I Wish You Come

“Happy birthday, Idan! Happy Birthday Idan! Happy Birthday, Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Idan!”

Kegembiraan mengalir deras memenuhi suasana perayaan ulang tahun putra tunggal Jordy Hanandian—Aidan. Semua bertepuk tangan menyaksikan bocah kecil itu meniup lilin, diapit Jordy dan calon ibu sambungnya—Mentari. Ketiganya kompak mengenakan kemeja warna merah muda sesuai permintaan Jordy beberapa waktu lalu.

Hanya satu orang yang tak hadir di acara ini, Recha—nenek dari Aidan yang beberapa waktu lalu menolak hadir di acara penting ini hingga menimbulkan banyak pertanyaan dari sanak saudara Jordy yang heran dengannya.

“Oma Recha gak dateng, Jor?” tanya salah satu sepupu Jordy yang bernama Tami. Perempuan yang memiliki rambut sebahu dan piercing di lubang hidung itu mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang tak pernah menghidupkan suasana. Jordy menggeleng, “Berhalangan hadir.” Tentu saja Tami tahu kakak sepupunya berbohong. Dia melirik salah seorang perempuan cantik yang ia akui melebihi kecantikan saudari perempuannya. Wajahnya lembut, keibuan. Kulitnya putih seputih susu.

“Cakep ya, pacar lo,” puji Tami tersenyum. Namun melihat wajah datar saudara sepupunya, Tami justru menatap miris perempuan yang baru ia kenal beberapa jam lalu.

Tami terlalu mengenal pribadi Jordy yang sulit membuka hati pada orang baru. Jika Jordy sampai berani melangkah ke jenjang serius bersama wanita muda itu, bagi Tami, pasti ada makna tersembunyi yang ingin Jordy lakukan. . . .

Teza dan Jenan sampai berbarengan. Yang satu membawa pistol-pistolan, dan yang satunya robot serta mobil-mobilan. Keduanya sempat bertemu di gerbang pintu masuk, terpana pada satu perempuan yang jelas begitu mereka kenali penampilannya.

“Riri diundang juga,” bisik Teza. “Samperin Je. Mungkin bos lo mau nyomblangin lo sama dia, lagi baik hati,” sambung Teza tersenyum geli.

Tetapi Jenan rasa pemikiran Teza terlalu naif. Ia bisa melihat jelas jika siang itu, tak hanya Mentari yang memakai outfit merah muda. Tapi Aidan dan Jordy juga kompak mengenakannya. Semula Jenan nyaris mencibir semua fakta pahit itu sampai ia mendengar Aidan berteriak dari depan.

“IDAN MAU IKUT MAMAH RIRI!” Aidan tampak berlari, menyusul Mentari dengan menyelipkan tangan mungilnya di balik telapak sang puan.

Taraaaa! Mak jreng! Bagai tersambar petir di siang bolong, Jenan mematung di depan gerbang. Begitupun Teza yang kaku untuk membuka mulut. Keduanya saling bertukar pandang heran bin tak percaya.

“Jordy, gue tau dia sutradara berbakat, ceritanya juga plot twist, ya tapi...Nggak sampe nyurprisin kita kayak gini juga dong, Je!” gumam Teza tertawa kelu.

“Lo mau pulang ya, Je?” ejek Teza melihat Jenan dengan muka masamnya.

“Kagak lah gila, gini doang, masa pake acara pulang. Gue strong,” katanya menertawai diri sendiri.

Teza juga ikut tertawa pedih menatap sobatnya yang langsung menghindari lirikan Mentari dari depan.

“Om Jenan, haloooo!” Aidan menyapa. “Mamah, aku dapet robot-robotan! Makasih Om Jenan,” pamer Aidan, menyalami punggung tangan Jenan, lalu berjalan meninggalkan Mentari.

“Dan, sini. Sapa Om Teza dulu,” panggil Mentari.

“Eh iya, Idan lupa. Makasih, Om, mobil-mobilannya,” ucap Aidan melakukan hal yang sama pada Teza.

Kedua sobat baik Jordy itu sama-sama menganga melihat Aidan yang mereka kenal sering melempar tantrum, tak mau mengenal orang, dan kadang sering bersikap tak sopan, tiba-tiba menjadi anak yang santun luar biasa. Dugaan mereka pun langsung mengacu pada Mentari yang sukses membawa perubahan besar pada Idan.

“What a plot twist,” gumam Jenan sambil tersenyum kecil.

“Maaf, Pak.”

“Anjir, pantes aja si Jordy ngomen mulu di twitter gue,” kata Jenan menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Anyway, congrats to both of you. Kapan resminya?”

“Empat bulan lagi,” sambar Jordy yang entah dari mana tiba-tiba muncul di depan Teza, Mentari dan Jenan. Ia menyodorkan dua buan undangan pada kedua temannya.

Teza berdecih, sedang Jenan menatap pahit undangan itu. “Sorry, Je,” kata Jordy sedikit dengan nada mengejek. “I wish you come to our wedding reception.”