I Will Take Care of You

“Pak...?” Aku terkesiap saat menemukan Jordy tertidur di sebelahku dengan posisi yang benar-benar lebih absurd dari yang terlintas dalam pikirku. Tubuhnya setengah membungkuk, ia duduk di kursi dengan tangan yang menggenggam tanganku. Dahi Jordy terlihat basah, seolah ia habis berolahraga. Nafas lelaki itu juga tersengal. Sepertinya benar, Jordy pasti baru selesai berolahraga.

“Pak, bisa lepasin tangan say—”

“Mentari!” Aku terkejut saat Jordy langsung menarikku dalam rengkuhnya. Aku mengerjapkan mata beberapa kali saking bingungnya, mengapa ia sampai secemas itu mendapatiku terbaring. Bukankah dia habis workout? Atau jangan-jangan...personalitiku betulan bertambah?

“P-pak, saya nggak melukai Bapak kan? M-maksud saya, saya takut kalau saya gak sengaja mencakar tangan Bapak kayak waktu di rumah sakit—”

“Mentari,” selanya. “Mau seberapa banyakpun personality kamu bertambah, saya minta jangan kayak tadi.”

Mendapati raut mukanya yang dipenuhi kekhawatiran, akupun makin takut pada diriku sendiri. Apa personalitiku ini se-membahayakan itu? Atau, apa aku melukai Aidan, anaknya?

“Pak, saya ngapain Aidan, Pak? Bapak kan selalu melarang saya untuk dekat sama Idan. Saya ngelukain dia, Pak?”

Jordy menggeleng lesu, “Nggak. Aidan aman. Tapi kamu...” Bola mata hazelnya yang jernih itu memandangku sejenak, “Nggak aman, Mentari.”

“Emang saya ngapain, saya bilang apa, Pak? Please, saya juga pengen tahu, saya selalu gak ingat apa yang saya omongin ke Bapak.”

Jordy diam sebentar dengan muka serius, “Kamu bilang...kamu dulu istri saya.”

Nggak mungkin... Aku terkesiap mendengar ucapannya, mengingat mimpiku selalu menampakkan Kirana yang menangis pilu dan merintih pedih. Ia terus-terusan berkata padaku, “I was his wife...”

“Saya ngomong gitu, Pak?” tanyaku ragu. Sialnya, Jordy mengiyakan pertanyaanku. Itu berarti...Kirana benar-benar datang padaku? Atau ia berusaha menguasai personalitiku?

“Kenapa, Mentari?” Gantian Jordy yang bertanya dengan wajah bingung.

“Saya mimpi, istri Bapak datang ke saya. Dia nangis dan terus-terusan bilang I was his wife...”

Kalut tiba-tiba menggandrungi benakku.

Bagaimana...bagaimana jika yang Renjana takutkan selama ini terjadi? Bahwa aku, bukan penderita DID seperti yang diduga Jordy dan Terry, melainkan seseorang yang peka terhadap hal-hal yang tak bisa dirasakan orang normal?

“Pak,” aku membenarkan posisi dudukku, kemudian melepaskan tangannya yang masih melingkar di pinggangku.

“Ya, kenapa?”

“Gimana kalau selama ini dugaan Bapak dan Terry salah?”

“Maksudnya?”

“Gimana kalau selama ini saya nggak sakit, Pak. Saya nggak DID. Saya peka sama hal-hal yang gak bisa Bapak rasain...”

“Jangan ngaco kamu ya, Mentari! Hal-hal kayak begitu itu musrik. Kamu orang beragama, kan?” bantahnya kuat.

“Pak, tapi...kenapa saya selalu dimimpiin almarhumah istri Bapak? Saya nggak kenal sama Bapak sebelumnya, istri Bapakpun saya juga enggak. Lalu, kenapa harus saya yang terus-terusan ngerasa nggak enak? Selalu saya yang ketakutan sendiri setiap kali almarhumah istri Bapak datang ke mimpi saya? Pak, kalau seandainya apa yang saya takutin selama ini bener, Bapak akan memecat saya, Pak?”

Pikiranku sedang kacau saat itu, hingga apapun yang terlintas dalam kepalaku, terpaksa kuungkapkan semua, padahal Jordy bukan Renjana ataupun Chanting. Jordy bukan seseorang yang pantas kuanggap titik amanku, tapi entah mengapa saat Jordy menghentikan racauanku melalui dekapnya, segala gundah gulana itu pergi, berganti menjadi rasa hangat dan tenang seperti peluk Papa sebelum ia pergi dariku selama-lamanya.

“Mentari, semua yang kamu omongin itu gak bakalan terjadi. Believe me. Kamu aman selama sama saya yang jagain, gak usah mikirin hal-hal takhayul kayak gitu.”

“Tapi, Pak...”

“Just believe me and do what your psychiatrist tell you. Saya gak ninggalin kamu, saya yang akan jagain kamu,” katanya meyakinkanku.

“Makasih, Pak...” sahutku, memasang senyum setenang mungkin.