I Did It Again

Semilir angin sejuk menyapa seketika netraku terpaku pada sebuah pigura besar yang menampilkan foto seorang perempuan yang rupanya sangat familiar bagiku. Perempuan itu kuyakini adalah Kirana, almarhumah istri Jordy yang beberapa hari lalu muncul dalam mimpiku. Rupa anggunnya, senyum lembutnya benar-benar persis yang kulihat di mimpi.

Aku menyapu lenganku sendiri untuk menghangatkan badan, karena tak kuasa menahan dinginnya ruangan Jordy.

Namun saat kulirik berapa temperaturnya, kenapa.. dua puluh enam derajat? Bukankah seharusnya temperatur segitu hangat, ya? Ini kenapa..aku malah merasa kedinginan? Atau memang aku yang kurang sehat?

Bosan menunggu kehadiran Jordy dari meetingnya, kuputuskan untuk mengalihkan fokusku pada beberapa titik di ruangan Jordy. Tapi semuanya penuh dengan foto Kirana dan seorang anak lelaki berwajah imut. Pasti dia Idan, anak laki-laki Jordy yang sempat ditanyakan Renjana padaku.

Hahaha, Renjana aneh-aneh saja. Bertemu dengan Idan saja belum pernah, bagaimana bisa aku menyebut namanya? Aku baru tahu nama anak itu Idan dari mulut Renjana, jadi, sangat tak masuk akal jika Renjana bilang aku mengenal Idan.

Masih dalam posisi yang sama, berdiri bak orang dungu di depan meja Jordy, pandanganku kembali terarah pada foto Kirana. Dia cantik sekali. Terlihat jelas bahwa perempuan ini memiliki aura keibuan yang kuat. Mengingat anaknya laki-laki, kuharap Idan mewarisi sifat Kirana yang lembut, seperti yang tergambar dalam mimpiku.

Saking asyiknya meracau sendiri dalam hati, aku sampai-sampai tak sadar bahwa Jordy telah tiba di ruangannya. Nada datar yang mengalun dari bibirnya cukup membuatku terkejut. Jantungku berdendang di dalam.

“Saya tanda tangan. Mana? Jangan sampe ada yang ketinggalan. Kalau ketinggalan, kamu saya suruh balik lagi ke kantor.”

Tangannya terulur padaku, namun alih-alih menanggapi titahnya yang berisi ancaman, aku malah melakukan sesuatu diluar kendaliku.

Aku tak tahu mengapa sulit sekali untuk melawan pergerakan ini. Aku menyingkirkan kertas itu dan tiba-tiba saja tanganku bergerak menyentuh pundak Jordy.

Hentikan! Aku berteriak dalam hati, tapi semua itu percuma sebab sesuatu dalam diriku ini menjadi pengendali terbesar atas apa yang kulakukan. Tak sedikitpun aku diberi celah untuk melakukan apa yang seharusnya kuperbuat—mendapat surat jalan dari Jordy.

“Mentari!” Lelaki itu berteriak gusar, menepis tanganku yang nyaris mengusap wajahnya. Air muka Jordy menegang seolah menahan marah yang sangat dalam. Sementara aku...jangan ditanya bagaimana malunya aku saat tahy bahwa aku nyaris memeluk Jordy.

Selalu seperti ini, setiap kali aku bertemu Jordy, kejadian ini akan terulang. Entah menangis, atau selalu ingin menyentuh tubuhnya. Seperti ada kekuatan magis yang terus memintaku untuk melakukan hal-hal gila semacam itu.

“Kamu gila, ya?!” bentaknya dengan amukan hebat. Alih-alih langsung menyahutinya balik, aku malah menangis sesenggukan. Dan naasnya, semakin tangisku pecah, dadaku berdebar kencang. Ada sebuah rasa sesak yang menguasai benakku ketika Jordy meninggalkanku jauh-jauh.

This is weird. Kurasa benar apa yang Terry katakan, mentalku memang sedang tidak stabil.

“Ma...maaf, Pak. Maaf, s-saya...”

Lelaki itu makin menjaga jarak dariku. Nafasnya gusar dan tatapannya yang terarah lurus padaku sangatlah dingin, penuh amarah.

“Kamu nggak minum obat ya? Bahaya kalau di kantor kamu kayak gini. Minum obat sana!” katanya menghempas tanganku yang mencoba memohon maaf darinya.

Shit, ini semua membuatku ketakutan. Terlebih ketika diriku tak sengaja melirik foto Kirana yang terpampang di belakang Jordy.

Merinding.