She Literally Deserves This

Jangan tanyakan betapa pusing dan kagetnya saya saat mendapati Aidan menangis kejar secara tiba-tiba. Saya pikir ia jatuh dan terkilir, ternyata alasannya cukup sederhana.

“Mamah dibilang jahat sama orang-orang!” lantangnya begitu saya menghampiri. Mentari memang pernah cerita sejak insiden foto Kirana disobek oleh teman-teman sekolahnya, segala yang berhubungan dengan ibunya membuat Aidan menjadi lebih sensitif.

Ia tak pernah suka jika orang tuanya dihina, termasuk Mentari—surganya.

Dalam dekapan saya Aidan masih berkeluh, sementara saya dalam diam berpikir keras mengapa Mentari tutup mulut perihal ini.

Padahal kalau saya baca, kata-kata yang dilontarkan fans Kirana dan saya begitu menyakitkan. Wajar bila Aidan sampai menangis, tapi Mentari begitu rapat menyembunyikan hal ini dari saya, entah apa alasannya.

Ia kembali dari toilet setenang biasa, malah jauh lebih mengkhawatirkan Aidan daripada anggapan-anggapan buruk tersebut.

“Mamaaaaah, Mamah bukan orang jahat...Mamah orang baik, Idan nggak jadi minta mekdi lagi...” isak Aidan sembari mendusalkan kepala ke perut Mentari.

“Idan, Idan kenapa?” tanya Mentari heran. Namun jelas air mukanya sangat terharu, ia tampak menahan air matanya.

“Kamu tau kan, Aidan nggak suka ibunya dihina-hina,” jawab saya, mengembalikan ponsel itu pada Mentari. Pada saat yang sama, air mukanya terlihat sedikit kalut dan panik, tak mau saya tahu tentang hal ini.

Mentari sengaja mengalihkan perhatian saya dengan usapan punggung pada Aidan. Namun sayang, semakin ia berusaha melakukannya, saya semakin yakin bahan omongan tidak mengenakan itu benar-benar menghancurkan mentalnya.

Tapi yang namanya Mentari, selalu berusaha menyembunyikan sedihnya dari saya.

“Dan, Mamah nggak kenapa-napa kok. Udah, jangan nangis lagi ya? Makasih udah belain Mamah. Mamah sayang Idan.”

Makasih udah belain Mamah.

Tepat tiga kali Aidan memberi tamparan keras untuk saya.

Selama menjadi suami Mentari, tak ada satupun pembelaan saya lakukan untuk Mentari.

Malah saya yang melukainya lewat jebakan Gabriella dan momen penghargaan Sutradara Terbaik itu.

“Idan kalau gini, nanti Mamah sedih. Nggak apa-apa, Mamah kan kuat kayak Idan,” bujuknya terus-menerus.

“Nih, Mamah senyum. Iiiiii.” Ia memperlihatkan barisan gigi putih berserinya. Sayang, semakin Mentari berpura-pura seperti itu, saya makin paham betapa hancur perasaannya karena omongan pecinta gosip tersebut.

“Sini sama Mamah,” katanya, merentangkan tangan. Dan tentu, Mentari yang seperti magnet untuk Aidan, dengan mudah menyurutkan sedih dalam benak anak itu. Ia kembali ceria, kemudian berpindah gendongan ke Mentari.

“Idan makan ya?” ujarnya. Aidan mengangguk. “Mau makan apa?” tanya Mentari selanjutnya.

“Bubur ayam, gak jadi mekdi.” Mentari melirik saya sungkan, mengingat ini sudah jam sepuluh malam, ia yakin tak akan ada yang jualan bubur ayam selarut ini.

“Kalau kita makan yang lain aja—” katanya menawarkan makanan lain pada Aidan.

Gosh, kenapa Mentari selalu mengalah terhadap saya?

“Ada, Ri. Deket rumah kok bubur ayamnya. Kita makan di sana aja.” Saya memotong ucapannya cepat, sekaligus memberi kecupan di puncak kepala Mentari sebagai rasa terima kasih saya selama ini telah menjaga dan mengurus Aidan dengan sangat baik.

She literally deserves this.

Dan mulai saat ini dan seterusnya, saya tidak akan akan membiarkan Mentari mengalah, harus saya sebagai suami dan kepala keluarga.