Helpless
“Jor, aduh! Lo kenapa lagi deh?” Keluhan Teza pagi hari di kantor menyambut kedatangan Jordy, lelaki itu memandangnya miris—seakan tahu jika sesuatu tengah menimpa Jordy.
“Emang anak-anak kenapa lagi?” Enggan menanggapi pertanyaan Teza, Jordy mengalihkan topik. “PPM udah beres, tinggal casting pemain, itu Renjana, kok belum ngabarin gue ya?”
“Ya elo semaleman ditelepon aja kagak mau ngangkat,” desis Teza kesal, iapun berpindah ke sofa empuk di seberang meja Jordy. Netranya kini bergulir pada si bos yang tiada henti menghela nafas.
“Harusnya lo happy dong, kan ayang udah mau ikut ke Jakarta,” gurau Teza yang dihujami Jordy dengan sorot mata dingin.
“Oh...belum ada keputusan? Lagian lo ngapain cere–”
“Morning!” Belum sempat keduanya melanjutkan omongan, pembicaraan mereka terhenti sejenak. Jenan, dari arah pintu menyapa Teza dan Jordy dengan senyuman lebar.
“Widih, widih, back to the club nih bro! Persadu, jaya, jaya, jaya!” Ia bersorak kegirangan, namun tangannya langsung ditepis kasar oleh Jordy.
“Mutung ae mukaaa lo, Jor.” Tawa Jenan melebar saat ia sadar Jordy merengut.
“Emang setelah dia Bapak-bapak komplek, Je. Kayak nggak paham aja lo,” tambah Teza dengan cengiran lebar. Jenan tersenyum tipis, mendekati Jordy yang menenggelamkan diri pada skenario baru di laptopnya.
“Don't worry, Jor. In the end of times, she will choose you, kok.”
Entah Jordy yang malas menanggapi atau merasa dukungan itu hanya sebatas sarkas, lelaki itu memilih tak memberi respon apapun atas hiburan Jenan. Ia sendiri ragu jika Mentari akan kembali padanya, sebab sudah seharian ini Mentari enggan mengajaknya bicara. Saat semalam Jordy diam-diam pindah dan ikut tidur di kamar Aidan, Mentari saja langsung menyuruhnya keluar. Dia masih berkeras diri, dan enggan membahas apapun dengan Jordy.
“Ri,” bujuk Jordy pelan agar tak membangunkan Aidan yang terlelap.
“Sana, ah!” sahut Mentari, menepis tangan Jordy di atas pinggulnya.
“Aku udah bilang, aku nggak mau tidur sama kamu,” keras Mentari. “Jangan ganggu aku.” Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Jordy. Lelaki itu menunduk pedih, merenungi perbuatannya yang secara tidak sengaja menyakiti Mentari untuk kesekian kali. Tangannya terjulur untuk mengelus pundak mantan istrinya, namun kerasnya keteguhan Mentari, serta mendengar perempuan itu tak lagi menangisi dia, Jordy semakin hancur. Ia sadar dengan segala tindak tanduknya, sikap dingin dan ucapannya yang selalu menyakiti sang puan—membuat Mentari semakin menjauh darinya. Dia sangat menyesali perbuatannya.
“Saya keluar aja?” “That's better,” jawab Mentari spontan.
“Saya bener-bener minta maaf.” Jordy melirih sungguh-sungguh, dan setelah ia berkata demikian, Mentari tetap tidak menjawab apapun yang ia katakan. Ia diam dan menunggu Jordy meninggalkan kamar Aidan.
“Beneran, nggak mau liat saya?”
“Tolong, Mas. Jawaban tegas yang mengalun dari bibir Mentari makin membuat Jordy terdiam. “Kamu minta aku pulang ke sini karena Aidan. Jadi ya udah, gitu aja.”
“Ri, tapi saya bener-bener lupa. I didn't mean to hurt you, saya cuma pengen kamu kembali ke rumah ini dengan perasaan yang lebih enak.”
“Lebih enak?” Mentari mendengus kesal. “Enak karena kamu pengen aku sama kayak Mbak Kirana, gitu maksudnya?”
Jordy diam. Ia benar-benar tak ada maksud untuk berbuat demikian, tapi karena terburu oleh pekerjaan dan proyek lain, pikirannya terpecah. Yang Jordy ingat, Mentari sering menggunakan sprei ini untuk kamar Jordy. Jadi ia pikir, Mentari menyukainya.
“Kamu tau, Mas?” Suaranya mulai terdengar parau. “Aku make sprei ini... karena kamu bilang Mba Kirana suka sprei ini...”
”...Kamu minta aku selalu pasang sprei ini karena dengan begitu kamu ngerasa Beliau ada di samping kamu, dan itu membuat kamu lebih tenang.”
“Ri, saya nggak pernah ngomong gitu...”
“Pernah!” tukasnya. “Kamu nggak ingat karena kamu ngomong gitu di hari pertama kita resmi jadi suami istri, dan kamu dalam keadaan mabuk.”
Jordy semakin menunduk saat Mentari membuka luka lamanya sendiri. Ternyata, selama itu Mentari menderita dan tersiksa karenanya. Ternyata, selama itu Mentari mempertahankan perasaannya sendirian. Dan selama itu pula Jordy tidak menganggap segala usaha yang Mentari lakukan padanya.
”...Dari awal aku udah bilang, aku nggak berhak menentukan siapa yang pengen kamu cintai. Sampai kapanpun, aku tau kamu nggak akan pernah sayang sama aku, Mas Jordy.”
”...Jadi udah, ya? Udahin semua, aku juga nggak bisa ngeliat kamu maksain diri buat sayang sama aku. Apapun yang kita lakuin karena terpaksa, yang ada kita sama-sama nyakitin Aidan. Aku nggak mau usaha kamu untuk Aidan sia-sia, dan itu juga yang ngebuat aku mau kembali ke rumah ini. Berhenti nyiksa diri kamu sendiri kalau emang gak bisa. Aku nggak mau,” kata Mentari sambil terisak pelan.
“Ri, saya sayang sama kamu. Saya cinta sama kamu, Ri. Saya tau saya terlambat nyadarin semuanya, tapi jangan berpikiran kayak gitu.”
“Aku nggak mau debat panjang,” perempuan itu memilih tak memedulikan Jordy. “Kalau kamu mau tidur sama Aidan silakan, aku tidur di kamar tamu.” Ia lalu beranjak dari ranjang usai menyelimuti Aidan dan Jordy.
“Ri.” Jordy menahan. “Apa?” sahutnya ketus.
“Apapun yang kamu bilang tadi, saya nggak peduli. Saya maunya cuma kamu, nggak ada yang lain.”
“Udahlah, Mas!” Mentari menepis tangan Jordy kasar. Sorot mata perempuan itu terlihat penuh amarah, namun dibalik semuanya kekecewaan mendalam betul-betul terpancar dari sana. “Sulit buat aku nerima kamu lagi.”
Ia lantas meninggalkan Jordy menuju kamar tamu.
—