendagurau dengan perasaanku. Tetapi sejak tadi lelaki ini tak henti-hentinya berdebat dengan Aidan memperebutkan siapa yang lebih berhak menggenggam tanganku.

“Idan mau duduk di depan sama Mamah! Idan mau gandeng tangan Mamah!” Alis Idan bertaut kesal saat ia melirik Jordy menggenggam jariku.

“IDAAAAN!” jeritnya.

“Idan, Idan, nggak boleh gitu sama Papi. Nanti gantian.” Aku menegur Aidan saat suaranya memecah sunyi dalam perjalanan kami, tapi disela-sela aku mencoba menenangkan tantrum anaknya, Jordy malah membuatku naik pitam.

“Papi menang, Idan kalah. Papi duluan.”

“HUAAAAA!”

Aku melirik sengit Jordy yang menunduk ketika Aidan menangis. “Kamu ya, bener-bener! Udah dibilang jangan digangguin anaknya, malah digodain.”

Aku kembali fokus pada Aidan yang berpindah ke tempat dudukku. Ia membenamkan kepalanya di dadaku sambil berusaha meredam tangisnya.

“Mamaaaaah, Papi nakaaaal!” adunya.

“Alah kamu tuh Dan, kayak apaan aja ngadu sama Mamahnya. Cuma dipinjem bentar doang aja ngambek.”

“Mamahnya Idan!” sengit Aidan mendorong tangan Jordy dari tanganku.

“Istri–” Jordy menahan napas, ucapannya terhenti di sana karena status kami yang tak lagi sama.