I was Mentally Tired
Untuk pertama kalinya aku benci mendengar suara tangis yang berasal dari kamar anakku. Sudah setengah menit ia meraung, dan selama itu pula aku menggendong Kiori dengan berganti-ganti posisi.
Aku sudah merasa cukup memberinya ASI, tapi baginya belum. Ia masih saja menangis kencang seolah mengejekku bahwa aku belum pantas menjadi seorang ibu.
Kalau ada yang bertanya ke mana perginya Jordy, lelaki itu sedang bekerja saat ini, fokus dalam proyek film yang ia bangga-banggakan padaku, di tengah aku yang sedang dirundung lelah usai seharian penuh mengurus dua anaknya.
“Ma, nanti yang main Tatjana Saphira.” Nada bangga yang terdengar dari bibirnya sungguh membuatku kesal. Bisakah dia sedikit saja peka bahwa aku sedang tak mau mendengar kabar soal karier cemerlangnya?
Bisakah Jordy sedikit perhatian pada Kiori yang menangis hampir satu menit lebih?
Aku memandangnya tanpa ekspresi. Seharusnya tatapanku ini dapat memberi jawaban, tapi kenyataannya lelaki itu justru makin larut dalam ceritanya. “From the start I knew that she's a good actress. Ga salah anak-anak jatuhin peran utama ke dia. Glaze dia pas cast jadi Lana beda banget, Ma.”
Aku cuma mengangguk sambil mengusap anak rambutku yang mulai patah satu per satu. Ya, aku mengalami kerontokan rambut yang cukup parah after partum, namun dokter mengatakan hal itu lumrah dialami ibu baru sepertiku.
Dengan susah payah kupungut rambutku sendiri, padahal Jordy melihatnya langsung. Tapi tak sedikit pun tangannya bergerak untuk membantu.
“Ma, you hear me? Kamu diem-diem aja. Sakit?” tanyanya pongah.
Aku kembali menggulirkan pandangan padanya. “Gak papa. Cuma rambutku rontoknya banyak.”
“Awas nanti botak,” guraunya cekikikan sendiri. Aku yang mendengarnya langsung berhenti mengangkut rambut-rambut itu.
Dia pikir lelucon itu amatlah lucu, tapi bagiku, dia menjatuhkan harga diriku setengah mati.