His Dad Was Everything
“Papiiiiii!” Aidan membuka pintu setibanya ia dan Mentari di rumah. Namun lelaki bertubuh tinggi itu justru menghiraukan panggilan putranya. Pandangannya tertuju pada perempuan di belakang Aidan.
“Dan, masuk kamar,” tegas Jordy ketika anak itu baru saja meletakkan tas.
“Pi...”
“Sekarang!” Suaranya meninggi, pertanda seorang Jordy sedang tak ingin dibantah. Aidan mau tidak mau menuruti perkataan ayahnya, ia menyeret kakinya untuk masuk ke kamar. Di depan sudah ada Erna yang siap menenangkan Aidan agar tak terlalu memikirkan pertengkaran pasutri baru itu.
“Dan, sini, Mbak Erna udah masak nugget kesukaan Idan. Makan sama Mbak Erna aja ya?” bujuknya seraya menggandeng lengan anak dari tuannya.
Sementara perempuan di hadapan Jordy itu membisu. Ia tak lagi punya tenaga untuk bertengkar dengan suaminya, meski tahu hal ini pasti terjadi.
“Dari mana aja kamu, baru pulang jam segini?” tembak Jordy dengan tangan terlipat. Memandang cara dandan Mentari, lelaki itu bergerak mendekati. Dengan ibu jarinya, ia menghapus lipstik merah gelap yang membubuhi lipstik istrinya.
“Yang kamu bawa itu anak saya! Apa-apaan kamu pake lipstik dan pakaian Kirana kayak gini? Saya kan udah bilang, jangan dateng ke sekolah. Kenapa kamu dateng?” bentak Jordy tanpa ampun. Puannya menghela nafas, hilang sudah rasa lapar yang menjera dirinya sedari tadi. Melihat murka pada sang suami, Mentari cuma bisa menundukkan kepala dan kembali meminta maaf. “Maaf, Mas. Aku—”
Ia menahan segala ucapannya dengan tercekat. Tahu betul jika suaminya tak akan percaya dengan apapun yang ia ceritakan, Mentari memilih menyimpannya sendiri. “Aku minum obat dulu, maaf ya.”
“Saya belum selesai bicara, Mentari. Aidan ngapain lagi di sekolah?” tanya Jordy dengan napas memburu. “Idan! Sini, turun!” teriaknya kemudian.
Mentari menggelengkan kepala. Ia tahu mungkin setelah ini, Jordy akan tambah membencinya atau bahkan dalam satu bulan menikah, Jordy bisa saja menggugatnya di pengadilan. Namun anak lelaki yang tak lahir dari rahimnya itu berhak mendapat keadilan. Mentari sudah cukup tersiksa jika Aidan terus-terusan ditegur ayahnya meski ia tidak melakukan kesalahan.
“Mas, kamu mau ngapain sih? Udah, biarin Idan istirahat aja,” bujuk Mentari masih dengan nada tenang, tapi Jordy segera menepis omongan istrinya.
“Kamu terlalu manjain dia, kan? Liat, sekarang Idan makin nakal, makin nggak bisa dikasih tau!” sengit Jordy.
“Kamu nggak tau kan Idan diapain?” Mentari menyamakan kedudukan.
“Apalagi kalau bukan mukul temennya. Dia apa-apa gak pernah mikir kalo ngelakuin sesuatu!” rutuk Jordy kesal. Emosinya makin tersulut, ia menarik kasar ponselnya hendak menelepon Erna untuk menyuruh Aidan turun.
“Ern—” Jordy nyaris melotot kala Mentari mendorong tangannya. “Kamu ngapain sih?!” Jordy berteriak kencang.
“KAMU TAU NGGAK, FOTO MBAK KIRANA DIHANCURIN TEMENNYA!” Mentari yang saat itu sebenarnya sangat lelah dan tak ingin bertengkar, pada akhirnya mengibarkan bendera. Ia tahu mungkin berat baginya untuk menerima Jordy masih menaruh hati pada mendiang Kirana, namun kali ini sikap Jordy yang selalu arogan terhadap Aidan membuat Mentari gerah. Anak itu tidak salah, yang kejam adalah dunia di sekelilingnya. Jordy? Dia mana mau tahu tentang itu.
Sejak menikah dengan Mentari, Jordy benar-benar menyerahkan urusan Aidan kepadanya. Mulai dari buku pelajaran, menemaninya mengerjakan tugas, hingga membuat bekal untuk bocah itu. Mentari tidak keberatan sama sekali, karena ia sangat menyayangi Aidan meski anak itu tidak lahir dari rahimnya. Tetapi, bolehkah sekali saja Jordy memikirkan Aidan? Bukan hanya tau membiayai hidup anaknya dan merasa paling berjasa karena menyekolahkan Aidan sampai perguruan tinggi kelak.
Mentari begitu paham akan kerinduan Aidan. Bahkan, sebenarnya pernikahan ini tak perlu terjadi apabila Jordy menyadarinya dari awal.
Aidan cuma membutuhkan kasih sayang dan perhatian ayahnya. Dia tak akan butuh Mentari jika saja teman-teman di sekolahnya berhenti merundung. Aidan ingin seperti anak lain, mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Namun laki-laki dengan ego besar seperti Jordy tak akan pernah mengerti. Ia hanya terus menyibukkan dirinya dalam pekerjaan. Dua puluh empat jam penuh, Jordy habiskan di depan laptop. Memeriksa naskah, atau meeting dengan para investor film. Jarang sekali lelaki itu menyapa anaknya, mengelus rambut Aidan sebagai bentuk kasih sayang. Mengapresiasi Aidanpun tak pernah terdengar sekalipun oleh Mentari. Hal ini membuat perempuan itu berkaca pada masa lalunya, yang beda—Mentari tak pernah merasakan kasih sayang itu dari ibunya yang telah berpulang.
Nafas Jordy tercekat saat Mentari menitihkan air mata.
Meski bukan pertama kali puannya ini menangis di depannya, namun kali ini buliran kristal itu cukup mengguncang Jordy.
Belum pernah Jordy melihat perempuan setenang Mentari menampilkan amarahya, selama ini semua itu Mentari simpan sendiri. Atau jangan-jangan kemungkinan yang paling Jordy takutkan terjadi.
Jenan mengetahui kisah kelam Jordy dan Mentari setelah tiga bulan mereka menikah.
Gemuruh di dada Jordy bertabuh, ingin segera ia hampiri Jenan dan memukulnya hingga berdarah. Namun satu ucapan Mentari yang menghentikan pikiran piciknya, “Idan nyontoh kamu, Mas. Kamu pakai emosi, dia juga. Kamu pake fisik, dia juga. Karena apa dia gitu? Karena dia sayang sama kamu. Apapun yang kamu perlihatkan, dia bakal ikut, karena buat Idan, kamu segalanya.” Mentari berjalan menjauh dengan menyeka sisa air mata yang tertinggal. Di hadapannya kini terlihat Aidan yang berlari ke arahnya, memeluk Mentari kuat sambil terisak, “Idan mau bobo sama Mamah, Idan takut bobo sendiri. Idan takut sama Papi....”
Jordy memandangi putranya dengan nafas tercekat. Perlahan ia mencoba mendekati putranya, namun lekas Aidan merapatkan peluknya pada Mentari, “Idan enggak mau sama Papi. Idan mau sama Mamah.”
Kala langkah kecil Idan mengikuti jejak Mentari, Jordy menunduk penuh penyesalan.