Is There Any Stranger like Him?
Sejak kapan pukul setengah tujuh malam menjadi begitu lama? Dulu waktu masih bekerja di toko bangunan sebagai admin, rasanya cepat sekali. Jam dua belas makan siang, kemudian kembali ke meja pukul satu, tau-tau semua karyawan di toko tersebut berbenah diri tepat di jam enam lewat lima belas. Bahkan saat jarum jam belum berpindah ke angka enam, rekan kerjaku yang terdahulu sudah sibuk sendiri menentukan warteg mana yang akan menjadi tempat tongkrongan mereka sepulang kerja.
Sedangkan di kantor ini, jangankan bergerak tenggo. Saat jarum jam bergeser ke angka tujuhpun, tak ada seonggok manusia yang bergerak dari kursinya. Barang mereka masih tersusun rapi di atas meja. Tumpukan file yang sering kuantar ke para karyawanpun masih mereka tandatangani. Mungkin, memang seperti ini bekerja dalam sebuah rumah produksi. Karena sebelumnya aku belum pernah bekerja di industri media dan perfilm-an, budaya kantor mereka cukup mengherankan untukku.
Tapi akhirnya...satu per satu manusia pengabdi Jordy menghilang dari pandanganku. Ini artinya... aku juga bisa meninggalkan meja dan bertemu dengan Jenan kan? Kulirik ponselku yang sejak tadi bergetar berkali-kali. Bar notifikasinya ternyata cukup ramai dipenuhi message dari Chanting dan Renjana yang ribut soal dinner plan minggu depan, dan tak satupun dari mereka menjawab pertanyaanku tentang rekomendasi film seru di Netflix. Payah! Benar-benar tidak suportif.
Beralih dari ponsel, aku memilih mengemasi barang-barangku dan segera menunggu Jenan di depan. Biasanya ia selalu muncul sekitar jam setengah delapan malam. Ini merupakan saat yang tepat untuk menunggunya. Selain itu, aku juga tak mau Jordy mengendus kedekatanku dengan Jenan. Karena kalau sampai ia tahu, pasti akan menjadi gosip besar di kantor.
Sebelum meninggalkan meja resepsionis, sekali lagi aku memeriksa kantor—memastikan tak lagi ada satu manusia yang bekerja di dalam. Dengan begitu, rencanaku netflix and chill ria bersama Jenan, Insha Allah akan berjalan mulus.
Aku segera melangkah menuju lorong lift yang dingin dan begitu sepi. Kebetulan lift ini memang jarang sekali dipakai oleh para pengabdi Jordy karena bentuknya yang tua dan usang. Hanya aku yang menggunakannya agar tak terlihat Jordy kalau sedang ingin pulang cepat. Derap sepatuku terhenti seketika saat pintu lift terbuka. Aku segera masuk, lalu menekan tombol ground floor.
Tapi...kenapa liftnya malah bergerak naik? Ini rusak? Atau jangan-jangan! Ada sesuatu yang sedang mencoba menghantuiku? Panik, akupun memencet tombol GF sekali lagi. Namun alih-alih turun ke bawah, lift ini justru berhenti di lantai 2. Lantai keramat bagi para pengabdi Jordy. Karena...
“Baru jam setengah delapan kurang, udah pulang aja.”
Yup, mimpi burukku kini menjadi nyata. Jordy Otoriter Hanandian kini berdiri tepat di hadapanku dengan sorot mata dingin seperti biasa, tubuh tinggi menjulangnya menghalangiku untuk melihat ruangan Jenan.
“Udah jam pulang kantor, Pak,” jawabku sesuai fakta yang ditanggapinya hanya dengan gumaman kecil.
“Hmm.” Setelah itu dia ikut masuk ke lift bersamaku.
“Nyari siapa?” tanyanya, karena aku si perempuan paling teledor sedunia ini tak dapat mengerem keinginanku untuk melirik ke ruangan sebelah ruangan Jordy, yakni ruang kerja Jenan. “Didi, OB,” jawabku seadanya, dan tentu aku berbohong.
“Didi? Tapi kamu dari tadi ngeliat ke ruangan Jenan. Ada file yang harus dikasih ke Jenan?” Aku ingin sekali membekap mulutnya agar dia berhenti menginterogasiku.
“Ah..enggak kok, Pak. Enggak,” kilahku cepat.
“Kalau nyari Jenan, dia udah pulang dari jam setengah tujuh tadi.”
Mendadak dadaku begitu bergemuruh. Aku merasa dibohongi oleh Jenan. Kalau boleh lebih spesifik lagi, sebenarnya aku sedikit merasa tercampakkan.
“Kenapa?” tanya Jordy tiada henti. Kudengar kakinya melangkah kecil dan berhenti tepat di sebelahku, menghimpit sneakers belel yang kupakai.
“Nggak!” tukasku. “Nggak apa-apa,” ucapku menutup-nutupi.
“Jenan ada janji katanya,” lanjut Jordy.
“Sama siapa, Pak?” tanyaku penasaran.
“Pacarnya kali, nggak tahu,” sahutnya acuh. Jordy kembali memfokuskan pandangan pada ponselnya. Sedang aku, masih mencerna apa yang Jordy beritahu padaku dengan perasaan tak menentu.
“Ini nomor rekening ibu tiri kamu?”
Nggak ada angin nggak ada hujan, simsalabim adacadabra, Jordy tiba-tiba menunjukkan sesuatu padaku di ponselnya. Awalnya aku masih bingung dengan apa yang ia bicarakan, namun saat tertera angka lima-tujuh-kosong-kosong-dua di layar ponsel itu, rahangku mengeras dan sulit sekali terkatup.
“Bap...pak....ngapain ya?” tanyaku gemetaran. Yang kutanya menyimpan ponselnya di dalam saku, sambil menatapku tanpa ekspresi.
“Sepuluh juta lima ratus lima puluh ribu, atas nama Arman Hendarto, lunas,” katanya santai.
“Bapak ngapain, Pak? Sumpah?!” Aku memecah kesunyian di dalam lift malam itu yang tanpa kusangka-sangka, disaksikan begitu banyak orang di depan.
“Saya gak ngapa-ngapain, cuma menepati omongan saya ke ibu tiri kamu dan kakek yang mau nikahin kamu waktu itu,” tandasnya sembari melangkah keluar dari lift. Aku mengejarnya saat itu juga. Dia membayar utang Papa dan Medusa itu?
“P-pak! Pak!” panggilku tergesa.
“Kenapa diturutin sih? Nanti dia bakalan terus ngejar Bapak,” kataku.
“Jadi kamu emang mau sama kakek-kakek itu? Kalau gitu, saya minta refund aja uang—”
“NGGAK BEGITU PAK!” potongku panik. “Demi Allah, saya nggak mau!”
“Terus, ngapain bilang gitu?” tanyanya. Aku menundukkan kepala. Kebingungan sendiri dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Betul, aku takut sekali dengan lelaki bernama Suryo itu. Namun biar bagaimanapun...aku juga tidak ingin dicap memanfaatkan Jordy, terlebih aku tahu betapa liciknya Medusa itu. Aku ingat dulu Renjana pernah terjebak oleh perempuan ular tersebut, dan alhasil Medusa tiada henti menanyakan padanya kapan uang yang Renjana janjikan akan cair. Itu baru Renjana, masalahnya... dia Jordy! Jordy atasanku, yang jauh lebih tak pantas berjibaku dengan piranha uang seperti perempuan sinting itu.
Lupakan soal agenda netflix and chill bersama Jenan yang sejak tadi berputar dalam kepalaku. Sekarang fokusku langsung teralih pada Jordy yang mendadak bertindak seperti pahlawan dalam hidupku. Dia—orang lain— tapi mengapa...ia bersikap seolah-olah peduli akan kehidupanku?