In Between

Begitu pintu apart Jordy terbuka, Dhea segera mencari Mentari. Apa yang Bulik Ratih sampaikan selama perjalanan terus menghantui Dhea, ia sangat takut kehilangan Mentari. Terlebih kini mereka hanya tinggal berdua di Ibukota.

Netra gadis itu bergulir pada sejumlah barang-barang antik yang terpajang di lorong ruang tamu Jordy. Tatapannya terhenti sesaat pada satu foto yang menampilkan Jordy dengan seorang perempuan bertahi lalat di hidung. Ia yakin dialah sosok yang diceritakan Mentari beberapa waktu lalu, Kirana, almarhumah istri Jordy yang telah lama meninggal. Melepas pandangannya dari sana, Dhea tertegun saat menyadari jika suara teriakan dan tawa yang semestinya terdengar sama sekali hilang. Apakah kondisinya sudah baik-baik atau tidak, Dhea sama sekali tak tahu. Yang jelas kini cemasnya makin pecah saat Bulik berkata jika hal ini dibiarkan terlalu lama, nyawa Mentari tidak bisa selamat. Maka gadis itu lekas mengetuk pintu kamar kakaknya, tapi terkunci dari dalam.

“Mbak! Mbak Riri! Mbak, Mbak!” panggilnya panik. Lima detik menanti dengan resah, Dhea tak menyangka yang keluar dari sana bukanlah Mentari, melainkan Jordy—calon kakak iparnya. Lelaki itu terlihat lelah, garis matanya hitam, dan dahinya berkeringat.

“Kak, Mbak Riri gimana? Mbak Riri udah tenang kan? Mbak Riri gimana, ya Allah!” Tangis Dhea pun pecah.

“Tenang, Dhe. Mentari udah tenang. Udah minum obat dari psikiaternya.”

Alis Dhea terangkat. Fakta itu membuatnya terkejut nyaris tak percaya. “Mbak Riri ke psikiater? Buat apa, Kak?”

“Mentari sakit, punya kelainan DID, kepribadian ganda.”

Jantung Dhea berdetak cepat. Dadanya bergemuruh saat Jordy berkata pelan, menjelaskan penyakit sang kakak. “Mbak Riri nggak sakit, Kak! Mbak Riri normal!” pekiknya.

“Kak, Mbak Riri tadi kesurupan... Mbak Riri itu sensitif. Dia peka sama hal-hal yang gak bisa kita lihat. Walaupun dia ga bisa liat juga, tapi dia bisa ngerasain. Kak, jangan ngomong gitu, Mbakku gak sakit,” tutur Dhea terisak-isak.

Lelaki tersenyum tenang memandang Dhea. “Dhe, kamu tuh ada-ada aja. Istirahat sana di dalem, ada Idan di kamar saya. Kamar Idan soalnya lagi dibersihin, jadi Idan numpang tidur di kamar say—”

“Kak, kalo sampe Mbak Riri gak tertolong, orang pertama yang akan aku salahin adalah Kakak! Karena Kakak gak bisa jagain dia!” Mata Dhea memicing.

“Udah, istirahat sana. Saya bisa jaga Mentari, tuh buktinya dia sudah tidur.” Telunjuk Jordy mengarah pada Mentari yang tertidur di kasur terbalut oleh selimut hangat. Dhea memang dapat bernafas lega ketika tahu kakaknya sudah tenang, tapi tidak dengan Jordy yang justru menganggap remeh omongannya.

“Gih, sana. Idan kemaren nanyain kamu,” suruh Jordy. Tapi Dhea belum beranjak sebelum ia menyelesaikan ultimatumnya. “Silakan Kakak gak percaya, tapi aku serius sama apa yang barusan aku bilang. Aku nggak akan segan-segan bawa Mbak Riri pulang dan tinggal sama aku, kalau kejadian kayak gini lagi!”

Jordy diam sejenak, menahan emosinya yang mulai terpancing mendengar ucapan ngelantur Dhea. “Iyaaaa...Iyaaaa...Udah sana ke kamar saya, ada Idan di dalam.”

Tepat pukul dua belas malam, Mentari terbangun kaget dari tidur panjangnya saat menyadari jika ia tidak tidur sendiri, melainkan ada seseorang di sebelahnya.

Jordy.

Tatapannya pun berangsur jelas saat lelaki itu menumpukan tangannya pada pinggul ramping miliknya. Namun saat akan memindah tangan pria itu dari sana, kepalanya terasa agak pusing dan tengkuknya masih terasa berat, namun tak sesakit beberapa jam lalu. Akhirnya Mentari memutuskan untuk kembali memejam mata sejenak.

“Ikut saya, Mentari...” Perempuan itu sontak terbangun saat mendengar satu bisikan di telinganya. Suaranya parau namun begitu jelas terdengar.

“Mas, Mas. Bangun, Mas.” Karena takut, Mentari terpaksa membangunkan Jordy yang terlelap di sampingnya. Lelaki itu mau tak mau membuka mata, “kenapa? Tidur. Ini udah jam dua belas.”

“Kamu denger suara gitu gak, Mas?” tanya Mentari memastikan.

“Suara apa sih? Orang gak ada apa-apa. Tadi kamu kan udah minum obat, harusnya kamu tenang. Ada saya yang jagain, udah ayo tidur.”

“Tapi tadi beneran, Mas.. Aku denger ada yang manggil aku. Takut.”

“Ck!” Lelaki itu pun bangkit dari ranjang, menyalakan lampu di sisi kanan dan kiri nakasnya.

“Kamu nggak bisa tidur kalau gelap? Udah saya nyalain. Tidur.”

Mentari hanya bisa terdiam sambil berusaha menyingkirkan segala ketakutannya. Meski ia yakin jika ia tak salah dengar, namun percuma rasanya jika memberitahu Jordy yang tak percaya dengan semua omongannya.

“Tadi aku...kenapa?” tanya Mentari.

“Kambuh,” jawab Jordy seraya kembali memejam mata.

“Mas.”

“Apalagi?” Nada Jordy mulai terdengar ketus.

“Kalau aku sekali lagi kayak tadi, please, kita harus batalin semuanya.”

Mendengar ucapan Mentari, mata Jordy langsung terbuka. “Batal apa?”

“Pernikahan.”

“Kamu ngomong apa sih? Udah dikasih obat bikin masalah terus. Bisa nggak sehari aja jangan bikin saya marah?”

Mentari menghela nafas, “Mas, aku nggak kamu stres gara-gara aku. Idan juga jadi kepengaruh. Semua jadi kacau karena aku. Liat muka kamu secapek itu, aku gak mau bikin masalah terus. Mau aku sakit apa enggak, aku nggak mau—”

“Nggak mau, nggak mau! Jangan ngomong sembarangan. Tidur sekarang. Cerewet banget!” sewot Jordy membalik posisinya memunggungi Mentari. Perempuan itu bersedekap, kembali menyimpan ketakutannya sendiri. Ia rasa hal itu jauh lebih baik daripada terus melihat Jordy emosi padanya.

“Maaf ya, Mas. Aku bikin masalah terus,” katanya pelan.

“Hm,” sahut Jordy menggumam.

“Aku sayang kamu, Mas.”

Jordy tak menyahut. Pikirannya kacau setelah mendengar pernyataan Mentari harusan. Hatinya tercebik, bibirnya kelu untuk menanggapi pernyataan Mentari yang terlalu mendadak baginya. Matanya terpatri pada satu-satunya foto pernikahannya dengan Kirana.

“Eh, sori. Aku cuma asal nyeplos doang. Nggak maksud gitu kok. Maaf ya.”

“Jadi kamu lebih mau sama Jenan?”

“Kok tiba-tiba Jenan?”

“Jenan kan ngedeketin kamu.”

Kali ini gantian Mentari yang diam dan tak bersuara, membuat Jordy menarik kesimpulan jika feeling-nya tentang Mentari yang sedikit menyukai Jenan terbukti benar dan hal ini membuat Jordy sedikit kesal pada sahabatnya sendiri.