Good and Bad

Xavier bukanlah tipe laki-laki yang gampang marah, walau wajahnya terkesan dingin dan kaku karena rahang tegas yang ia miliki. Silakan saja tanyakan pada keempat teman rumpi-nya itu. Mereka pasti akan mengatakan hal yang sama.

Xavier adalah lelaki penyabar dan tidak gampang emosi.

Sampai hari ini datang. Hari ketika ia menyaksikan sebuah dusta yang besar. Dusta yang akan membuat seorang perempuan terluka dalam. Xavier tidak akan pernah memaafkan siapapun orang yang melukai perempuannya. Tangan Xavier mengepal hebat. Sudah empat kaleng bir ia remukkan secara bergantian, sampai keempat temannya mengedik ngeri. Hazel terutama. Ia tahu betul sifat sobat kecilnya yang jika sedikit saja diuji kesabarannya akan meledak seperti bom waktu.

Pandangan Xavier sejak tadi tak terlepas dari seorang laki-laki yang sedang menggandeng mesra seorang perempuan muda. Lelaki itu terlihat nyaman ketika sang perempuan menyelipkan tangannya di balik lengan sang Adam. Tatap teduhnya berakhir pada perempuan muda tersebut. Belum lagi surai tawa yang terdengar begitu manis hingga membuat si puan di sebelah sang lelaki tersipu-sipu, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua.

“Xav...Xav, ini gue masih ada satu kaleng bir lagi. Mau gue abisin dulu atau lo yang ngabisin? Biar abis itu lo ngeremukinnya enak,” ujar Edrigo berbisik-bisik takut kepada Xavier.

“Nggak perlu,” sahut Xavier tegas. “Lo abisin aja tuh bir lo,” sambungnya kemudian. Satu puntung rokok yang sisa sedikit, Xavier lempar kasar ke tanah. Ia memijak si puntung rokok penuh penekanan, seolah sedang menginjak sesuatu yang perlu ia hancurkan.

“Gila...” Rafael di sebelah Fabian berdecak heran memandangi sosok lelaki yang sedari tadi tengah diperhatikan Xavier.

“Ini yang dinamain casing roh kudus, bungkusnya roh alus.” Rafael menyesap rokoknya dalam-dalam, lalu sehabis itu ia menenggak sisa vodka di hadapannya.

“Tai banget emang manusia,” tambah Fabian tertawa kelu, sambil sesekali ia tengok Xavier yang berusaha meredam emosinya.

“Xav,” panggil Fabian.

“Hmm?”

“Tuh orang kayaknya sadar deh dari tadi lo perhatiin. Ketar-ketir dia keliatannya, gak berani nengok kesini lagi,” beritahu Fabian.

“Biarin aja,” kata Xavier pelan. Ia berusaha mengacuhkan sosok yang kini balik memandang matanya. Meski tidak menantang, namun apa yang diberitahu Fabian benar. Lelaki itu terlihat cemas usai Xavier memergokinya bermesraan dengan wanita lain.

“Eh, anjing!” Kali ini seruan panik itu berasal dari mulut Hazel. Dilihatnya sosok yang sejak tadi sengit menatap Xavier berjalan ke arah mereka.

“Gue mau pulang sumpah,” kata Hazel lebay. Padahal dia yang dari tadi sibuk memancing emosi Xavier.

“Lebay lo, Zel. Biarin aja! Diselesaikan sama Xavier pake otot. Secara jantan. Mata ganti mata, gigi ganti motor!” gurau Edrigo tertawa-tawa.


“Oh, lo disini ternyata?” Suara sengit nan sengau itu terkesan menyalak di telinga Xavier. Xavier pura-pura tidak terkejut saat sosok itu menyambanginya.

“Waduh, ada apa nih?” kata Xavier seraya berdiri sambil tersenyum. “Biasa aja dong,” tambahnya.

“Gue biasa aja, Bro,” desis lelaki yang wajahnya mirip dengan Afgan itu.

“Ya baguslah kalau gitu. Ditunggu tuh di belakang. Gue sama temen-temen gue cuma nongkrong aja kok disini,” ucap Xavier masih dengan nada yang sama.

“Pulang jam berapa kalian tadi?” Mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut lelaki itu, Xavier sontak geleng kepala. Begitupun teman-temannya.

“Hahaha. Sore.”

“Bagus deh kalo lo ngaku,” sengit lelaki berkacamata itu.

“Gue mah ngaku, ngaku aja. Lo? Ngaku juga nggak?” Xavier membalas ucapan lelaki itu. Lebih tepatnya sih menyekak habis celaan sang Adam sampai membuat wajahnya merah padam.

“Ditungguin tuh, Biel. Mukanya keliatan khawatir banget. Samperin sana,” ujar Xavier tenang.

“Bukan urusan lo,” balasnya dengan sorot mata penuh dendam hingga membuat Xavier tersenyum miring.

“Denger.” Lelaki itu menepuk pundak Xavier. “Gina nggak suka cowok perokok. He won't like you, anyway.”

“I know.” Xavier menyahut, membuang kasar puntung rokoknya. “Dia nggak suka perokok, but at least gue nggak akan boongin dia.”

Mendengar ucapan Xavier yang terang-terangan menantangnya, lelaki bernama Gabriel itu mendengus kesal. Ia berbalik badan dengan wajah getir bercampur cemas seolah takut suatu saat hari ini akan menjadi boomerang dalam hidupnya.

Ia tak lagi menengok ke belakang. Dengan tangan yang mengepal hebat, Gabriel berjalan ke mejanya, menemukan sang perempuan tengah memandangnya tak kalah khawatir.

“Biel Sayang, kamu kenapa? Mereka siapa?” tanya sang perempuan. “Mereka mau mukul kamu?” Sang puan membelai wajahnya lembut, menenangkan emosi Biel yang masih mengepung dirinya.

“Nggak. Biasalah, mungkin iri karena aku Worship Leader.” Biel menjawab setenang mungkin, meski wajahnya masih sama dan menjadi bahan cemoohan orang di belakangnya.