I am Fool
Regina menghentikan motor scoopy merah mudanya di depan sebuah kafe kecil di dekat tempat sablonan. Entah apa yang mendorong perempuan berbaju sleeves biru muda itu untuk ke sana. Pikirannya kacau balau, perasaannya juga tak menentu. Ia hanya ingin menenangkan diri. Pertama karena Biel, kedua karena Della, dan yang terakhir...
Xavier.
Regina tidak pernah menyangka dari ketiga orang yang kini memenuhi kepalanya, yang paling membuatnya kesal sampai uring-uringan adalah yang terakhir. Padahal, Xavier orang baru di hidup Regina. Tetapi sekali saja lelaki itu berubah, Regina amat marah.
Marah bukan kepada Xavier, tapi ke dirinya sendiri. Ketika tadi Regina membaca pesan Xavier, silakan, pulang sendiri, seketika amarah Regina berapi-api dalam kepalanya. Panas tubuhnya seolah menyeruak hebat, hingga membuatnya tak berhenti mendumel.
“Gila ya tuh orang?” ocehnya kesal. “Wah! Gue kira dia baik sumpah, gak taunya kayak tai!”
Mungkin sudah lebih dari empat kata serapah yang keluar dari mulut Regina. Ia reflek membayangkan senyum penuh kemenangan yang tergurat di wajah Xavier. Dia pasti sangat puas saat ini, karena berhasil merusak pertemanannya dengan Della. Namun di lubuk hati Regina yang terdalam, ada sesuatu yang membuatnya ragu akan sikap Xavier. Bisa jadi ia bersikap demikian karena permintaan Regina beberapa menit lalu.
Regina meminta Xavier menjauhinya, tapi mengapa saat lelaki itu mengabulkan keinginannya, batin Regina bergejolak hebat. Dia membencinya. Dia kesal namun tak punya tempat untuk mengadu. Itulah mengapa kini ia lampiaskan pada dua kopi yang ia pesan.
Sengaja, Regina memesan Americano yang terkenal paling pahit, sepahit kenyataan hidupnya hari ini. Perempuan itu meraih ponselnya dengan harap emosinya segera teredam. Namun alih-alih membaik, Regina makin kesal saat membuka snapgram whatsapp. Della menyindirnya di sana. Padahal tadi perempuan itu bilang, ia telah memaafkan Regina.
Permainan apaan sih ini? gerutunya sembari mengerutkan dahi. Ingin rasanya Regina meminta penjelasan dari Della, tetapi ponselnya tiba-tiba menjerit kencang. Tertera nama Xavier disana.
“Apa?” balas Regina ketus.
“Keluar.” Tanpa nada lembut, Xavier memerintah Regina seolah dia adalah kacungnya.
“Gue bukan kacung lo, anjing. Ngomongnya bisa baik-baik nggak?” balas Regina nyolot.
“Keluar atau gue tinggal.” Lelaki itu membalas dua kali lebih menyebalkan dari yang Regina duga. Mau tidak mau, daripada jadi tontonan publik, Reginapun keluar. Menggeret malas kedua kakinya menuju pintu.
Xavier dengan mobil Rubicon-nya bertengger manis di halaman parkir. Regina mematung. Entah mengapa kejadian itu membuatnya teringat pada sang kekasih, Biel. Setiap mereka bertengkar hebat, Biel tidak pernah menjemputnya. Cowok itu pergi tanpa mengucap kata. Cowok itu mengacuhkan Regina yang menangis karenanya. Luluh lantah dengan hati pilu dan terluka.
He's so different from Gabriel. Sebuah bisikan berkata dalam hati Regina. Xavier yang notabene-nya bukan siapa-siapa dalam hidup Regina. Asing. Datang tanpa permisi kepadanya. Bahkan disaat keduanya terlibat pertengkaran kecil seperti tadi, lelaki itu berada di sisinya. Menunggunya tanpa mengeluh.
Dari situ, Regina menyadari bahwa she's such a fool for love. Dan ia berpikir jika suatu saat Della mendapat kesempatan yang sama dengannya, berada di posisinya sekarang, ia pasti akan sakit hati.
Egois ya?
“Jadi gak, Xav?” Satu suara terdengar dari seberang. Hazel. Teman baik Xavier, sekaligus wakilnya di kepengurusan OMK menghubunginya, karena ia telah berjanji untuk pergi bersama-sama menikmati masa muda di sebuah klub malam.
“Jadi, maleman ya. Kan gue bilang jam sepuluh,” kata Xavier. “Ck! Edrigo soalnya udah otw kesana, Xav.”
“Lah? Baca grup deh.”
“Lo emang dimana sih njir?” potong Hazel penasaran.
“Gue di kafe yang deket gereja.”
“Si anjing malah ngopi, orang tar malem mo minum,” decak Hazel.
“Nggak ngopi,” ralat Xavier.
“Lah terus lo ngapain? Jaipongan lo di dalem?” sarkas Hazel, meski tahu jika tujuan sahabatnya ke sana sudah pasti bukan untuk cuci mata ke perempuan lain. Soalnya... Xavier bukan dirinya yang genit dan suka curi pandang ke perempuan cantik. Yang ada, kalau Xavier jalan dengan dirinya dan ketiga temannya yang lain, justru ketiga temannya inilah yang bernasib naas. Pasalnya, semua mata seluruh gadis akan tertuju pada Xavier seorang.
“Gue jemput Regina,” kata lelaki itu enteng.
“Tetep yeeeeeee,” komentar Hazel pasrah.
“Disuruh gue sama nyokapnya. Sampe nangis anaknya nggak balik-balik,” papar Xavier memberi alasan.
“Waduh, gebetan lo diapain sama pacarnya sampe jadi en-empat-ce-ka-el?” gurau Hazel, tertawa puas.
“En-empat-ce-ka-el apaan?”
“Nachkal bedon!” perjelas Hazel tertawa. “Susah nih, kalau lagi bulol Pak Ketua mendadak blo'on.”
“Geblek lo ah,” kekeh Xavier seadanya, lalu sedetik kemudian saat Hazel bersiap meluncurkan lawakan berikutnya, tau-tau Xavier memutus sambungan telepon itu. Netra Xavier yang tadi masih terfokus pada layar ponsel, kini mengedar pada seorang perempuan yang berlari kecil menuju mobilnya. Ketika perempuan itu berdiri dengan tampang lesu, sang puan mengetuk kaca mobil Xavier sambil menekuk mukanya.
Xavier tidak berkata apa-apa, melainkan segera menekan tombol pembuka pintu di mobilnya, membiarkan si pembuat masalah masuk ke mobilnya dalam hening.
“Lho? Cowok lo mana, Gin? Tadi katanya pergi sama-sama?”
Ditanya seperti itu Regina enggan menjawab, muak rasanya dengan ledekan Xavier yang menaikkan tekanan darahnya. Jadi, ia putuskan untuk tidak terpengaruh dengan menutup mulutnya rapat-rapat, enggan menjawab sarkasan Xavier. Ia hanya langsung meletakkan tasnya di atas dasbor mobil laki-laki itu.
Beberapa detik setelah mobil Xavier melaju, Regina baru ngeh, jika tasnya ia letakkan di atas dasbor. Mengingat tadi Xavier sempat menegur Della, iapun tidak mau hal itu terjadi padanya. Malas sekali kalau sudah diledek kayak tadi, lalu masih diomeli oleh nyinyirannya. Alhasil, Regina mengambil kembali tasnya dan ia letakkan di bawah kaki.
“Kok dipindah?” tanya Xavier, menoleh ke Regina.
“Gue males dengerin lo ngomel,” sahut Regina datar.
“Oh,” gumam Xavier singkat, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada jalan raya yang lumayan ramai. Tapi... Regina dapat melihat jelas jika laki-laki itu tak lagi meletakkan tangannya di atas perseneling.
“Misi.” Lelaki itu berkata singkat saat merogoh sesuatu di bawah kaki Regina. Rupanya Xavier mengambil tas Regina. Dan...
ia letakkan di atas dasbor mobilnya, hingga sepasang mata bulat milik Regina membulat sejadi-jadinya, menerka apa maksud dari perlakuan Xavier barusan.
:)
“Gina, ya Tuhan! Kamu kemana aja? Mama nelepon kamu, telepon pacar kamu itu si Gabriel, nggak ada yang angkat seorangpun.”
Sesampainya Regina di depan rumahnya, Felicia, ibu Regina menyambutnya dengan tampang khawatir. Mata wanita itu sampai terlihat bengkak. Ia menghambur peluk pada Regina erat-erat.
Yang menerima peluk hanya bisa membeku. Rasa bersalah yang tadi sempat tak terlintas, mulai menghantam benak Regina. Terlebih mendapati sang ibu yang ternyata menangis hebat karena Regina hilang kabar.
“Gina...hmmm....data internet Gina abis, Mah.” Hanya itu yang meluncur pelan dari bibir Regina. Ia terlalu lemah dan tak ingin membuat ibunya semakin hancur kalau tahu hari ini Regina melalui hari yang berat.
“Ya udah-udah, lain kali bilang sama Mama ya, kalau mau pulang terlambat. Untung ada Xavier yang bisa mama minta tolongin.” Felicia menatap Xavier yang berdiri di belakang Regina. “Ayo, bilang makasih sama Xavier udah dianterin,” suruh Felicia kemudian.
Regina terpaksa menghadap Xavier. Senyum yang ia tarik terkesan canggung. Bahkan, kedua netranya melirik ke arah lain, sengaja karena kepalang malu gara-gara kejadian tadi.
“Makasih,” ucap Regina singkat, lalu tanpa mengantar Xavier keluar, ia berlari masuk ke rumah.
“Aduh, Xavier. Maafin Gina ya. Dia tuh kalo malu suka ngacir. Eh, tapi dia nggak kayak gitu lho kalau lagi sama Biel. Malah biasa-biasa aja...”
Xavier bergeming. Entah mengapa saat ibu Regina menyebut nama kekasih Regina, sedikitnya ia merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan, bukan perkara cemburu. Tapi Xavier betul-betul curiga dengan gelagat pria itu, terutama setelah waktu itu ia digeber oleh Biel. Terlihat jelas jika Biel kurang menyukainya.
“Iya, Tante. Nggak apa-apa,” ucap Xavier sopan.
“Biasanya Regina kayak gitu kalau dia deg-degan. Atau jangan-jangan...” Felicia memutus kalimatnya. “Dia naksir kali sama kamu, Xav?”
Mata Xavier sontak melebar. Ia tidak mau membuat keputusan yang salah hanya karena dugaan ibu Regina. “Nggak, Tante. Kita cuma temen aja kok. Regina kan udah punya pacar.”
“Hati orang, Xav...siapa yang tahu. Hahaha,” gurau Felicia. “Eh, Xavier, ayo mampir yuk. Tante baru masak loh. Ayam goreng kayak yang di upin-ipin.”
“Hmm...maaf Tante. Saya ada janji sama temen-temen saya. Kapan-kapan saja ya, Tante. Saya pamit pulang dulu,” pamit Xavier.
“Oh begitu. Ya udah kapan-kapan ke sini sama Lingling, Anna dan Darius ya, Xav.”
“Iya, Tante. Nanti saya bilangin ke Mama dan cici-koko. Saya pamit dulu, Tan.”
Lantas setelah percakapan singkat itu, Xavier membalik tubuhnya kemudian berlalu meninggalkan rumah Regina. Sementara sang puan diam-diam mengintip dari balik jendela rumahnya. Senyum kecil pelan-pelan mulai terlukis di wajahnya.
Kenapa bukan Xavier ya orangnya? gumam Regina dalam hati kecilnya.